Silaturrahim Menyempurnakan Ibadah Ramadhan

M. Rifqi Rosyidi

Foto Dok Pribadi

Silaturrahim Menyempurnakan Ibadah Ramadhan

Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc. M.Ag.

Silaturrahim selama ini lebih sering dipandang sebagai aktifitas sosial semata dalam bentuk anjang sana, kunjungan dan berkumpul dengan kerabat, dan tidak banyak yang menyadarinya sebagai ibadah.

Padahal sebenarnya silaturrahim merupakan salah satu bentuk ibadah yang memiliki kedudukan yang istimewa dalam ajaran islam di mana kewajibannya ditekankan melalui teks-teks agama baik al-Quran maupun al-Hadits.

Dan dari narasi teks-teks tersebut dapat dikatakan bahwa standar kualitas keimanan seseorang bisa dilihat dari kesungguhannya dalam bersilaturrahim dan merawat hubungan baik dengan kerabatnya, sebagaimana sabda nabi: man kāna yu’minu bi Allāhi wa al-yawm al-ākhir falyashil rahimahū (barang siapa yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia menjaga hubungan kekerabatan). [H.R. Bukhari 6138].

Pada tataran spiritual silaturrahim memiliki fungsi yang sama dengan ibadah-ibadah yang lain seperti shalat dan puasa, di mana Allah menjadikannya sebagai sarana turunnya rahmatNya, khusunya berkaitan dengan keberkahan waktu [usiai] dan keterjaminan rizki yang halal bagi seseorang.

Hal ini disabdakan oleh rasulullah s.a.w.: “barang siapa yang ingin dilapangkan jalan rizkinya dan dikaruniakan berkah panjang umurnya, maka hendaklah ia bersilaturrahim”. [H.R. Bukhari 5986].

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan silaturrahim yang menjadi kewajiban agama yang memberi pengaruh spiritual yang luar bisanya tersebut bagi pelakunya?.

Silaturrahim sebenarnya ungkapan bahasa arab yang sudah disalahkaprahkan pengungkapannya ke dalam bahasa Indonesia dengan ungkapan silaturrahmi, yang dalam tinjauan kebahasaan masing-masing memiliki makna yang jauh berbeda. Meskipun kalau dilakukan pemaknaan secara bebas keduanya bisa dihubungkan dengan prinsip sebab akibat bahwa menjaga hubungan kekerabatan (rahim) akan mempengaruhi kesinambungan turunnya rahmat (rahmi).

Secara literal silaturrahim terdiri dari 2 suku kata, yaitu silat dan rahim, yang saling disandarkan dalam bentuk struktur kalimat idhāfah. Silatun artinya hubungan, ikatan dan arti kata sejenisnya. Ungkapan ini memberi kesan arti menyambunghubungkan yang terputus dan mengumpulsatukan yang berjauhan secara fisik dan psikis.

Sedangkan rahim artinya tempat bersemayamnya janin di dalam perut seorang ibu, yang pada tataran sosialnya sering disebut dengan kerabat yang memiliki satu garis keturunan nasab dan ikatan darah.

Dengan demikian pada hakikatnya silaturrahim menurut perspektif syariah adalah merawat keharmonisan hubungan kekeluargaan dalam satu garis keturunan nasab dengan sikap bijak dan tindakan filantropis yang tulus.

Silaturrahim mempunyai nilai yang istimewa dalam ajaran islam sebagai bentuk pengejawantahan salah satu maqāshid syarīah dalam bentuk hifdz al-nasl (menjaga keturunan), karena secara tidak langsung tujuan utama disyariatkannya silaturrahim ini juga mengandung perintah menjaga kejelasan garis keturunan dan kesucian nasab dengan pelaksanaan nikah yang sesuai ketentuan agama dan negara.

Hal ini sekaligus sebagai bentuk penekanan haramnya hubungan laki-laki dan perempuan tanpa ikatan nikah yang benar, karena anak yang lahir dari perzinahan dan hubungan ilegal akan terputus garis nasabnya.
Selanjutnya dalam konteks kekinian dan kedisinian, penggunaan istilah silaturrahim sudah jauh keluar dari konteks dan makna aslinya, karena silaturrahim sekarang menjadi istilah global yang ruang lingkupnya semakin luas bukan hanya pada lingkup keluarga saja tetapi sudah menjadi istilah bagi semua bentuk kegiatan sosial yang mempertemukan beberapa elemen masyarakat meskipun tidak memiliki kesamaan garis nasab dan kesatuan ikatan darah, termasuk kunjungan serta pertemuan yang bersifat individual dan bertendens politis juga sering disebut dengan silaturrahim.

Dengan membawa semangat ishlāh yang termaktub di dalam Q.S. al-Hujurat, maka silaturrahim dapat dilakukan dengan mengembangkan suatu misi.

Misi silaturrahim yang pertama adalah memperbaiki hubungan, mendamaikan yang berseteru dan menyambung yang terputus. Prinsip ishlāh dengan ungkapan Fa ashlihu baynahuma yang termaktub di dalam Q.S. al-Hujurat ayat 9 merupakan perintah kepada pihak ketiga untuk mendamaikan antara dua kelompok umat Islam yang berselisih dan saling bermusuhan.

Ajaran Islam tidak pernah memberi kesempatan bagi umat Islam untuk menebar kebencian dan menyulut permusuhan antar sesama karena yang demikian menjadi penyebab jauhnya rahmat Allah dari kehidupan orang-orang yang berseteru. Selaras dengan ini rasulullah melarang umat Islam untuk mendiamkan (al-hajr) saudaranya tanpa sapa dan ucapan salam lebih dari tiga hari.

Bahkan dalam lingkup hubungan suami istri pun ada konsep ishlāh ketika terjadi ketidaksepahaman (syiqāq) antara keduanya dengan melibatkan duta juru damai dari masing-masing keluarganya untuk mencari jalan terbaik bagi kedua pihak.

Misi kedua dari kegiatan silaturrahim adalah merawat hubungan baik dan meningkatkan kualitas hubungan kekerabatan (dzawū al-qurbā, aqrabūn) secara khusus dan persaudaran sesama umat islam (ukhuwwah islāmiyyah) pada tingkat yang lebih umum.

Misi inilah yang disebutkan di dalam ayat ke-sepuluhnya, fa ashlihū bayna akhawaykum, karena sesama umat islam pada dasarnya diikat oleh satu ikatan iman yang harus dirawat, dijaga dan dikembangkan ke arah yang lebih produktif sebagai upaya menciptakan keharmonisan dan keselarasan hidup dengan alam sekitar.

Misi ketiga, silaturrahim berparadigma ishlāh dalam menjaga harmoni kebhinekaan dan keberagaman global antar suku bangsa (syu-ūban wa qabāila) dengan mengedepankan prinsip kesetaraan dan persamaan antar umat manusia dan keadilan universal. Ketika keberagaman dan kebhinekaan menjadi sunnatullāh dalam penciptaan alam semesta maka sikaturrahim dengan konsep lita’ārafū menjadi penting dan wajib dikembangkan sebagai upaya menjaga keserasian hidup bukan hanya dengan manusia tetapi dengan lingkungan alam sekitarnya.

Semaraknya agenda silaturrahim setelah pelaksanaan ibadah puasa ramadhan jangan hanya dilihat dari sisi budaya dan kearifan lokal semata tetapi juga perlu dipahami sebagai satu bentuk ibadah yang berfungsi menyempurnakan rangkaian ibadah selama ramadhan.

Allah menjamin terhapusnya akumulasi dosa-dosa selama satu tahun yang berlalu dengan ibadah selama bulan ramadhan, tetapi tidak dengan dosa dan kesalahan antar sesama manusia.

Dengan demikian silturrahim memastikan kedewasaan jiwa dan kelapangan hati setiap muslim untuk mengakui keterbatasan di hadapan orang lain dan saling memaafkan sesamanya (al-‘āfīna ‘an al-nās).

Exit mobile version