Reza Indragiri Amriel
Viral, seorang peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional ancam bunuh warga Muhammadiyah.
Mari menarik pelajaran dari situasi-situasi serupa di mancanegara.
Sebelum menembak 19 murid dan 2 guru pada Mei 2022, Salvador Ramos mengirim pesan di akun Facebook-nya. “Saya akan melakukan penembakan di sebuah SD,” tulisnya.
Travis McMichael juga meninggalkan jejak digital berupa pesan kebencian tentang kalangan tertentu, sebelum menembak orang dari kelompok sosial yang ia benci. Tidak sebatas pembunuhan, Travis dikenai pasal kejahatan dengan latar kebencian (hate crime).
Seandainya informasi tentang pesan maut Salvador dan Travis sampai di kantor polisi, dan polisi meresponnya secara efektif, tragedi hilangnya nyawa manusia akibat pembunuhan akan bisa dicegah.
Dua contoh di atas–dan masih banyak lagi–menunjukkan fakta bagaimana media sosial memainkan pengaruh penting dalam mendorong terjadinya pembunuhan. Yakni, lewat stigma buruk terhadap individu maupun kelompok target, melegitimasi kekerasan, serta merekrut calon-calon pelaku.
Polri perlu mengambil langkah tegas guna menginterupsi kekerasan di media sosial yang dapat bereskalasi menjadi kekerasan di dunia nyata. Apalagi, dari redaksionalnya, kebencian dan ancaman pembunuhan itu tertuju tidak sebatas pada individu per individu, melainkan menyasar kelompok dengan latar identitas tertentu. Inilah indikasi utama hate crime, yakni kejahatan yang dilakukan dengan menyeleksi para calon korban berdasarkan ciri atau identitas termasuk kelompok tertentu. Ketika ancaman pembunuhan saja sudah tidak patut dipandang sebelah mata, apalagi jika ancaman itu diekspresikan dalam bentuk hate crime.
Dalam situasi hate crime, para korban tidak sebatas direct victim, tapi bahkan mencakup vicarious victims alias masyarakat. Kendati ‘sebatas’ vicarious, namun reaksi psikis mereka serupa dengan direct victim: takut, marah, terguncang. Dengan skala korban sedemikian luas, 46 negara bagian, Distrik Columbia, dan 2 teritori Amerika Serikat mengadakan hukuman yang diperberat bagi pelaku hate crime.
Pada kenyataannya, sekitar setengah dari seluruh korban hate crime tidak melaporkan peristiwa dimaksud ke kepolisian. Dari total yang dilaporkan pun tidak banyak yang berlanjut ke proses litigasi. Terlihat betapa mereka yang merasa telah menjadi korban hate crime justru diperlakukan kurang sebagaimana mestinya. Akibatnya, kian hari jumlah laporan pun kian menurun. Inilah yang mendorong sekian banyak institusi kepolisian berupaya menyemangati masyarakat untuk melaporkan hate crime yang terjadi di tengah-tengah mereka.
Anggaplah pelaku pengancaman telah menyatakan permohonan maafnya. Namun polisi tetap perlu turun tangan agar masyarakat dan warga net, terlebih kalangan yang menjadi sasaran ancaman pembunuhan, dapat menyaksikan bagaimana orang yang telah berbuat buruk itu dituntut bertanggung jawab oleh negara. Begitu pula, meski sejauh ini ancaman pembunuhan itu belum mewujud sebagai aksi pembunuhan, namun perbuatan menebar ancaman itu tetap mesti tercatat dalam rekam kriminalitas yang bersangkutan. Sehingga, sekiranya pelaku nantinya mengulangi perbuatan tersebut, ia sudah dapat dikategori sebagai pelaku residivisme. Residivisme di sini tidak dihitung berdasarkan frekuensi masuknya pelaku ke dalam penjara, melainkan berdasarkan pemeriksaan (re-contact) atau bahkan penahanan (re-arrest) oleh kepolisian. Keseriusan nyata oleh otoritas penegakan hukum seperti itulah yang diharapkan akan memunculkan efek jera pada diri yang bersangkutan.
Tentu tidak cukup terhadap pelaku. Para korban juga harus diberikan jaminan keamanan oleh otoritas terkait agar terhindar dari eskalasi ancaman pembunuhan tadi.
Reza Indragiri Amriel, Anggota Pusat Kajian Assessment Pemasyarakatan, POLTEKIP