Puasa dan Pembangunan Pendidikan Karakter
Oleh: Najamuddin Khairur Rijal
Puasa Ramadan memang telah berlalu. Tapi pelajaran hidup dari puasa tentu tidak boleh berlalu. Ada satu pertanyaan sederhana yang mengusik penulis ketika puasa Ramadan kemarin. “Ayah, untuk apa kita puasa?” Pertanyaan itu ditanyakan oleh anak laki-laki penulis, yang usianya baru tiga setengah tahun.
Ternyata tidak mudah memberikan jawaban atas pertanyaan sederhana itu. Celakanya, mencari jawabannya di situs pencarian Google juga tidak memuaskan. Nyaris tidak ada penjelasan yang cocok untuk anak usianya tentang untuk apa kita berpuasa. Segera penulis menyadari, bahwa kita sangat miskin literatur bacaan ataupun konten media sosial dengan bahasa ringan dan renyah yang bisa diterima untuk anak-anak. Termasuk pula bacaan dan konten tentang puasa dan urgensi ibadah lainnya.
Jika pertanyaannya, kenapa kita harus berpuasa (Ramadan)? Menjawabnya cenderung lebih mudah. Karena kita adalah orang Islam. Karena puasa adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Karena puasa adalah perintah Allah dan merupakan rukun Islam. Tetapi, jika pertanyaannya, untuk apa kita puasa? Bagaimana kita, orang tua, memberikan jawaban?
Di level sekolah, para guru juga tidak memberikan penjelasan yang memuaskan kepada anak didiknya, tentang untuk apa kita berpuasa. Celakanya, tontonan di telivisi apalagi di beragam media sosial juga sama sekali tidak memberikan edukasi tentang untuk apa seorang anak perlu berpuasa. Padahal, paparan televisi dan terutama media sosial sangat intens dalam keseharian mereka.
Acara-acara di televisi sepanjang Ramadan sebagian besar hanya berisi hiburan minus edukasi. Anak-anak kita juga semakin akrab dengan tayangan vido shorts di YouTube, TikTok, reels di Instagram, dan lainnya. Alih-alih menghindarkan mereka dari gawai, banyak orang tua bahkan sengaja memberikan fasilitas itu kepada mereka.
Mengingat intensitas paparan gawai dengan segala fitur media sosialnya, seharusnya kita, orang tua, aktivis media sosial, para influencer, dan para pemangku kepentingan bisa menyediakan konten-konten edukasi yang sesuai dengan kebutuhan usia anak-anak. Termasuk edukasi tentang puasa tentunya, tentang kenapa, untuk apa, dan bagaimana kita berpuasa. Sayangnya, hal itu kurang kita temukan atau mungkin tenggelam oleh konten dan video minim faedah yang tersaji di media sosial, bahkan berdampak negatif terhadap perkembangan kognitif dan afektif anak-anak.
Puasa mengandung pendidikan karakter, yang harusnya dapat tersampaikan kepada anak-anak kita terutama melalui media sosial, dengan bahasa ringan sesuai kebutuhan mereka. Seperti, pertama, puasa mengajarkan anak untuk menahan diri dan sabar. Anak-anak perlu diedukasi, bahwa inti dari puasa adalah menahan. Bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi yang lebih penting adalah menahan diri dari segala perbuatan negatif. Juga sabar, ketika keinginan atau permintaan mereka belum dipenuhi.
Kedua, puasa mengajarkan anak untuk berbagi dan saling peduli. Aktivitas berbagi makanan untuk buka puasa perlu diarahkan untuk memberikan pemahaman kepada mereka, bahwa puasa juga menjadi sarana untuk menjadi dermawan. Bukan tentang apa yang kita bagi pada sesama, tetapi tentang bagaimana keikhlasan hati kita untuk memberikan apa yang kita punya.
Ketiga, puasa mengajarkan anak untuk rajin beribadah. Lewat puasa, anak-anak diedukasi untuk rajin salat, membaca Alquran, membaca shalawat dan doa-doa. Buku amaliyah Ramadan yang biasa diberikan kepada mereka dari sekolah untuk diisi pada setiap aktivitas kebaikan dan ibadah yang dilakukan, seharusnya menjadi sarana penting.
Keempat, puasa mengajarkan kejujuran. Anak-anak kita perlu dipahamkan bahwa esensi puasa juga untuk menumbuhkan kejujuran. Kejujuran untuk berkata dan berprilaku baik dan benar. Misal, jika mereka berpuasa lalu secara sembunyi-sembunyi minum atau makan, Allah yang akan melihat mereka, sekalipun mereka berkata dusta.
Lebih dari itu, tentu ada sangat banyak nilai-nilai substansial pendidikan karakter yang terkandung dalam aktivitas puasa. Tugas orang tua untuk mengawal agar nilai-nilai itu terinternalisasi dalam diri anak-anak kita. Tetapi di tengah perkembangan teknologi dan informasi, tugas orang tua kian berat. Intensitas anak-anak untuk memperoleh informasi dari media sosial sangat tinggi. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam pembentukan karakter anak.
Karena itu, selain menghindarikan anak-anak kita untuk berselancar di media sosial secara bebas, kita, perlu memperbanyak bacaan dan konten-konten edukasi yang sesuai dengan perkembangan usia mereka. Muhammadiyah kaya dengan influencer, pegiat media sosial, dan sumber daya manusia yang mumpuni. Untuk itu, Muhammadiyah, pada berbagai level kepengurusan, kiranya perlu untuk berada di garda terdepan dalam menyediakan konten media sosial yang edukatif untuk anak-anak kita. Inilah kontribusi penting untuk menyiapkan dan membangun karakter menuju Indonesia Emas.
Najamuddin Khairur Rijal, Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang