YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – “Alquran itu multi-fungsional. Dalam makna yang aktif, tidak pasif. Ketika dia aktif maknanya dan fungsional, maka pasti akan menjadi gudang petunjuk pasti akan menjadi Tibyan (penjelasan) daripada petunjuk itu, dan pasti akan menjadi Furqon (pembeda) untuk yang baik dan yang buruk”. Prolog ustadz Erik Tauvani, selaku MPKSDI PP Muhammadiyah dan Dosen AIK UAD saat menyampaikan ceramahnya kepada para jama’ah shalat tarawih di Masjid Islamic Center UAD, pada malam ke-21 Ramadahan kali ini.
Dengan Alquran seorang hamba akan mampu membedakan, bahwa hidup di dunia itu ada hal yang harus ditinggalkan dan ada juga yang harus ditegakkan. Meskipun pada saat-saat tertentu terkesan tidak bijaksana sehingga harus menempuh jalan yang lain. Oleh sebab itu, pentingnya dalam beragama selain dengan pendekatan bayani (teks), seorang hamba harus menghadirkan burhani (akal). Akan tetapi dengan dua pegangan ini saja belum cukup, sehingga harus juga menghadirkan irfani (intuisi), kepekaan, dan rasa kebijaksanaan atau yang biasa disebut wisdom.
Mempelajari Al-qur’an dimulai dari belajar membaca, memaknai, menghayati, menginternalisasi, mengamalkan, hingga sampai pada taraf mengajarkan. Hal ini merujuk kepada hadits Nabi saw, yakni;
خَيركُم مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعلَّمهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya”. (HR. Tirmidzi)
Langkah-langkah di atas merupakan proses yang harus dilalui dengan syarat-syarat tertentu, yakni; tulus atau ikhlas Lillahi ta’ala, dan juga sabar. Bukan suatu hal memalukan jika terbata-bata dalam membacanya, selama ada kemauan maka In Syaa Allah akan dipermudah oleh Allah swt.
“Sesungguhnya Nabi juga mengatakan bahwasanya; barangsiapa yang membaca Al-qur’an dan dia mahir (yakni betul panjang pendeknya, makharijul hurufnya, hukum nun mati baik itu iqlab, idgham, izhar, dan ikhfa) maka malaikat akan berkumpul bersama dirinya. Sedangkan siapa yang membaca Al-qur’an dan terbata-bata (kadang terbolak-balik, bingung dengan panjang pendeknya, dan hukum nun mati pun kurang tepat) tak patutlah ia risau. Mengapa demikian? Karena kata Nabi baginya dua pahala, yang kemudian para ulama memaknai dua pahala tersebut; yang pertama adalah niat, dan yang kedua adalah bunyi dari yang dia ucapkan walaupun salah.” Terang ustadz Erik.
“Dari situlah, kita betul-betul menangkap betapa sungguh besar rahmat Allah swt. Allah itu Maha Pengampun, sekalipun kita selalu bersalah. Dan Allah Maha Penyayang, tentu bersyarat, pertama ketulusan, kedua kesungguhan, dan yang ketiga Istiqomah,” tutupnya. (Siti Kamaria)