Introspeksi Pascaramadhan

Muhasabah

Ilustrasi

Introspeksi Pascaramadhan

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Allah Subhanau wa Ta’aala berfirman di dalam surat al-Hasyr (59): 18-19,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Wahai, orang-orang yang beriman! Takwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri merenungkan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan takwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui apa saja yang kamu kerjakan. Dan janganlah keadaan kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah pun membuatnya lupa kepada dirinya sendiri; itulah orang-orang yang fasik.”

Pada ayat 18 Allah Subhanahu wa Ta’aala memerintah kita agar meneliti amal apa saja yang sudah kita kerjakan untuk esok. Sudahkah kita mengamalkannya?

Pada ayat: 19, Allah Subhanahu wa Ta’aala melarang kita berperilaku seperti orang yang lupa pada-Nya. Menurut tafsir Ibnu Katsir, jika seseorang lupa zikir atau lupa mengingat Allah Subhanahu wa Ta’aala, maka Allah Subhanahu wa Ta’aala membuatnya lupa apa saja yang patut dikerjakan untuk kepentingan dirinya sendiri yang yang bermanfaat bagi kehi­dupannya di akhirat.

Sementara itu, Ibnu Qayyim menulis dalam kitab Darus Sa’adah (Negeri Bahagia), “Barangsiapa lupa kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala, Allah Subhanahu wa Ta’aala membuatnya lupa kepada dirinya sendiri sehingga dia tidak mengenal lagi siapa sebenarnya dirinya dan apa yang perlu untuk kebahagiaan dirinya. Bahkan, dia pun dibuat lupa akan jalan hidup yang akan ditempuhnya untuk kebahagiaan dirinya sendiri, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat.”

Nah, bagaimana kualitas iman dan takwa kita hari ini? Lebih baik daripada kemarin? Jika lebih baik, kita menjadi orang beruntung! Jika sama, kita menjadi orang yang merugi. Jika lebih buruk, kita menjadi orang celaka! Nauzubillah!

Mari introspeksi!

Apa arti beridul fitri jika hari ini sama dengan kemarin. Esok sama dengan hari ini atau malahan, mungkin lebih jelek?

Apa arti beridul fitri manakala nurani dibohongi. Nikmat Allah pun dikorupsi sampai tak ingat mati atau mengira kematiannya sama dengan kematian hewan tak perlu pertanggungjawaban perbuatan kepada Tuhan.

Apa arti beridul fitri jika kebencian tetap kebencian tak berganti kasih sayang atau kasih sayang berganti kebencian. Ketakacuhan tetap ketakacuhan tak berganti kepedulian atau kepedulian berganti ketakacuhan. Kebohongan tetap kebo­hong­an tak berganti kejujuran atau kejujuran berganti kebohongan. Kesombongan tetap kesombongan tak berganti keramahtamahan. Kekasaran dan kekerasan tetap kekasaran dan kekerasan tak berganti kelemahlembutan atau kelemah­lembutan berganti kekasaran dan kekerasan. Ketumpulan perasaan tetap ketumpulan tak berganti kepekaan atau kepekaan berganti ketumpulan.

Apa arti beridul fitri jika tak ada keramahtamahan; yang ada saling meremehkan. Tak ada saling hormat. Yang ada saling hujat. Tak ada saling sayang. Yang ada saling tendang. Tak ada saling rangkul. Yang ada saling pukul.

Apa arti beridul fitri jika salah tak berakhir dengan tobat; dan hanya berpanjang-panjang debat.

 

Wahai pendidik, sudahkah menjadi pendidik yang cerdas secara utuh:

intelektual, emosi, sosial, dan spiritual

sehingga dapat mencerdaskan

anak bangsa seutuhnya?

 

Wahai ulama, sudahkah menjadi ulama

yang akhlaknya satu kata dengan perbuatan

yang fatwanya mencerahkan: tegas sebagai pembeda

antara yang hak dan yang haram

bukan fatwa yang remang-remang

yang mengaburkan dan meresahkan?

 

Wahai cendekiawan, sudahkah menjadi cendekiawan dengan wawasan

keindonesiaan dan keulamaan

yang mencerahkan pikiran dan hati

anak bangsa?

 

Wahai pedagang, sudahkah menjadi pedagang yang jujur

yang selalu menyisihkan

sebagian keuntungannya untuk infak,

zakat, jariyah, dan sedekah

dan sadar bahwa harta

yang dibelanjakannya

di jalan Allah itulah berdagang  sebenarnya

perdagangan yang tidak pernah merugi

yang keuntungannya

menjadi bekal hidup abadi?

 

Wahai petani, sudahkah menjadi petani

yang mampu mengolah sawah

secara cerdas dengan teknologi modern,

tetapi sadar sesadar-sadarnya Allah-lah

yang menghidupkan tanamannya,

menumbuhkannya, memberinya buah

dengan warnanya, menuakannya,

sadar sesadar-sadarnya akan zakat mal

yang menjadi kewajibannya

karena selalu yakin barakah

dari Allah pasti melimpah?

 

Wahai tentara, sudahkah menjadi tentara

yang mengamankan negara

yang di hati tertanam tekad

bahwa senjata di tangan

adalah untuk melindungi rakyat

dan bukan untuk memeranginya?

 

Wahai dokter, sudahkah menjadi dokter yang yakin

seyakin-yakinnya bahwa ilmu Anda

bagaikan setetes air yang jatuh

dari ujung jarum

yang diangkat setelah dicelupkan

ke dalam lautan?

yakin seyakin-yakinnya

bukan dirinya yang menyembuhkan,

melainkan Allah yang menakdirkan?

 

Wahai polisi, sudahkah menjadi polisi

yang tidak korupsi

yang menegakkan hukum

dengan semangat mengabdi

dan mencari rida Ilahi?

 

Wahai jaksa, sudahkah menjadi jaksa yang cermat tuntutannya

yang akurat dalil, pasal, dan ayatnya

sehingga terang-benderang perkaranya?

 

Wahai penasihat hukum,

Sudahkah menjadi penasihat hukum

yang punya semangat juang:

maju tak gentar membela yang benar

bukan membela yang membayar

mencari kebenaran bukan pembenaran?

 

Wahai hakim, sudahkah menjadi hakim yang adil

dalam menegakkan kebenaran

yang sadar akan tanggung jawab yang sangat berat

di hadapan Tuhan?

 

Wahai wakil rakyat, pahamkah

akan amanah di pundak:

mewakili rakyat dan memperjuangkan

kesejahteraan mereka

bukan menyejahterakan dirinya

dan keluarganya

bukan untuk kekuasaan partainya?

 

Wahai pejabat eksekutif, sadarkah

bahwa jabatan adalah amanah

manakala diperoleh melalui jalan Allah

diawali dengan niat ibadah

dilaksanakan senantiasa dengan bismillah

tidak dengan menghalalkan

segala jalan, berteman dengan preman

apalagi dengan syaitan?

 

Wahai seniman seniman dan budayawan,

pahamkah seni dan budaya yang utuh

tidak hanya menyajikan keindahan,

tetapi juga memperkenalkan dan mendekatkan

dirinya dan orang lain

kepada Allah Yang Mahaindah

yang di dalam hatinya tertancap prinsip:

di dalam estetika harus ada etika?

 

Wahai orang-orang yang mengemban jabatan

 

Jabatan itu amanah

manakala diperoleh melalui jalan Allah

diawali dengan niat ibadah

dilaksanakan senantiasa dengan bismillah

 

Sungguh jadi ironi

manakala jabatan dicari

apalagi dengan cara keji: membohongi hati nurani

menjual harga diri, memfitnah teman sendiri

 

Sungguh jadi lelucon murahan

manakala jabatan diperebutkan apalagi dengan kekerasan

mengaku beriman, tetapi berkawan dengan  preman

menghalalkan segala jalan demi tercapainya tujuan

Kebenaran dan kemunkaran pun dicampuradukkan

 

Jabatan itu ujian

menuju kemuliaan atau kehinaan

Mulia jika Qur’an Hadis dijadikan pedoman

Inilah insan mulia yang lulus ujian

Hina jika keduanya ditinggalkan

Inilah manusia hina yang gagal ujian

 

Jabatan itu pilihan:

memberi sebanyak-sebanyaknya

atau menerima lebih dari haknya

menegakkan kebenaran, tetapi dibenci

atau mengkhianati nurani, tetapi dipuji

 

Ya, Allah, aku malu bicara pada-Mu.

Engkau Mahasantun

dalam menegur pun

Engkau Maha Pengampun

pada dosa besar pun

Engkau Maha Peramah

bukan Pemarah walau aku berulah

 

Ya, Allah, aku malu bicara pada-Mu

Engkau Mahatahu

segala apa yang tersimpan

apalagi yang berwujud perilaku

 

Aku saja yang tak dengar

padahal punya telinga

Aku saja yang tak lihat

padahal punya mata

Aku saja yang tak sadari

padahal punya nurani

 

Ya, Allah, aku malu bicara pada-Mu

maka ingin bicara pada diri sendiri

dan pada hamba-Mu yang kini berada di sini:

Masihkah kita menunggu teguran Allah yang lebih dahsyat

karena kita berbuat jahat

Masihkah kita menunggu tak lagi terguran

tetapi laknat. karena kita bangga berbuat maksiat

Kapan kita bertobat?

Allahu a’lam

 

Mohammad Fakhrudin, warga Magelang tinggal Magelang kota

Exit mobile version