YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – “Saya bisa pastikan bahwa kemajuan perempuan dan anak pasti akan berdampak langsung dan nyata pada melesat naiknya indikator pembangunan manusia Indonesia. Perubahan ini akan mampu menempatkan Indonesia dalam kelompok negara berpendapatan tinggi sejajar dengan negara-negara maju baik dalam forum G20, ASEAN, dan forum internasional lainnya.” Hal ini disampaikan oleh Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Republik Indonesia dalam acara Musyawarah Perempuan Nasional untuk Perencanaan Pembangunan.
Perempuan disebut Bintang menempati separuh penduduk Indonesia, demikan juga anak yang mengisi sepertiga populasi Indonesia. “Artinya perempuan dan anak merupakan SDM yang sangat penting bagi bangsa dan negara kita, mereka harus mampu menjadi aktor dari pmbangunan yang ikut merencanakan, ikut melaksanankan, dan ikut menikmati hasil pembangunan. Namun hingga saat ini ketika pelaksaan pembangunan 20 tahun pertama akan segera rampung masih banyak permasalahan perempuan dan anak yang masih kita hadapi di berbagai sektor dan bidang pembangunan, serta ketimpangan gender masih mendasari adanya ketimpangan bagi perempuan dan anak dan tidak terlepas dari norma-norma sosial budaya patriarki”
Lebih lanjut Menteri Bintang Puspayoga menyampaikan bahwa meski pembangunan secara umum sudah terselanggara secara baik dan meluas ternyata kita belum berhasil menjawab masalah ketimpangan-ketimpangan. “Yang menjadi fokus perhatian kita di sini adalah ketimpangan gender yang terjadi pada akses, partisipasi, dan kontrol program pembangunan pada perempuan dan laki-laki. Akibatnya perempuan kurang merasakan manfaat pembangunan dan masih belum meratanya layanan perlindungan dari kekerasan hingga ke pelosok-pelosok,” terang Bintang.
Untuk itu menurut Bintang kualitas perencanana pembangunan harus lebih ditingkatkan, diperkuat, dan dipastikan terjadi hingga tingkat akar rumput. “Salah satu cara untuk meningktakan kualitas perencanaan adalah dengan meningkatkan kualita partisipasi masyarakat dalam perencanana khususnya bagaimana akses mereka terhadap kebijakan program, kegiatan pembangunan, akses control, dan partisipasi mereka, dan apakah mereka benar-benar merasakan manfaat pembangunan,” tegas Bintang.
Bintang sangat mengapreasiasi Musyawarah Perempuan Nasional untuk Perencanaan Pembangunan ini dan ia mendukung sinergi berbagai pihak untuk memastikan perencanaan pembangunan yang memberikan perhatian pada perempuan dan anak. “Sinergi dengan seluruh pemangku kepentingan menjadi cara jitu untuk mewujudkannya. Mari kita memiliki komitmen bersama untuk memperjuangkan hak perempuan dan anak untuk mewujudkan perempuan dan anak bisa menikmati pembangunan setara dengan laki-laki sebagaimana diamantkan konstitusi negara kita.”
Acara yang berlangsung secara hybrid pada 17-18 April 2023 ini dilaksanakan atas inisiatif delapan organisasi masyarakat sipil mitra INKLUSI yang selama ini bekerja untuk keadilan dan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan kelompok marginal. Organisasi tersebut adalah KAPAL Perempuan, Migrant CARE, BaKTI, ‘Aisyiyah, PEKKA, Kemitraan, SIGAB, dan PKBI. Upaya ini juga bersinergi dengan KemenPPPA dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS.
Musyawarah Perempuan Nasional menjadi momentum penting dan bukti adanya konektivitas dan ketersambungan antar perempuan dan kelompok marginal di akar rumput dengan pembangunan di berbagai sektor. Momentum ini dimaksudkan untuk memastikan agar suara dan aspirasi perempuan, khususnya yang berasal dari kelompok marginal dapat diakomodasi dalam proses perencanaan pembangunan.
Selama ini, partisipasi yang bermakna masih menjadi tantangan dalam proses perencanaan pembangunan. Aspirasi perempuan dan kelompok marginal seringkali luput dikarenakan adanya ketertindasan berlapis yang disebabkan oleh konstruksi patriarki, ketimpangan ekonomi, hegemoni mayoritas, dan letak geografis.
Musyawarah Perempuan Nasional ini merupakan hasil konkret dari upaya kolaboratif antara organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk perempuan dan kelompok marginal, pemerintah, dan mitra pembangunan untuk mendorong proses perencanaan pembangunan yang inklusif dan berkesetaraan gender, sehingga tidak ada seorangpun yang tertinggal.
Dalam kesempatan tersebut ‘Aisyiyah yang merupakan salah satu inisiator kegiatan Musyawarah Perempuan Nasional mengangkat isu mengenai Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) Perempuan dan Remaja. Tri Hastuti Nur Rochimah, Koordinator Program INKLUSI ‘Aisyiyah menyampaikan bahwa isu HKSR menjadi penting dibahas dalam salah satu agenda Munas Perempuan karena akar dari Angka Kematian Ibu di Indonesia, Angka Kemtian Bayi, kekerasan seksual, kehamilan tidak dikehendaki, dan masih tingginya perkawinan anak dan stunting berakar dari minimnya akses kesehatan seksual dan reproduksi dari edukasi maupun layanan. “Perempuan dianggap bertanggung jawab atas tubuhnya sendiri sehingga isu HKSR dianggap tidak penting, oleh karena itulah pentingnya kita mendesakkan usulan tentang kebijakan terkait HKSR ini,” tegas Tri.
Dalam kesempatan tersebut Tri memaparkan mengenai berbagai permasalahan HKSR yang dialami oleh semua perempuan dan remaja terkhusus bagi mereka yang hidup di daerah remote, terpencil, serta miskin serta perempuan di daerah pertambangan dan perkebunan. Akses kesehatan yang sulit dijangkau karena faktor geografis sayangnya juga tidak diimbangi dengan ketersediaan layanan kesehatan Pustu atau Poskesdes yang layak maupun layanan praktik bidan desa yang terintegrasi dengan layanan BPJS. “Kondisi tersebut salah satunya mengakibatkan masih banyak perempuan yang enggan melakukan pemeriksaan kesehatan dan ibu hamil yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan karena tidak dapat menjangkau layanan kesehatan di puskesmas.”
Tri juga menyoroti minimnya layanan maupun edukasi bagi perempuan agar melakukan deteksi dini kanker payudara maupun kanker serviks yang merupakan penyakit kanker penyebab kematian terbesar pertama dan kedua bagi perempuan. Remaja di Indonesia juga menghadapi permasalahan serius terkait HKSR yakni kehamilan yang tidak dikehendaki, dan sulitnya akses layanan kesehatan serta rentan melakukan aborsi tidak aman. “Kita harus mengupayakan agar anak-anak kita yang mengalami KTD tetap mendapatkan layanan kesehatan hak-hak untuk mendapatkan layanan kesehatan ini juga menjadi penting,” terang Tri.
‘Aisyiyah disebut Tri juga mendorong keterlibatan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat untuk bersama mengatasi permasalahan HKSR ini dengan menjadi tokoh yang dapat memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi di lingkungannya. Isu HKSR disebut Tri bukan suatu hal yang tabu. Tidak seharusnya edukasi terkait HKSR dianggap sebagai mengajarkan seks bebas kepada para remaja. “Problem kespro bukan semata pada informasi dan kurangnya edukasi dan layanan tetapi di Indonesia juga terkait interpretasi agama, mitos, adat yang sangat kuat. Bagiamana kita melibatkan tokoh agama dalam pemenuhan HKSR ini,” terang Tri.
Dalam sesi pemaparan tersebut ‘Aisyiyah kemudian mengusulkan berbagai masukan bagi perencanaan pembangunan untuk mengatasi berbagai permasalahan terkait isu HKSR. (Suri)