Kesehatan Otak Perempuan dan Para Perempuan Islam Berkemajuan
Oleh: Wildan, Nurcholid Umam Kurniawan, dan Farida Ulfah Ma’rifah
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta.
Yang telah menciptakan manusia dari ‘alaq.
Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah.
Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia
apa yang belum diketahui(nya)” (QS al’Alaq [96] : 1 – 5).
Menurut Amina Wadud (1999), keturuan Afro Amerika, Guru Besar Studi Islam pada Jurusan Filsafat dan Studi Agama, Universitas Virginia Commonwealth, al-Qur’an tidak menganggap perempuan sebagai sejenis laki-laki dalam tema-tema utamanya. Laki-laki dan perempuan adalah dua kategori spesies manusia yang diberi perhatian yang sama atau sedereajat dan diberkati dengan potensi yang sama atau sederajat. Tidak satu pun dikeluarkan dari tujuan utama al-Qur’an, yakni untuk membimbing manusia ke pengenalan dan keyakinan terhadap suatu kebenaran.
Al-Qur’an mendorong semua orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, supaya mengikuti keimanan mereka dengan tindakan, dan untuk ini al-Qur’an menjanjikan pahala yang besar bagi mereka. Jadi, al-Qur’an tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam penciptaan, tujuan, atau pahala yang dijanjikan. Al-Qur’an yang paling berpeluang untuk membimbing masyarakat manusia menuju kolaborasi antara laki-laki dan perempuan yang lebih efektif dan produktif ketimbang yang sekarang ini dicapai oleh kaum Muslim maupun non-Muslim. Kaum Muslim progresif telah lama percaya bahwa yang menjadikan perempuan tertindas bukanlah agama melainkan penafsiran dan implementasi al-Qur’an yang patriakal.
Di dalam Kitab Suci al-Qur’an, kata laki-laki (rijaal) disebutkan sebanyak 24 kali dan kata perempuan (nisaa) juga disebutkan 24 kali. Nama Adam disebutkan sebanyak 25 kali dan kisahnya disebutkan dalam Surah al-Baqarah [2] : 30 – 39; al-A’raaf [7] : 11 – 25; al-Hijr [15] : 26 – 44; al-Isra’ [p17] : 61 – 65; Thaha [20] : 115 – 126; dan Shaad [38] : 67 – 88. Sedangkan nama Hawa tidak disebutkan secara tersurat, tetapi tersirat kisahnya di dalam Surah al-Baqarah [2] : 35 – 39; al-A’raaf [7] : 19 – 25; dan Thaha [20] : 117 – 126.
Kepada kaum perempuan, Allah mengingatkan agar meniru perilaku Maryam (Surat ke-19). Lagi, Allah mengingatkan pentingnya pendidikan dalam keluarga seperti yang dilakukan oleh Luqman (Surat ke-31) agar senantiasa bersujud hanya kepada Allah,Tuhan Maha Esa, as-Sajdah, Sujud, (Surat ke-32). Kepada umat Islam, diingatkan agar senantiasa meniru perilaku Nabi pungkasan Muhammad yang tidak hanya sehat spiritual, bahkan Nabi senantiasa bugar spiritual, moral fitness ( Surat ke-47), jika umat Islam ingin mendapatkan al-Fat-h atau Kemenangan (Surat ke-48). Kemudian Allah mengingatkan umat Islam agar jangan sampai musnah seperti umat Nabi Nuh (Surat ke-71).
Menurut M Quraish Shihab (2018), dalam bukunya yang bejudul “ Perempuan”, bahwa perempuan diciptakan Allah untuk mendampingi laki-laki, demikian pula sebaliknya. Ciptaan Allah itu pastilah yang paling baik dan sesuai buat masing-masing. Perempuan pastilah yang terbaik untuk mendampingi laki-laki, sebagaimana laki-laki pasti pula yang terbaik untuk mendampingi perempuan, karena tidak ada ciptaan Allah yang tidak sempurna dalam potensinya saat mengemban tugas serta fungsi yang diharapkan dari ciptaan itu. Sang Pencipta pasti Maha Mengetahui kebutuhan laki-laki dan perempuan serta apa yang terbaik lagi sesuai bagi masing-masing. Dia pula yang memberi petunjuk untuk tercapainya dambaan kedua jenis kelamin itu, antara lain berupa ketenangan dan ketenteraman hidup.
Semua laki-laki, termasuk para nabi suci sekalipun, harus mengakui bahwa dia membutuhkan perempuan untuk menyalurkan cinta dalam jiwanya sehingga, jika seorang laki-laki tidak menemukan perempuan yang dia cintai, dia akan mencintai perempuan yang dia temukan. Semua laki-laki harus mengakui bahwa tanpa perempuan hati laki-laki akan remuk, dan tanpa perempuan laki-laki akan saling menghancurkan. Hal ini disebabkan ketika dia tidak memiliki anak yang lahir melalui seorang perempuan yang dapat menghalanginya menghancurkan atau dihancurkan orang lain.
Sedemikian penting perempuan bagi laki-laki sampai-sampai mereka bersedia saling membunuh untuk memperebutkannya. Konon, sebab pembunuhan pertama saudara terhadap saudara kandungnya terjadi karena perempuan. Bahkan, jika laki-laki yang pembohong dan mementingkan diri sendiri dan perempuan banyak bicara dan tinggi hati, tetap saja pertemuan mereka itu indah dan menyenangkan selama masing-masing telah terbiasa dan saling mengenal lagi saling membutuhkan.
Memang, Allah menciptakan perempuan – baik sebagai isteri, ibu, atau anak – untuk dicintai laki-laki, demikian pula sebaliknya. Perempuan harus dihormati dan dicintai. Nabi Muhammad Saw. sendiri menyatakan bahwa diciptakan oleh Allah buat beliau dari apa yang terhidang di dunia ini, perempuan dan wewangian dan shalat menjadi buah mata kesukaannya (HR an-Nasa’i melalui Anas ibnu Malik). Di kali lain, beliau bersabda : “Dunia ini adalah kesenangan dan yang paling menyenangkan adalah perempuan yang salehan” (HR Muslim dan an-Nas’i melalui Abdullah ibn Amr ibn as-Ash). Memang, perempuan adalah makhluk yang belum dikenal secara utuh hingga kini.
Kini, laki-laki telah ratusan tahun mempelajari perempuan, tetapi sampai sekarang laki-laki belum mengenal siapa dia dan apa sebenarnya yang dia inginkan. “Mencintai seorang perempuan mencukupi seorang laki-laki, tetapi untuk memahaminya, seribu (laki-laki) pun belum cukup”. Boleh jadi karena berputus asa dalam mengenalnya, sementara orang berkata, “Perempuan akan dicintai lebih hangat oleh siapa yang mengenalnya lebih sedikit”, atau berkata, “Siapa yang berpura-pura mengenal perempuan, dia seorang yang tolol, dan siapa yang berusaha mengenalnya, dia lebih tolol lagi”. Semua ungkapan ini bukanlah kebenaran mutlak, walau ada unsur kebenarannya. Di sisi lain harus disadari bahwa laki-laki pun demikian. Manusia adalah makhluk yang tidak dikenal, Man The Unknown, begitulah judul buku yang ditulis Alexis Carrel (1873 – 1944).
Merujuk pada tulisah Nurcholish Madjid (2015), dalam bukunya yang berjudul, “ 32 Khubah Jum’at Cak Nur”, bahwa pada abad ke-7, once upon the time, al-kisah pada suatu hari sang Nabi bertanya kepada seorang perempuan tua, di manakah Allah itu berada? Perempuan tua itu menjawab pertanyaan sang Nabi dengan mengangkat tangan kanannya dan telunjuk jari menunjuk ke arah atas, ke langit. Jawaban perempuan tua itu dibenarkan oleh sang Nabi. Para sahabat tidak setuju dan “mengkritik” sang Nabi karena jawaban perempuan tua tadi tidak sesuai dengan petunjuk Allah dalam Kitab Suci, bahwa Allah itu ada dimana-mana. Dengan sabar serta arif bijaksana, sang Nabi menanggapi “kritik” para sahabat. Jika sanga Nabi dan para sahabat masih hidup di zaman now, kira-kira jawaban sang Nabi : “Bro, perempuan tua itu tahunya cuman itu doang. Kita harus taken for granted, terima apa adanya gitu loh”
Bahkan, ketika sang Nabi “dikritik” Allah ketika beliau menghadapi seorang laki-laki buta, hal ini pun disampaikan kepada umatnya tanpa ditutupi-tutupi, disampaikan beliau dengan transparan. Hal ini dapat dibaca kisahnya pada surah ke-80, yaitu surah ‘Abasa (cemberut). Ada juga yang menamainya surah ash-Shakhkhah (yang memekakkan telinga), surah as-Safarah (para penulis kalam Ilahi), dan surah al-A’ma,(sang tunanetra) yang kesemuanya diambil dari kata-kata yang terdapat dalam surah itu (Shihab, 2012). Jadi kritik tidak dibungkam, apalagi dibuatkan Undang-Undang Hukum Pidana dengan “pasal karet” penghinaan seperti pada jaman now, kembali mundur pada zaman kolonial.
Abad 21 adalah abad otak, the century of the brain. Brain – Mind – Behaviour atau Otak – Jiwa (pikiran-perasaan) – Perilaku. Oleh karena itu, otak yang maju akan menghasilkan kemajuan. Lewat Kitab Suci Allah melakukan pengajaran (transfer of knowlegde) dan pendidikan (transfer of values) kepada umat manusia seluruhnya, baik laki-laki maupun perempuan, yang memang berbeda tapi setara di hadapan Allah. Otak laki-laki memang berbeda dengan otak perempuan, tidak berawal dengan struktur otak yang sama dan secara alamiah, otak laki-laki dan otak perempuan berbeda. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, diciptakan Allah untuk saling melengkapi, bersinergi dan berkolaborasi demi kebahagiaan dan kesejahteraan hidup bersama baik di dunia yang fana ini maupun di akhirat, kelak.
Hukum otak, gunakan atau hilang, use it or lose it. Perintah Allah kepada umat manusia sebagaimana kutipan awal di atas, yang merupakan wahyu pertama kali yang diterima oleh sang Nabi, agar kesehatan otak manusia senantiasa terpelihara dan membaca adalah pintuk masuk (entry point) ke arah dan menuju kemajuan.
Menurut Nasaruddin Umar, (2015), Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, perintah iqra’ dalam Kitab Suci disampaikan Allah empat kali. Maknanya, pertama read, bacalah. Membaca tidak hanya sekedar vokalisasi huruf. Maka, makna kedua, think, pikirkanlah makna-makna (meanings) dan nilai-nilai (values) yang tercantum dalam Kitab Suci. Dengan demikiian, Allah berharap agar manusia menjadi manusia yang ulul albab, manusia yang punya pemikiran yang mendalam. Makna ketiga, understand, pahamilah. Untuk memahami Allah memberi petunjuk, gunakan kalbumu (otak depan) untuk memahami ayat-ayat Allah, gunakan matamu (otak belakang) untuk memahami kebesaran Allah, gunakan telingamu (otak samping kanan dan kiri) untuk mendengar ayat-ayat Allah. Jika manusia lalai, tidak menggunakan otaknya, perilakunya akan seperti binatang ternak, sehingga mudah digiring ke neraka tinggal bersama dengan jin yang juga tidak menggunakan otaknya (QS al-A’raf [7] : 179). Makna keempat maintain, jagalah, peliharalah nilai-nilai (values) dalam Kitab Suci dalam bentuk perilaku yang bernilai (amal saleh), seperti yang dilakukan oleh Nabi (the living Qur’an). Apabila hal ini dilakukan oleh manusia, maka akan menjadi manusia yang sesungguhnya manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah (The King of Mankind). Maka, surah terakhir Kitab Suci yaitu surah ke 114 adalah an-Nas, manusia (the Mankind). Jadi, perintah iqra’ adalah petunjuk Allah agar manusia terpelihara kesehatan otaknya !
Otak Perempuan dan Kesehatan Otak
Manusia berasal dari kata manu (bahasa Sanskerta) dan mens (bahasa Latin) yang berarti “makhluk berakal budi”. Tanpa budi, akal manusia akan dipakainya untuk ngakali dan akal-akalan. Perilakunya tidak manusiawi, berubah menjadi perilaku hewani, homo homini lupus, menjadi serigala bagi manusia lainnya. Mestinya, menjadi homo homini socius.
Menurut Brizendine, seorang Neurolog-Psikiater, Dokter Syaraf-Jiwa, Direktur Women’s and Teen Girls’ Mood and Hormone Clinic, penulis buku “The Famale Brain” (2006), yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “The Female Brain, Hasil penelitian 20 tahun Temuan terbaru Mengungkap misteri otak perempuan, yang juga penulis buku “The Male Brain”(2010), yang juga telah diterjemahkan dengan judul : “The Male Brain , Mengungkap Misteri Otak Laki-Laki”, bahwa otak perempuan memiliki kemampuan-kemampuan unik yang menakjubkan – ketangkasan verbal yang luar biasa, kemampuan untuk berhubungan secara mendalam dalam persahabatan, kemampuan yang nyaris seperti cenayang dalam membaca wajah dan nada suara untuk mengenali emosi dan keadaan pikiran, serta kemampuan untuk meredakan konflik. Semua ini sudah tertata kuat dalam otak perempuan. Semuanya adalah bakat-bakat yang dimiliki perempuan sejak lahir yang, sejujurnya, tidak dipunyai laki-laki.
Menurut Allan & Barbara Pease (2011), bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Bukan karena ada yang lebih baik atau lebih buruk; tapi, hanya berbeda. Itu saja. Para ilmuwan, ahli antropologi dan ahli sosiobiologi telah mengetahui hal ini sejak beberapa tahun yang lalu. Namun mereka sadar jika mereka menyampaikan pengetahuan mereka tersebut secara terbuka kepada dunia yang sempurna secara politis seperti saat ini; maka hal itu hanya dapat membuat diri mereka menjadi semacam makhluk sosial yang paling rendah dan dibenci. Kita tahu bahwa masyarakat dunia sekarang ini sudah meyakini bahwa kaum laki-laki dan perempuan memiliki keterampilan, kemampuan dan potensi yang sama – padahal ironisnya, ilmu pengetahuan membuktikan bahwa mereka sesungguhnya benar-benar berbeda. Maka hanya dengan memahami perbedaan antara laki-laki dan perempuan sajalah kita dapat benar-benar mulai membangun kekuatan bersama-sama, dan bukannya sibuk membicarakan kelemahan masing-masing.
Laki-laki mengkritik para perempuan tentang kemampuan mengemudi mereka, tidak mampu membaca marka jalan, menjungkirbalikkan peta, kurang peka dengan arah jalan, terlalu banyak bicara tanpa ada intinya, jarang berinisiatif dalam bercinta, suka menaikkan suhu, dan membiarkan tutup toilet di bawah.
Perempuan mengkritik para laki-laki karena ketidakpekaan mereka, ketidakperdulian , sikap mereka yang tidak pernah menyimak, tidak hangat, tidak penuh kasih sayang, tidak berbicara, tidak memberikan cukup kasih sayang, tidak bertanggung jawab terhadap hubungan, lebih menginginkan persetubuhan daripada bercinta, menyetel AC hingga dingin sekali dan membiarkan tutup toilet terbuka ke atas.
Laki-laki mengagumi kemampuan perempuan yang ketika memasuki sebuah ruangan yang penuh dengan orang , maka perempuan dapat segera memberikan komentar tentang masing-masing orang yang ada di dalam ruangan tersebut. Namun perempuan merasa heran betapa laki-laki tidak mau ambil peduli dengan semua itu. Para laki-laki terheran-heran karena perempuan tidak dapat melihat sinar merah menyala dari lampu penanda persediaan oli di dashboard, namun dapat menemukan kaus kaki kotor yang tersembunyi di sudut gelap berjarak 50 meter. Sedangkan, perempuan bingung karena laki-laki selalu mampu memarkir mobilnya walau tempatnya sangat sempit hanya dengan menggunakan kaca spion, tetapi tidak pernah mampu menemukan G-spot mereka.
Laki-laki dan perempuan telah berubah secara perlahan-lahan dengan cara yang berbeda, karena memang harus begitu. Pria berburu, sementara perempuan mengumpulkan. Pria melindungi, perempuan mengasuh. Sebagai akibat dari pembagian pekerjaan itu, tubuh dan otak mereka berkembang dengan cara yang berbeda sama sekali.
Ketika bentuk tubuh mereka berubah untuk menyesuaikan dengan tugas mereka, benak mereka pun juga berubah. Laki-laki tumbuh lebih jangkung daripada kebanyakan perempuan, sementara otak mereka berkembang sesuai dengan tugas mereka. Para perempuan pada umumnya senang ketika para laki-laki bekerja jauh dari mereka sementara mereka menjaga nyala api unggun di dalam gua. Karena itu otak mereka masing-masing pun berkembang untuk memenuhi kewajiban mereka dalam kehidupan mereka.
Meski sudah melewati lebih dari berjuta-juta tahun, susunan otak laki-laki dan perempuan terus tetap berbeda. Sekarang, kita tahu bagaimana jender-jender tersebut mengolah informasi dengan cara berbeda. Mereka berpikir dengan cara berbeda. Mereka juga mempercayai hal-hal yang berbeda. Mereka pun memiliki perbedaan pandangan, prioritas dan kebiasaan.
Dipercaya hingga kini bahwa ketika seorang bayi lahir, maka pikirannya masih seputih bersih kertas kosong yang di atasnya dapat ditoreh oleh guru-guru mereka tentang pilihan dan kesukaan mereka kelak. Sekarang ini sudah terdapat bukti biologis tegas bahwa hormon dan syaraf-syaraf pada otak bertanggung jawab dalam pembentukan sikap, pilihan dan perilaku kita. Ini artinya jika anak laki-laki dan perempuan tumbuh di suatu tempat terpencil, tanpa masyarakat yang mengatur atau orang tua yang memimpin mereka, maka anak-anak perempuan akan tetap membentuk lingkaran teman dan bermain boneka, sedangkan anak laki-laki akan tetap bersaing satu sama lainnya, berkelahi serta membentuk kelompok dengan kepemimpinan yang jelas.
Sejak tahun 1960-an sejumlah kelompok pemaksa mengatakan bahwa pemerintah, agama dan sistem pendidikan telah bersatu hanya untuk menekan perempuan dan bersekongkol untuk menghalangi perempuan-perempuan pandai agar tidak menonjol. Menurut pendapat mereka, membuat perempuan sibuk hamil merupakan salah satu cara untuk mengendalikan gerak perempuan. Jika laki-laki dan perempuan identik, seperti yang dikatakan oleh kelompok tersebut, bagaimana pria mendominasi dunia seperti sekarang ini? Penelitian tentang cara kerja otak telah memberikan banyak jawaban bagi kita; bahwa kita tidak identik. Namun laki-laki dan perempuan harus setara dalam arti memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi mereka sepenuhnya; mereka betul-betul tidak identik dalam kemampuan wawasan mereka. Mereka menolak gagasan bahwa biologis kita mempengaruhi kebiasaan kita, sering menyangkalnya dengan keras dan mereka pun juga menentang jenderisme. Tetapi kemudian mereka kebingungan tentang perbedaan antara setara (equal) dan kesamaan (identical) yang sebenarnya merupakan hal yang sama sekali berbeda.
Perbedaan bukanlah lawan dari kesetaraan. Kesetaraan artinya bebas memilih untuk melakukan hal-hal yang ingin kita lakukan; sedangkan perbedaan artinya bahwa sebagai laki-laki atau perempuan , mungkin saja kita tidak ingin melakukan hal yang sama. Kita biasanya memilih hal yang berbeda dari daftar yang sama. Kita berbeda karena otak kita bekerja secara berbeda juga. Hal ini mengakibatkan kita memahami dunia dengan cara berbeda dan memiliki nilai-nilai serta keutamaan-keutamaaan yang berbeda juga. Ini tidaklah berarti lebih baik atau lebih buruk, namun hanya berbeda.
Otak perempuan sedikit lebih kecil daripada otak laki-laki, namun penelitian menunjukkan bahwa ukuran tidak berpengaruh besar dalam kemampuannya. Pada tahun 1997 seorang peneliti berkebangsaan Denmark, Bente Pakkenberg , menunjukkan bahwa, rata-rata seorang laki-laki memiliki empat juta sel otak lebih banyak dibandingkan dengan otak perempuan, tetapi pengujian menunjukkan pada umumnya kecerdasan perempuan lebih tinggi tiga persen daripada kecerdasan laki-laki. Tahun 1999 Ruben Gur, menemukan bahwa otak perempuan memiliki lebih banyak zat abu-abu daripada otak laki-laki. Zat abu-abu dalam otak adalah tempat otak melakukan pekerjaan komputasional dan yang memungkinkan perempuan memiliki kemampuan berkomunikasi daripada laki-laki.
Pengujian ilmiah tentang perbedaan antara jender yang tercatat pertama kali adalah dilakukan Museum London, dan dilakukan oleh Francis Galton pada tahun 1882. Ia menemukan bahwa laki-laki memiliki kepekaan terhadap bebunyian ‘bening’ – seperti pekikan atau bunyi melengking tinggi – memiliki cengkeraman tangan yang lebih kuat dan kurang peka, terhadap rasa sakit dibandingkan dengan perempuan. Pada waktu yang sama di Amerika, sebuah penelitian sejenis bahwa lebih suka warna merah daripada biru, memiliki kosakata yang lebih besar dan lebih suka memecahkan masalah teknis daripada masalah rumah tangga. Perempuan mampu mendengar lebih tepat, menggunakan lebih banyak kata daripada laki-laki dan lebih suka bekerja dan mengatasi masalah sendirian. Penelitian dan eksperimen selanjutnya yang tak terhitung, menunjukkan hasil yang sama, yaitu : otak laki-laki dan perempuan bekerja dengan cara yang berbeda.
Penelitian juga memperlihatkan otak sebelah kiri dari seorang gadis berkembang lebih cepat daripada otak anak laki-laki; artinya, anak perempuan akan mampu berbicara lebih awal dan lebih baik dibandingkan dengan kakak laki-lakinya, anak perempuan juga mampu membaca lebih awal serta belajar bahasa lebih cepat.
Meski begitu, otak sebelah kanan anak laki-laki berkembang lebih cepat daripada anak perempuan; mereka memiliki keterampilan ruang, logika dan keterampilan penglihatan yang lebih baik. Anak laki-laki lebih handal di bidang matematika, rancang bangun, memasang puzzle, memecahkan masalah, juga menguasai hal-hal tersebut lebih awal dibandingkan dengan anak perempuan.
Memang, kesehatan bukan segalanya, tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak bermakna, health is not everything but without it everything is nothing (Arthur Scopenhauer, 1788 -1860). Menurut Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik (jasmani), mental (nafsani), spiritual (rohani), maupun sosial (mujtama’i) yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Belum ada definisi konkret tentang otak sehat. Karena itu mengacu pada Undang-Undang Kesehatan di atas, maka secara sederhana otak sehat dapat diartikan sebagai otak yang keberadaannya juga sehat secara fisik, mental, spiritual, dan sosial (Machfoed, 2016)
Otak sehat (healthy brain) amat penting bagi kehidupan seorang manusia, lebih-lebih untuk seorang pemimpin yang berotak sehat ibarat matahari yang menyinari semesta alam. Sinarnya membuat alam hidup bergairah. Otak sehat berbeda dengan otak normal (normal brain). Disebut normal, apabila otak memiliki struktur anatomi dan fungsi apa adanya (anatomical and physiological normally). Otak sehat bukan sekedar otak normal. Otak sehat tidak saja karena ia dapat berfungis secara baik, tetapi juga memilki nilai-nilai (values) tertentu terhadap setiap fungsi yang dimilikinya. Bahwa otak bukan semata-mata daging biasa seperti dipahami selama ini oleh masyarakat, tetapi memiliki nilai-nilai (values) membangun peradaban hingga bisa bertahan. Bahkan, kepemimpinan yang tepat, harus bisa mendayagunakan kemampuan otak secara optimal, sehinggga ia melampaui batas kenormalannya menuju kesehatan otak (Machfoed, 2016). Keunggulan manusia sudah jelas tergantung pada perkembangan otaknya. Fungsi otak memang menjadi ukuran keberadaan otak itu. Yang dinilai bukan ada tidaknya otak, tetapi sejauh mana otak dapat berfungsi. Karena otak yang difungsikan secara maksimal akan membawa pencerahan pada manusia (Pasiak, 2003).
Menurut Pasiak (2012), Prefrontal Cortex, otak yang letaknya di belakang dahi manusia, adalah otak yang hanya dianugerahkan Allah kepada manusia, hewan tidak. Oleh karena itu, tulang dahi manusia merupakan tulang tengkorak manusia yang paling tebal. Ini ibaratnya seperti untuk melindungi CPU pada komputer.
Budi (Prefrontal Cortex), ibaratnya Menteri Dalam Negeri untuk memimpin dan mengendalikan otak akal-pikiran yang ibaratnya Gubernur dan otak emosi atau otak perasaan, ibaratnya Walikota/Bupati, agar mereka seiring sejalan, sehingga perilaku manusia bernilai di hadapan Allah maupun manusia lainnya. Perilakunya manusia yang manusiawi, bukan manusia yang berperilaku hewani. Hidupnya akan penuh makna (meaningful), tidak tanpa makna (meaningless) akibat melakukan perbuatan keji dan mungkar.
Oleh karena itu, Presidennya pada Presiden, Tuhan Yang Maha Esa, dalam sehari semalam “open house”, memberi peluang kepada Pak Mendagri menghadap dengan cara bersujud meletakkan dahinya di tempat sujud sebagai wujud puncak penghormatan, setelah sebelumnya mengucapkan mohon pertolongan dan petunjuk yang lafalnya berbunyi : “Hanya kepada Allahlah manusia mengabdi dan memohon pertolongan, agar dibimbing (diantar) manusia (memasuki) jalan lebar dan luas, (yaitu) jalan manusia-manusia yang Allah anugerahi nikmat, bukan (jalan) manusia-manusia yang dimurkai Allah dan bukan (pula jalan) manusia-manusia yang sesat” (QS al-Fatihah [1] : 5 – 7).
Menurut Pasiak (2012), adapun fungsi Prefrontal Cortex adalah : 1) Perencanaan masa depan (future planning), Allah mengingatkan agar manusia melihat ke depan, menjadi manusia yang visioner, yaitu iman kepada hari Kemudian (the day After) yang merupakan hari pembalasan; 2) Penganbilan keputusan (decision making). Adapun keputusan yang bernilai apabila baik (sesuai dengan petunjuk Allah dalam Kitab Suci), benar (sesuai dengan ilmu pengetahuan), dan adil (sesuai dengan proporsinya); dan 3) Pengendali nilai (value).
Para Nabi adalah manusia yang diutus Allah, selain untuk menyampaikan ajaran agama, kabar gembira dan peringatan, juga sebagai contoh manusia yang sukses memfungsikan Prefrontal Cortex-nya sebagaimana yang dikehendaki Allah. Perilaku para Nabi penuh nilai-nilai moral (moral values). Oleh karena itu, para Nabi punya karakter sama, yaitu sidiq (lurus), jujur (mengatakan apa yang telah dilakukannya) dan berintegritas (melakukan apa yang telah dikatakannya), amanah (dapat dipercaya), menyampaikan pesan kebenaran (tabligh), dan smart, cerdas (fathonah).
Lewat surah al-Alaq [96] : 15, Tuham memberitahu manusia, apabila manusia tidak memfungsikan Prefrontal Cotex-nya sesuai dengan nilai-nilai moral (moral values) yang diajarkan Allah dan diperagakan prakteknya oleh para Nabi, kelak ke neraka akan diseret pada jidatnya ! Allah sudah memberi Kitab Suci sebagai petunjuk dan para Nabi sebagai contoh suri tauladan agar manusia terbebas dari api neraka !!!
Islam Berkemajuan
Bagi Muhammadiyah Islam merupakan nilai utama sebagai fondasi dan pusat inspirasi yang menyatu dalam seluruh denyut-nadi gerakan. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam sebagai risalah yang dibawa para Nabi hingga Nabi akhir zaman Muhammad Saw. adalah agama Allah yang lengkap dan sempurna. Islam selain mengandung ajaran berupa perintah-perintah dan larangan-larangan tetapi juga petunjuk-petunjuk untuk keselamatan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Muhammadiyah memandang bahwa Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan untuk mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan (Nashir, 2018).
Menurut Haedar Nashir (2018) dalam bukunya : “Kuliah Kemuhammadiyahan”, ajaran Islam tentang kemajuan tersebar dalam berbagai ayat al-Qur’an maupun Hadis Nabi, sehingga Islam disebut agama yang berkemajuan (din al-hadlarah). Islam memerintahkan umatnya untuk iqra (QS al-‘Alaq {96] : 1 – 5), yang menjadi ayat dan surat pertama diturunkannya al-Qur’an dan Wahyu kepada Nabi akhir zaman, Muhammad Saw. Islam mengandung pesan imperatif untuk membangun tatanan kehidupan yang adil (QS al-Araf [7] : 29), makmur (QS Hud [11] : 61), sejahtera (QS an-Nisa {4] : 19) persaudaraan (QS al-Hujarat [49] : 10), tolong-menolong (QS al-Maidah [5] : 2), kebaikan (QS al-Qashas [28] : 77), terbangunnya hubungan baik pemimpin dan warga (QS an-Nisa [4] : 57 – 58), terjaminnya keselamatan umum (QS at-Taubah [9] : 128), hidup berdampingan dengan baik dan damai (QS al-Imran [3] :101, 104 dan al-Qashas [28] : 77), tidak adanya kezaliman (QS al-Furqan [25] : 19), tidak ada kerusakan atau fasad fi al-ardl (QS al-Baqarah [2] :11), dan terciptanya umat terbaik atau khairu ummah (QS Ali-Imran [3] : 110), sehingga secara keseluruhan terwujud baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur (QS Saba [34] : 15).
Islam mengajarkan agar manusia mengurus dunia dan menjadikannya sebagai majra’at al-akhirat atau ladang akhirat. Islam memerintahkan untuk merencanakan masa depan sebagai bagian tidak terpisahkan dari bertakwa (QS al-Hasyr [59] : 18), bahkan umat diperintahkan untuk melakukan perubahan nasib dengan ikhtiar sebab “Allaht idak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya” (QS ar-Ra’d [13] : 11). Muslim tidak boleh melupakan dunia, sebaliknya mengurus untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat dengan melakukan perbuatan ihsan dan tidak boleh membuat kerusakan di muka bumi (QS al-Qashash [28] : 77).
Dengan kekuatan yang dimilikinya maka umat Islam harus menjadi umat yang benar-benar bertakwa (QS Ali Imran [3] : 102), bersatu dan tidak terpecah-belah (QS Ali Imran [3] : 103), menjadi pelaku dakwah yad’u ila al-khyr, amar makruf dan nahi mungkar (QS Ali Imran [3] : 104) menjadi umat terbaik (QS Ali Imran [3] : 110), membangun hablumminallah dan habluminannas yang baik (QS Ali Imran [3] : 112), tanpa melupakan hablumminafsihi (QS at-Tahrim [66] : 6) serta hablumminal’alam (QS al-Baqarah [2] : 11 dan QS al-Qashash [28] : 77), ber-fastabiq al-khairat atau mampu bersaing dengan golongan manapun (QS Ali Imran [3] : 115), menjadi khalifah fi al-ardl (QS al-Baqarah [2] : 30), dan menjadi rahmatan lil-‘alamin (QS al-Anbiya [21] : 107), sehingga mampu hidup sejahtera di dunia dan di akhirat (QS al-Baqarah [2] : 201).
Nabi Muhammad Saw. bersama kaum Muslim berhasil mewujudkan kemajuan peradaban, sehingga terbangun al-Madinah al-Munawwarah, suatu kota peradaban yang cerah-mencerahkan. Nabi berhasil membangun fondasi peradaban Islam selama 23 tahun dengan penuh dinamika perubahan dan kemajuan, yang dilanjutkan oleh empat khalifah utama. Setelah itu peradaban Islam meluas dan Islam menjadi agama peradaban dunia selama sekitar lima abad lamanya. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan mencapai puncaknya ketika Barat saat itu tertidur lelap. Terbentuknya peradaban Islam yang utama itu tidak lepas dari spirit ijtihad dan tajdid yang menyatu dalam kehidupan umat Islam, yang spirit utamanya Islam Berkemajuan.
Nabi sendiri melalui sebuah Hadis memberikan perspektif, bahwa pada setiap kehadiran abad baru datang mujadid yang akan memperbarui paham agama. Maknanya bahwa pada setiap babakan sejarah yang penting dan krusial selalu dibutuhkan pembaruan sehingga Islam mampu menjawab tantangan zaman. Islam dan umat Islam tidak boleh jumud atau statis, sebaliknya harus dinamis dan progresif. Itulah spirit dan pandangan Islam yang berkemajuan sebagai tonggak peradaban.
Dari sejumlah ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang dipaparkan tersebut tampak jelas hakikat Islam sebagai agama yang menanamkan nilai-nilai kemajuan bagi umat manusia. Karenanya menjadi Muslim dan umat Islam semestinya mempunyai spirit, etos, pemikiran, sikap, dan tindakan yang berwawasan kemajuan. Dengan Islam yang berkemajuan maka umat Islam akan melahirkan peradaban yang menyinari dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
Para Perempuan Islam Berkemajuan
Menurut Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati (2014), dalam bukunya “Srikandi-Srikandi Aisyiyah”, sebagai upaya mengenalkan tokoh-tokoh Muhammadiyah, khususnya tokoh-tokoh ‘Aisyiyah, dan menggali pemikiran-pemikiran yang pernah menjadi mercu suar di masa lampau. ‘Aisyiyah yang secara resmi berdiri pada tahun 1917, merupakan satu-satunya organisasi pergerakan perempuan nasional yang masih eksis hingga saat ini. Buku ini memberikan informasi sepintas tentang tokoh-tokoh perempuan yang pernah menjadi punggawa di ‘Aisyiyah, yaitu :
- Siti Walidah
Siti Walidah puteri Kiai Penghulu Muhammad Fadhil, lahir di kampung Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1872, anak ke empat dari tujuh bersaudara.
Kebijakan politik kolonial, belum menyediakan kesempatan yang setara bagi kaum bumiputra untuk mengeyam pendidikan di sekolah umum, apalagi untuk kaum perempuan. Meskipun demikian, isteri Kiai Dahlan ini tidak merasa malu belajar membaca dan menulis Latin bersama peserta pengajian perempuan atau para tetangga seusianya. Saat itu, usia beliau di atas 40-an atau 50-an, tapi semangat belajarnya masih tetap tinggi.
‘Aisyiyah adalah gerakan Islam hasil perenungan KH Ahmad Dahlan dengan Nyai Ahmad Dahlan ketika melihat kondisi kaum perempuan di Kauman terbelakang. Pada tahun 1913 atau setahun pasca-Muhamadiyah (1912) berdiri, Kiai Dahlan menganjurkan kepada tetangga-tetangganya untuk menyekolahkan anak-anak perempuan mereka di Neutraal Meisjes School di Ngupasan (sekarang SDN I Ngupasan). Pada tahun 1914, Kiai Dahlan bersama isterinya Siti Walidah menyelenggarakan kursus-kursus agama khusus bagi kaum perempuan, seperti Wal ‘Ashri dan Maghribi School, juga mengelola Madrasah Diniyah Ibtidaiyah di depan rumahnya yang didirikan pada tahun 1911, selain menganjurkan gadis-gadis Kauman untuk menuntut ilmu di sekalah Belanda.
Pada tahun 1914, segenap anggota kursus agama, santri-santri di Madrasah Diniyah dan gadis-gadis Kauman yang menjadi murid-murid di Neutraal Meisjes School membentuk perkumpulan bernama Sapa Tresno, yang merupakan embrio gerakan ‘Aisyiyah. Pada tahun 1917, ‘Aisyiyah secara resmi sebagai organisasi Muhammadiyah bagian Isteri (perempuan).
Keterlibatan perempuan dalam ruang publik mau tidak mau, akan memperluas daya jangkau pergaulan, termasuk dengan para laki-laki. Nyai Dahlan bahkan penah diundang dalam sidang ulama Solo bertempat di Serambi Masjid Besar Keraton Surakarta. Pergaulannya luas trmasuk dengan para ulama yang notabene adalah laki-laki. Dalam Konggres ‘Aisyiyah ke-15 di Surabaya tahun 1926, Nyai Dahlan berpidato di hadapan kongres. Harian yang terbit di Surabaya, seperti Pewarta Surabaya dan Sin Tit Po mewartakan isi konggres Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, serta memprovokasi kaum isteri Tionghoa agar berkemajuan seperti yang dipratikkan warga ‘Aisyiyah.
Membayangkan aktivitas Nyai Dahlan, maka keluarga Kiai Dahlan bisa dikatakan sebagai replika keluarga berbasis pejuang. Tidak hanya Kiai Dahlan yang sibuk bergiat dalam persyarikatan, tetapi juga Nyai Dahlan yang berbagi tugas menaruh perhatian dengan wilayah garapan kaum perempuan.
Pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Nyi Ahmad Dahlan, yang telah mendidik dan membina perempuan-perempuan muda sebagai calon-calon pemimpin Islam, dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 042/TK/ Tahun 1971 telah menetapkan Nyai Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional.
- Siti Bariyah
Siti Bariyah binti Haji Hasyim Ismail, lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1325 H. Dia gadis berparas ayu dengan kulit kuning langsat, postur tubuh tidak terlalu tinggi ataupun terlalu pendek, matanya bulat lebar, tatapan matanya tajam. Siti Bariyah mahir berbahasa Belanda, juga bahasa Melayu, punya kecakapan dalam memimpin organsasi yang menonjol.
Terpilihnya Siti Bariyah sebagai ketua pertama “Aisyiyah bukan Nyai Dahlan – sebagaimana Ahmad Dahlan menjadi ketua Muhammadiyah pertama – menjadi menarik. Realitas ini justru dibaca sebagai keberhasilan Kiai Dahlan mengkader muridnya sebagai pemimpin perempuan. Murid-murid perempuan Kiai Dahlan memang sengaja disiapkan untuk menggiatkan wadah perempuan Muhammadiyah, dan ketika wadah itu terbentuk, sudah sewajarnya bila salah satu kadernya-lah yang diminta memimpin jalannya organisasi.
Baru kemudian, Nyai Dahlan menjadi ketua dari tahun 1921 – 1926, ketika “Aisyiyah sedang giat-giatnya meluaskan jangkauan ke daerah-daerah. Ketua beralih lagi ke Siti Bariyah sampai 1929, dan Nyai Dahlan kembali memimpin di tahun 1930 selama satu tahun.
Pernikahan Siti Bariyah dengan Muhammad Wasim menurunkan tiga anak. Siti Bariyah meninggal dunia setelah melahirkan anak ketiganya. Setelah meninggal dunia, anak-anaknya yang masih kecil diasuh oleh Siti Munjiyah, kakak kandungnya, yang umurnya 8 tahun lebih tua berdasarkan kalender Hijriyah, sampai mereka tumbuh dewasa. Siti Bariyah memang meninggal dunia dalam usia muda, tapi namanya telah tercatat dengan tinta emas bahwa dialah president (ketua) pertama Hoofdbestuur atau HB Muhammadiyah bahagian ‘Aisyiyah.
- Siti Munjiyah
Menurut Siti Munjiyah, yang lahir pada tahun 1896 M, : “Perempuan dan lelaki Islam itu masing-masing berhak berkemajuan dan berkesempurnaan, dan bahwasanya yang dikata kemajuan dan kesempurnaan itu menurut batas-batasnya sendiri-sendiri”.
Siti Munjiyah adalah salah satu santri perempuan hasil didikan Nyai Ahmad Dahlan yang berhasil menjadi tokoh nasional dengan pembawaan sederhana. Kepribadiannya amat sederhana, tetapi berjiwa srikandi. Hal ini sesuai dengan pesan Nyai Dahlan : “ Perempuan jangan memiliki jiwa kerdil, tetapi berjiwa srikandi”.
Siti Munjiyah telah ditunjuk mewakili HB Muhammadiyah bagian ‘Aisyiyah dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1928. Perempuan muda itu menjadi wakil ketua panitia, bersanding dengan RA Sukonto, ketua panita kongres. Sebagai wakil ketua panitia yang mewakili ‘Aisyiyah, dia mendapat kesempatan untuk berpidato menyampaikan pandangan-pandangannya seputar kedudukan perempuan dalam Islam. Adapun pidatonya mengangkat tema : “Derajat Perempuan”. Terlihat semangatnya menyala-nyala. Pidatonya panjang berisi pemikiran-pemikiran tajam. Setelah mendengar pidatonya, peserta kongres langsung sadar bagaimana agama Islam mendudukan kaum perempuan. Siti Munjiyah adalah seorang orator yang mampu menguasai khalayak umum, termasuk salah satu perempuan yang memang dipersiapkan sebagai juru dakwah Muhammadiyah.
Dengan karakter Siti Munjiyah yang tegas, kemauan kuat, dan tak kenal takut, Kiai Dahlan memang memberikan kepercayaan lebih kepadanya. Ini terbukti ketika pada tanggal 20 November 1921, HB Muhammadiyah mendapat undangan dari Sarekat Islam (SI) cabang Kediri, Jawa Timur, Kiai Dahlan didampingi Haji Fachrodin dan Siti Munjiyah memenuhi undangan tersebut. Munjiyah dapat kesempatan untuk menyampaikan ceramah keagamaan dalam rapat SI tersebut. Menurutnya, agama Islam bukan saja dperuntukkan bagi orang laki-laki, tetapi orang perempuan pun wajib menjalankannya. Bukan hanya kaum laki-laki yang wajib memajukan agama Islam, tetapi kaum perempuan juga memiliki hak yang sama untuk memajukan agama Islam. Siti Munjiyah memang kader santri perempuan yang paling militan.
Di antara pengurus ‘Aisyiyah, Siti Munjiyah paling terbiasa diundang dalam perkumpulan-perkumpulan perempuan lintas agama. Dalam menyampaikan pidato, dia hampir tidak pernah menyinggung ataupun menjelek-jelekkan agama lain. Karakter semacam ini memang amat jarang di ‘Aisyiyah. Maka, dia yang mewakili ‘Aisyiyah jika mendapat undangan dari organisasi perempuan lain. Namanya cukup dikenal di kalangan organisasi peerempuan lain, seperti Wanita Taman Siswa, Wanita Utama, Jong Java, dan sebagainya. Pada tahun 1955, Siti Munjiyah meninggal setelah berjuang memimpin ‘Aisyiyah.
- Siti Aisyah
Siti Aisyah binti Kiai Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1905. Dia anak keempat dari enam bersaudara. Ketika terjadi pertemuan antara tokoh-tokoh Muhammadiyah pada tahun 1917, saat itu umurnya masih belia 12 tahun. Dia kelak, menduduki posisi ketua organisasi perempuan Islam pertama yang berhasil dibentuk oleh HB Muhammadiyah pada tahun 1917.
Siti Aisyah adalah generasi kedua dari para gadis di Kauman yang mengawali tradisi baru menuntut ilmu di sekolah umum. Setelah Kiai Dahlan berhasil menyarankan, Siti Bariyah, Siti Wadingah, dan Siti Dawimah masuk ke sekolah Belanda. Kapasitas intelektual Siti Aisyah memang telah diakui di kalangan ‘Aisyiyah. Hal dibuktikan ketika HB Muhammadiyah bagian ‘Aisyiyah merintis penerbitan surat kabar perempuan pertama di Yogyakarta. Pada Oktober 1926 terbit nomor perdana Soeara ‘Aisyiyah dan dia tercatat sebagai salah satu redaktur pertama bersama Siti Badilah dan Siti Djalalah.
Pada Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta tahun 1931, mengantarkan Siti Aisyah pertama kali terpilih sebagai ketua HB Muhammadiyah Bahagian ‘Aisyiyah, pasca-kepemimpinan sang ibu, Nyai Ahmad Dahlan. Pada Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar, ketua ‘Aisyiyah dipegang oleh Siti Munjiyah, kawan seperjuangannya yang lebih senior. Namun demikian, tidak ada kata akhir dalam berjuang di Muhammadiyah. Jadi kepemimpinan di Muhammadiyah tidak mengenal kultus individu dan jabatan ketua ‘Aisyiyah silih berganti dipegang oleh santri-santri Nyai Ahmad Dahlan. Baru pada tahun 1939, dalam kongres Muhammadiyah ke-28, Siti Aisyah kembali terpilih sebagai ketua ‘Aisyiyah.
Siti Aisyah Hilal, puteri Kiai Dahlan dan ketua ‘Aisyiyah, meninggal pada 10 Agustus 1968 di Yogyakarta. Namanya harum seiring dengan perolehan prestasi dalam kepemimpinan di ‘Aisyiyah.
- Siti Badilah
Siti Badilah lahir tahun 1904 di Yogyakarta. Dia termasuk salah satu dari enam murid Kiai Dahlan yang disiapkan sebagai kader-kader pimpinan perempuan Islam. Mereka inilah murid-murid lulusan Sekolah Netral yang pada sore harinya dikumpulkan oleh Kiai Dahlan untuk digembleng dengan pelajaran keagamaan lewat kursus singkat membaca al-Qur’an. Kursus singkat itu lalu berkembang menjadi perkumpulan Sapa Tresna. Dalam pertemuan dengan HB Muhammadiyah menyepakati pembentukan organisasi sayap Muhammadiyah bagian perempuan, yaitu ‘Aisyiyah.
Selain pendidikan di Sekolah Netral, Siti Badilah mendapat pendidikan di MULO yang guru-gurunya dikenal progresif sehingga pelajaran yang diberikan benar-benar melekat di otak para muridnya. Dia dikenal sebagai murid yang pemberani, ketika dapat nilai jelek lalu “protes”, setelah diperiksa ternyata benar telah terjadi kekeliruan dalam penulisan nilai di raportnya.
Sejak muda hingga memasuki usia senja, Siti Badilah tetap gemar membaca dan berdakwah. Setamat MULO, Siti Badilah sering mendapat tugas dari Kiai Dahlan untuk bertabligh di kalangan kaum terpelajar. Sebelum bertabligh, selalu mempersiapkan materi pengajian dengan membaca buku dan ensiklopedi dalam bahasa Belanda maupun bahasa Inggris.
Dalam pembentukan struktur HB ‘Aisyiyah pertama, Siti Badilah tercatat sebagai penulis atau sekretaris. Sedangkan ketuanya Siti Bariyah. Pada tahun 1926, ketika terbit majalah Soeara ‘Aisyiyah dia termasuk empat jajaraan redaksi pertama, dengan pemimpin redaksi siti Juhainah, anggota lainnya Siti Aisyah dan Siti Jalalah.
Siti Badilah berkali-kali menjabat ketua ‘Aisyiyah, dalam kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta tahun 1941, menjadi ketua Majelis ‘Aisyiyah, 1941 – 1943. Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-31 tahun 1951 di Yogyakarta, menetapkan sebagai ketua ‘Aisyiyah 1951 – 1953. Pada Muktamar Muhammadiyah di Purwokerto tahun 1953 kembali memilihnya menjadi ketua ‘Aisyiyah.
Dengan penuh semangat Siti Badilah berkata : “ Orang-orang Muhammadiyah tidak hanya merelakan harta benda dan waktunya untuk Muhammadiyah, tetapi dirinya juga direlakan. Seorang bapak mengorbankan seluruh waktunya untuk Muhammadiyah dan si ibu berjuang memenuhi keperluan hidup rumah tangga. Sebaliknya, bila ibu berdakwah untuk Muhammadiyah, maka si bapak yang mencukupi segala keperluan rumah tangga”.
- Siti Hayinah
Siti Hayinah lahir di Yogyakarta tahun 1906, puteri Haji Muhammad Narju, pengusaha batik sukses dan aktivis Muhammadiyah. Dia termasuk kader santri perempuan yang mendapat didikan langsung dari Kiai & Nyai Dahlan. Dia merupakan generasi kedua yang mengeyam pendidikan di Neutraal Meisjes School, seangkatan dengan Siti Zaenab, Siti Aisyah, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro dan Siti Badilah. Selain dia pernah masuk Holland Inlandsche School (HIS) juga sekolah di Fur Huischoud School sehingga dia mendapatkan ketrampilan memasak, menjahit, dan ketrampilan lain yang dibutuhkan dalam kehidupan rumah tangga.
Sejak kecil sudah terlibat aktif di ‘Aisyiyah dan tahun 1925 waktu usianya 19 tahun mendapat kepercayaan sebagai sekretaris HB Muhammadiyah bagian ‘Aisyiyah mendampingi Nyai Ahmad Dahlan president HB Muhammadiyah bagian ‘Aisyiyah. Tanpa kecakapan khusus dan wawasan luas, dia tidak akan mendapatkan amanat besar ini. Selain memiliki kecakapan menulis, dia juga memiliki pengetahuan yang luas sehingga dipercaya mewakili ‘Aisyiyah dalam kegiatan-kegiatan di luar Muhammadiyah.
Siti Hayinah adalah satu di antara dua perempuan representasi ‘Aisyiyah yang menjadi anggota pimpinan Kongres Perempuan Indonesia Pertama yang berlangsung 22 – 25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini digelar kurang lebih 14 tahun setelah ‘Aisyiyah berdiri. Sebelum kongres ditutup, dia mendapat kehormatan untuk berpidato dengan judul, “Persatuan Manusia”, jelas kontekstual dengan semangat persatuan yang tengah digadang-gadang dalam kongres itu. Menurut dia, persatuan merupakan alat untuk mencapai tujuan utama, seperti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemakmuran, melalui saling bergaul, berhubungan, memelihara persaudaraan, mendirikan perkumpulan, dan membicarakan hal-ihwal yang perlu dilakukan bersama. Hasilnya dalam kongres disepakati mendirikan badan permufakatan Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Selanjutnya menjadi suatu badan perhimpunan perkumpulan perempuan se-Hindia Timur. Dia juga turut aktif dalam penerbitan surat kabar Istri ‘organ’ PPI. Selain itu dia juga terlibat aktif dalam penerbitan Soeara ‘Aisyiyah sejak tahun pertama terbit pada tahun 1925.
Pada tahun 1938 – 1940 menjadi Pemimpin Redaksi Soeara ‘Aisyiyah. Dia memahami peran majalah ini sebagai alat memberi suluh bagi pembaca, pengikat organisasi, dan kekuatan propaganda ‘Aisyiyah, organisasi tempat dia mendedikasikan diri untuk berjuang.
Siti Hayinah mengerti betul akan peran dan kedudukan perempuan dalam Islam. Baginya, sekalipun kaum perempuan memiliki hak dan kedudukan setara dengan kaum pria, tetapi dia tidak melupakan kodratnya sebagai perempuan. Dalam artikel “Kemajengan” (Kemajuan) di Soeara “Aisyiyah dia mengkritik pandangan naif dari para pengikut gerakan emansipasi yang telah melupakan budaya sendiri dan ikut-ikutan dengan budaya Barat. Kemajuan perempuan yang dikehendakinya barus mengikuti atau sejalan dengan budaya bangsa sendiri.
Dalam karir di organsasi ‘Aisyiyah, dia lima kali didaulat menjadi ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, yaitu pada tahun 1946, 1953, 1956, 1959, dan 1962, sebelum menjadi ketua umum. Dalam Kongres Darurat Muhammadiyah tahun 1946, pertama kali menjadi ketua umum ‘Aisyiyah.
Siti Hayinah Mawardi adalah seorang perempuan yang sangat mengerti dan menghargai sebuah kreativitas dan amal. Baginya, segala apa yang telah diperbuatnya merupakan amal saleh. Amal saleh tidak hanya berharga dalam kehidupan manusia di dunia, tetapi juga bernilai di kehidupan akhirat nanti. Dia terus berikhtiar dan selalu menyarankan kepada kaum ibu untuk sering menulis. Sebagaimana tulisannya di Suara ‘Aisyiyah yang berjudul, “Kewajiban Kita”, “Aisyiyah Menghadapi Kenyataan: dan masih banyak lagi.
- Siti Umniyah
Siti Umniyah binti KH Sangidu lahir di Kauman, Yogyakarta tahun 1905. Dia salah satu perintis Taman Kanak-Kanak ‘Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA). Dia termasuk murid perempuan yang langsung yang mendapat didikan dari Kiai Dahlan. Di pendopo rumah ayahnya,KH Sangidu, yang populer dengan sebutan Pendopo Tabligh, pada tahun 1911, Kiai Dahlan menetapkan Muhammadiyah sebagai nama pergerakannya.
Selain Siti Munjiah, Siti Umniyah-lah yang dianjurkan masuk ke sekolah agama oleh Kiai Dahlan, yaitu Madrasah Diniyah dengan tujuan untuk saling melengkapi dalam proses kaderisasi oleh Kiai Dahlan. Hal ini dapat dilihat dalam kiprahnya Siti Umniyah di Siswa Praja Wanita (SPW) pada tahun 1919, yang kemudian berubah menjadi Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA) pada tahun 1931.
Pendidikan dasar ditempuh Siti Umniyah di Sekolah Pawiyatan (1915), sekolah pertama yang didirikan oleh Kiai Dahlan. Setelah tiga tahun rampung Sekolah Pawiyatan di Kauman, Siti Umniyah masuk ke al-Qismul Arqa sekolah yang dimaksudkan untuk melatih kader muballigh dan guru agama Muhammadiyah. Kemudian dia menjadi guru generasi awal Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta. Pagi dia mengajar di Mu’llimat, sore hari digunakannya untuk mengajar Tsanawiyah Muhammadiyah.
Jika biasanya murid bersilaturahim kepada gurunya, Siti Umniyah memilih berkunjung ke rumah murid-muridnya, bahkan ke pulau Sumatera, dilakukan sendirian. Sambil bersilaturahim, sekaligus berdakwah. Siti Umniyah dikenal pandai berbahasa Arab. Prof. Kahar Mudzakir kepada anak tertuanya Siti Umniyah memberi tahu, bahwa ibunya adalah perempuan pada zamannya yang pandai berbahasa Arab. Dia pernah bertukar surat-menyurat memakai bahasa Arab dengan KH Bakir, ulama di Mekkah yang berasal dari Kauman, minta disusunkan nyanyian berbahasa Arab untuk diajarkan kepada murid-muridnya.
Sewaktu Ratu Wilhelmina datang ke Yogyakarta, Siti Umniyah mengarang lagu dalam bahasa Arab yang maknanya menjelek-jelekkan Belanda. Dia melawan Belanda dengan caranya sendiri. Lagu itu diajarkan kepada murid-muridnya, untuk dinyanyikan ketika mereka mesti berdiri berjajar di tepi jalan yang dilalui Ratu Belanda itu. Para opas (polisi) senang-senang saja, dikiranya murid-murid itu menyambut Sang Ratu dengan nyanyian. Padahal sesungguhnya adalah mengejeknya.
Buku “Srikandi-Srikandi ‘Aisyiyah” itu layak dibaca dan seyogyanya memang menjadi pegangan bagi para pengurus dan aktivits ‘Aisyiyah di semua tingkatan pimpinan agar dapat mengenali karakter dan pemikiran tokoh-tokoh pendahulu mereka. Hal ini sangat penting agar setiap pimpinan di ‘Aisyiyah tidak a-historis dengan karakter dan pemikiran tokoh-tokohnya sendiri, sekaligus mengambil teladan dan komitmen perjuangan para perintis ‘Aisyiyah generasi awal. Demikian pesan Dra. Siti Noordjannah Djohantini, MM, Msi, dalam Kata Pengantar buku itu, selaku Ketua Umum PP ‘Aisyiyah ketika buku itu diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah tahun 2014.
Akhirnya,
“Saya titipkan Muhammadiyah dan “Aisyiyah kepadamu sebagaimana almarhum Kiai Ahmad Dahlan menitipkannya” (Nyai Ahmad Dahlan)
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nucholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD
Farida Ulfah Ma’rifah, Ketua Pengurus Daerah Aisyiyah Bantul