Dilema Ru’yatul Hilāl antara Ta’abbudī, Ralat Tanggal atau Satu Bulan Hanya 28 hari
Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag.
Kalau ada yang menolak penggunaan hisab sebagai metode penentuan awal dan akhir setiap bulan, harusnya jangan hanya kasak kusuk ketika menentukan awal dan akhir ramadhan, sehingga ru’yatul hilal yang dinarasikan secara provokatif sebagai wilayah ta’abbudī ketika menentukan awal bulan ramadhan harus juga dilakukan pada tanggal 29 setiap bulannya untuk menentukan itsbāt bulan baru atau istikmāl sesuai dengan hasil rukyah.
Tetapi yang kita saksikan adalah kasak kusuk tersebut hanya terjadi ketika itsbat Ramadhan, Syawwal dan Dzul Hijjah, padahal itsbat ketiga bulan itu juga sangat terkait dengan ru’yatul hilāl pada bulan-bulan sebelumnya.
Dengan demikian kenyataannya selama ini ru’yah hanya heboh digunakan sebagia patokan untuk menentukan ketiga bulan tersebut, di luar itu mereka yang bermadzhab ru’yah itu wilayah ta’abbudī lebih memilih berpedoman pada kalender dan penanggalan yang merupakan produk perhitungan ilmu hisab, dan selama ini tidak ada masalah serta tidak pernah juga ada pengerahan tim rukyah setiap akhir bulan, apakah yang semacam ini tidak masuk kategori golongan yang ya’budu Allāha ‘alā harfin; beragama sesuai dengan mood dan seleranya.
Mengapa bisa dikategorikan ya’budu Allāha ‘alā harfin? Karena pada bulan-bulan yang lain juga banyak ibadah-ibadah yang terkait dengan akurasi penentuan awal bulan seperti puasa ayyāmul bīdh, perhitungan masa ‘iddah, pelaksanaan kaffarah syahrayni mutatābi’ayni dan lain-lain, termasuk penentuan akhir bulan syawwal apakah 29 hari atau istikmāl 30 hari ketika berkaitan dengan keabsahan puasa syawwal.
Ini namanya mengambil sebagian yang ada jatahnya, tapi tidak konsisten dengan madzhab ru’yah ketika tidak ada anggaran jatah, kalau boleh disebut mereka itu yu’minu bi ba’dlin wa yakfuru bi ba’dlin.
Secara historis rukyatul hilāl itu sendiri sebenarnya merupakan metode penentuan awal bulan yang sudah lazim dan biasa digunakan oleh bangsa arab dan juga beberapa bangsa lainnya di dunia sebelum masa Islam.
Dengan demikian cara menentuan awal dan akhir bulan berbasis ru’yatul hilal ini bukan metode terbarukan melalui risālah ilāhiyyah yang dibawa nabi Muhammad. Oleh karena itu kalau rukyatul hilal dikatakan ta’abbudī maka bisa disebut sebuah pemaksaan, takalluf dan terlalu mengada-ada dalam beristidlal.
Ini Fiqih Pembodohan (meminjam istilah pak Din yang beredar di media sosial).
Ungkapan: shūmū liru’yatihi wa afthirū luru’yatihi tidak boleh dipahami sebagai bentuk pembatasan metodologis dalam menentukan bulan baru, tetapi rasulullah sedang mengapresiasi metode ini untuk dipergunakan sebagai patokan dalam memulai dan mengakhiri berpuasa.
Ru’yatul hilal menjadi pilihan nabi karena cara inilah yang selama ini mereka kuasai akibat dari keterbatasan literasi keilmuan dan teknologi.
Keterbatasan literasi generasi masa kenabian diakui sendiri oleh nabi dalam ucapannya: innā ummatun ummiyyatun lā naktubu wa lā nahsubu. Al-Quran menyebutkan bahwa Nabi Muhammad itu al-nabīy al-ummīy (Q.S. al-A’raf [7]: 187 dan 185), dan nabi yang ummìy tersebut diutus di tengah-tengah umat yang ummīy pula (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 2).
Berkaitan dengan ayat-ayat diatas Al-Zajjāj seorang ahli tafsir mengatakan bahwa mayoritas bangsa arab itu buta huruf tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis, dan nabi Muhammad juga demikian halnya, maka dari itu beliau disebut dengan al-nabīy al-ummīy, seorang nabi yang tidak kenal baca tulis.
Dan dengan mengacu kepada arti al-ummiy dan keterangan tambahan lā naktubu wa lā nahsubu dalam hadits di atas maka jelas bahwa keterbatasan literasi keilmuan dan teknologi menjadi alasan kuat pada masa tersebut untuk menggunakan ru’yatul hilal yang mengandalkan kekuatan inderawi melihat dengan mata telanjang tanpa alat bantu apapun.
Dan merujuk kepada pendapat madzhab maka harus melihat dengan mata telanjang (‘aynun mujarradatun). Tetapi kenyataannya penolak hisab dalam menentukan awal ramadhan dengan rukyah ternyata menggunakan bantuan produk teknologi terbaru, dan ini tidak pernah dilakukan oleh nabi dan para ulama salaf.
Menolak produk kemajuan ilmu hisab karena ru’yahtul hilāl dianggap ta’abbudī tapi menggunakan produk kemajuan teknologi (teropong) yang tidak pernah ada zaman nabi, bukankah ini bentuk terapan dari ayat ya’budu Allāha ‘alā harfin, beribadah semau gue.
Seandainya saja kajian tentang hadits perhitungan bulan itu dilakukan secara utuh dan komprehensif, maka akan ditemukan makna mafhūm dari ungkapan lā naktubu wa lā nahsubu sebagai perintah kepada umat islam setelah masanya untuk mengembangkan kegiatan literasi ilmiah sebagai upaya membantu memudahkan pelaksanaan ibadah.
Dalam tinjauan kebahasaan struktur kalimat semacam ini disebut dengan jumlah khabariyyah (informatif) tetapi punya semangat insyā’iyyah (imperatif).
Kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi jangan sampai dianggap bertentangan dengan maqāshid syarīah hifdzu al-dīn, karena kemudahan dan kepastian dalam melaksanakan ibadah yang dihasilkan dari memberdayakan kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan secara optimal adalah hakikat dari hifdz al-dīn itu sendiri.
Pengakuan nabi tentang keterbatasan generasi pertama dalam bidang baca tulis; lā naktubu wa lā nahsubu tidak akan mengurangi kesempurnaan ajaran islam, dan tidak juga menurunkan status mereka sebagai generasi terbaik (khayru al-qurūn), tetapi kandungan hadits-hadits dalam masalah ini menggambarkan ketajaman analisa dan wawasan profetik tentang kondisi masa depan yang akan dihadapi oleh umat Islam dengan terjadinya semacam disrupsi ilmu pengetahuan dan teknologi yang harus dihadapi dan diadaptasi supaya bisa dimanfaatkan
mengembangkan penyelenggaraan ibadah dengan sempurna meskipun berada di tengah-tengah perkembangan peradaban yang tidak sempurna dan penuh tantangan.
Al-Quran pun menyatakan adanya disiplin ilmu astronomi dengan konsentrasi ilmu hisab dalam penggalan ayat li ta’lamū adada al-sinīna wa al-hisāb. Sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam al-Quran bahwa semua benda langit memiliki wilayah edarnya yang terukur dengan ketentuan yang detail (qaddarahū manāzila) dan semuanya beredar secara konstan dan ajeg untuk durasi waktu dua belas bulan sesuai ketentuan ilahiyyah ketika menciptakan langit dan bumi sehingga keberaturan dan keajegan peredaran benda-benda langit itu bisa dijadikan patokan yang pasti dalam melaksanakan ibadah
Ru’yatul hilāl sebagaimana yang telah diungkapkan di atass ditetapkan nabi sebagai metode penetapan permulaan bulan karena memang sebatas itu kemampuan dan tingkat peradaban bangsa arab waktu itu, sehingga dari beberapa ungkapan nabi dalam masalah ini akan kita temukan isyarat yang menunjukkan bahwa metode ini memiliki kelemahan dari sisi akurasi dan presisinya. Maka ketika terjadi mendung dan tidak mungkin melakukan rukyatul hilal maka pada satu kesempatan rasulullah memerintahkan untuk menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari: fa akmilū ‘iddata sya’bān tsalātsīn, tapi pada kesempatan yang lain beliau juga memberi pilihan untuk mempredeksi dan membuat perhitungan posisi hilal dengan ungkapan: fa uqdurū lahū. Dan tidak mungkin kita paksakan bahwa hadits tentang istikmāl sya’ban itu menjadi tafsir pengikat dari al-taqdīr (faqdurū lahū).
Salah satu kelemahan metode rukyatul hilal adalah memaksa kita untuk sering meralat tanggal. Kalau tidak diralat maka akan terjadi satu bulan hanya 28 hari atau bahkan bisa menjadi 31 hari, di mana dua jumlah ini tidak dikenal di dalam bilangan bulan-bulan qamariyah.
Konkritnya kemungkinan besar terjadi ketika tanggal 29 sore terjadi mendung yang tidak memungkinkan melihat hilal, maka besok hari dianggap belum masuk bulan baru dan dianggap tanggal 30 dengan asumsi hilal belum bisa dilihat, padahal sebenarnya seandainya sore itu tidak mendung hilal penanda tanggal 1 sudah bisa dilihat. Istikmalnya 30 hari, meski harusnya cuma 29 hari dan kalau tidak diralat maka akan berpengaruh terhadap jumlah hari pada bulan berikutnya.
Dengan demikian cara memahami dua hadits fa uqdurū dan fa akmilū tidaklah sesederhana dengan sebatas dikompromikan sebagai tafsīr sunnah bi sunnah. Kalau fa uqdurū hanya ditafsiri dengan fa akmilū saja, maka hadits tersebut tidak memiliki ruh dan menjadikan ungkapan fa uqdurū yang memiliki semangat transformasi menjadi seperti dikebiri dan dibatasi ruang lingkupnya.
Selain narasi ta’abbudī, narasi thā’atu ulì al-amri juga dikembangkan untuk menolak pemberlakuan metode hisab dalam menentukan awal bulan. Seakan-akan yang bermadzhab hisab dianggap tidak taat ulil amri yang bermadzhab ru’yat, padahal ini masalah fiqih yang para pendahulu kita dari kalangan ulama sudah terbiasa dengan perbedaan sudut dalam beristidlal satu dalil yang sama.
Tafsir ini sangat naif ketika berbeda madzhab dengan pemerintah dianggap tidak taat ulil amri, apalagi menggunakan istilah ego organisasi, bahkan melontarkan ancaman pembunuhan. Ini akan menjadi bumerang karena berimbas lahirnya tuduhan kepada imam Ahmad sebagai ulama yang tidak taat ilil amri karena menolak pendapat teoligis muktazilah tentang khalqul Quran yang menjadi madzhab daulah/negara waktu itu.