Tidak Menggunakan Metode Rukyat, Apa Hukumnya?

Hisab

Foto Ilustrasi Dok Unplash

Tidak Menggunakan Metode Rukyat, Apa Hukumnya?

Oleh: Muhammad Utama Al Faruqi

Seusai Idul Fitri, warga Muhammadiyah digemparkan oleh pernyataan peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional yang mempermasalahkan hari raya Muhammadiyah yang berbeda dari hari raya yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui Kementrian Agama. Masalahnya bukan peneliti itu sekedar mempermasalahkan perbedaan, akan tetapi lebih menjurus pada arah ujaran kebencian hingga diksi keras yang sampai menghalalkan darah para kader dan warga Muhammadiyah. Pernyataan itu disampaikan di media sosial dan tersebar beritanya secara meluas.

Respon cepat dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah yang mengambil langkah bijak dan terukur untuk membawa masalah ini dengan melaporkannya ke Kepolisian Republik Indonesia. Begitu juga yang dilakukan oleh Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan didukung dengan respon warga dan kader Muhammadiyah di media sosial masing-masing. Kasus pernyataan ini adalah satu dari sekian banyak respon negatif yang ditemukan di media sosial terkait penggunaan metode hisab oleh Muhammadiyah.

Sehingga kemudian ada pertanyaan, apakah hukum menolak metode rukyat sebagai metode yang diterapkan pemerintah untuk menetapkan awal dan akhir Ramadhan, juga hari raya Idul Adha ?

Kata rukyat / ru’yat dalam kamus Lisanul Arab bermakna melihat, baik dengan mata kepala atau dengan pengetahuan, dengan memperinci bahwa rukyat yang bermakna “melihat” membutuhkan satu obyek (maf’ul bihi) sedangkan yang bermakna “mengetahui” membutuhkan dua obyek. Arti serupa juga ditemukan dalam kamus al-Munjid, dengan keterangan bahwa makna “melihat” dengan mata sebagai makna dasarnya sudah jarang dipakai, dan arti “melihat” sebagai “mengetahui” lebih banyak dipakai.

Adapun hisab dalam kamus Mu’jam al-Wasith dan al-Munjid memiliki makna yang sama, yaitu jumlah dan perhitungan yang tentu disimpulkan menjadi sebuah pengetahuan dari jumlah perhitungan itu. Dalam konteks ini adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah, sekalipun pada faktanya juga digunakan untuk perhitungan waktu shalat, prediksi gerhana matahari dan bulan serta arah kiblat.

Muhammadiyah menggunakan metode hisab sudah sejak lama, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII (1839-1921) sebagai salah satu hasil reformasi pemikiran Islam oleh KH Ahmad Dahlan sekembalinya dari Makkah tahun 1897 yang diperjuangkan sampai tahun 1898.

Maka Kraton Yogyakarta pada saat itu mendukung penggunaan metode hisab dengan mempersilahkan warga Muhammadiyah saat itu untuk melaksanakan shalat Idul Fitri berdasar perhitungan hisab dan memakai fasilitas Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Sekalipun Kraton masih menggunakan kalender Jawa, yaitu Aboge atau Alif-Rebo-Wage, sebuah perhitungan Jawa yang telah digunakan oleh para wali dan disebarluaskan oleh Raden Rasyid Sayid Kuning, dan beberapa kali berbeda dengan hasil hisab Muhammadiyah. Metode hisab ini masih berlanjut digunakan hingga masa berikutnya, bahkan Masjid Gedhe Kauman memiliki beberapa astronom ahli hisab, salah satunya KRT KH Wardan Diponingrat.

Dengan memperhatikan sejarah panjang penggunaan metode hisab Muhammadiyah berikut, sebenarnya perbedaan hari raya antara Muhammadiyah dengan pemerintah, baik pemerintah pusat Republik Indonesia maupun sebelum berdirinya Republik Indonesia, yaitu Kraton Yogyakarta sudah sering terjadi dan tidak ada penolakan yang berarti. Akan tetapi penggunaan metode hisab ini kemudian dipermasalahkan beberapa tahun terakhir, terlebih khusus oleh beberapa kelompok Islam yang berafiliasi pada paham tekstualis yang mengatakan bahwa metode hisab itu tidak memiliki dalil apapun dalam Al Quran dan As Sunnah.

Permasalahan metode hisab dan rukyat ini termasuk pembahasan bidang fikih yang lebih fleksibel, bukan pembahasan akidah yang cenderung hitam-putih. Maka sebenarnya masalah ini tidak perlu diperluas hingga adanya vonis-vonis tertentu seperti yang banyak ditemukan di media sosial. Selain itu metode penentuan dengan hisab dan rukyat adalah wasilah untuk menentukan awal atau akhir dari bulan-bulan hijriyah yang dimana jumlah harinya adalah 29 atau 30 hari, tidak lebih dan tidak kurang daripada itu. Karena terdapat pula beberapa kelompok Islam di Indonesia yang berhari raya jauh lebih dulu dan jauh lebih akhir.

Perkara wasilah dalam ibadah sebenarnya merupakan ranah yang boleh disentuh oleh dinamisasi berdasar perkembangan zaman dan tidak statis pada metode yang baku. Seperti adanya adzan sebagai tanda waktu masuk shalat, karena zaman sudah berkembang maka metode penentuan waktu tidak menggunakan bayangan sinar matahari lagi, kumandang adzan pun sudah memakai pengeras suara. Wasilah merupakan ranah ijitihadiyah yang cenderung dinamis selama memiliki dasar berupa dalil dan sebab rasional.

Menurut Dr. Ali Trigiyatno, ada beberapa sebab Muhammadiyah menggunakan metode hisab, yaitu : (1) Semangat pemikiran Al Quran adalah menggunakan metode hisab, (2) Keadaan umat Islam pada masa lalu yang mayoritas ummiy (tidak mengenal baca dan tulis), (3) Dengan metode rukyat umat Islam tidak mampu membuat kalender Islam, (4) Rukyat tidak bisa menyatukan kalender Islam secara global, (5) Jangkauan rukyat terbatas, (6) Metode rukyat berpotensi menimbulkan perbedaan dalam pelaksanaan puasa hari Arafah.

Maka seorang muslim memiliki kebebasan dalam menentukan hari raya yang diikuti, apakah mengikuti metode hisab atau metode rukyat sesuai dengan kemantapan hati masing-masing. Terkhusus para warga dan kader Muhammadiyah tentunya menaati keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah sebagai bentuk komitmen dan etika berorganisasi. Selama ini secara umum perbedaan hari raya tidak menimbulkan konflik fatal, jikapun ada permasalahan seperti pelarangan penggunaan fasilitas, kemudian bisa diselesaikan dengan cara yang bijak.

Akan tetapi suasana yang cenderung harmonis ini kemudian dirusak oleh sekelompok orang yang menyerang anak-anak muda Muhammadiyah yang belum terlalu mengetahui akar permasalahan dengan membawakan dalil-dalil yang dimaknai secara tekstual. Tidak lupa beberapa vonis dan ancaman juga dibawa untuk membujuk anak-anak muda persyarikatan ini untuk menolak metode hisab karena dianggap tidak sesuai dengan tuntutan Islam.

Permasalah ini, sekali lagi bukan masalah yang baru. Para pendahulu yang terlebih awal menghadapi masalah ini juga tidak terlalu menganggapnya sebagai sebuah kekafiran yang harus dihindari, melainkan adanya penghormatan satu sama lain. Biasanya provokasi dengan mengandalkan pemahaman tekstual ini akan bermuara pada penyusupan ideologi dan personal tertentu di aset-aset Muhammadiyah sebagai dampak lebih lanjut. Terpenting sekarang adalah merenungkan amalan ibadah ritual dan ibadah sosial seusai Ramadhan, dan tidak terlalu menghiraukan perbedaan itu.

Muhammad Utama Al Faruqi, Kader Muhammadiyah di Karangkajen, Yogyakarta.

Exit mobile version