Keangkuhan Teologis dan Tuduhan Inkonsistensi Terhadap Muhammadiyah
Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag.
Tidak menganggap pendapatnya paling benar adalah salah satu poin penting dalam manhaj tarjih muhammadiyah. Hal ini sekaligus menunjukkan fleksibilitas kebenaran sudut pandang muhammadiyah terkait produk hukum hasil pembacaan terhadap dalil tertentu.
Hal ini juga menunjukkan tingkat kematangan intelektualitas muhammadiyah semakin tinggi karena sikapnya yang siap merubah hasil ijtihadnya apabila di suatu hari nanti ada sudut pandang yang lebih rasional dan ditemukan dalil yang lebih kuat dengan metode istidlal yang tepat pula.
Inilah etika pembelajar yang diwariskan oleh para ulama pendahulunya yang menjadi keunggulan muhammadiyah, mengakui kemungkinan adanya keterbatasan pada pendapatnya dan probabilitas kesalahan yang dihasilkan dari ijtihadnya.
Tetapi ketika produk hukum yang dihasilkan dari hasil ijtihad yang komprehensif itu diyakini sebagai sebuah kebenaran maka itulah yang berusaha dipegang kuat, diperjuangkan untuk bisa diterapkan dan ditawarkan kepada dunia melalui diskusi dan pengkajian holistik dan mendalam dengan melibatkan banyak pakar dan ahli dari multi disiplin keilmuan.
Ijtihad Muhammadiyah selalu berdinamika karena itu ada semacam reorientasi teologis dan teleologis terhadap pandangan-pandangan keagamaan yang sudah ditetapkan di mana pada tataran tertentu pengkajian ulang tersebut bisa berpengaruh kepada perubahan produk akhirnya.
Hal ini bukanlah sikap yang inkonsisten, sebagaimana yang selama ini secara provokatif dituduhkan kepada Muhammadiyah terkait dengan penerapan hisab dan rukyah dan beberapa perubahan hukum yang lainnya dengan menunjukkan dokumen-dokumen masa lampau.
Karena apabila setiap perubahan hasil ijtihad dianggap sebagai bentuk sikap yang inkonsisten, maka tuduhan semacam ini juga berdampak kepada kredibilitas Imam Syafi’i yang dalam fiqih madzhab syafi’iyyah mengenal istilah qawl qadīm dan qawl jadīd, bahkan dalam beberapa kasus hukum para imam madzhab diriwayatkan memiliki lebih dari satu pendapat dalam satu masalah, dan semuanya terdokumentasikan di dalam kitab madzhab masing-masing.
Premanisme dalam berpendapat dan memaksakan pendapatnya untuk diterima kelompok lain bukanlah style warga persyarikatan, apalagi sambil menciptakan kegaduhan sosial, karena dalam perspektif al-Quran sesuai paham keagamaan Muhammadiyah bahwa perbedaan pendapat karena berbedanya sudut pandang merupakan hal yang niscaya dan sudah menjadi sunnatullāh sejak penciptaan langit dan bumi, khususnya di dalam masalah-masalah cabangnya agama (furūiyyāt).
Salah satu ayat yang menguatkan realitas ini disebutkan di dalam surat al-Rum ayat 22 yang menyatakan bahwa salah satu tanda kekuasaan Allah adalah ikhtilāfu alsinatikum wa alwānikum;keanekaragaman lisan dan warna kulit manusia.
Perbedaan lisan bukan hanya soal bahasa yang beragam, tetapi makna perbedaan lisan itu juga mencakup perbedaan cara menyampaikan dan cara membahasakan produk pikiran dan hasil ijtihad.
Perbedaan pendapat itu sunnatullāh dan harus disikapi dengan bijak. Apabila ada seorang ilmuan yang mengatakan bahwa perbedaan harus diselesaikan bukan dilestarikan tetapi jalan yang ditempuhnya sangat otoritarian, yaitu dengan cara memaksakan pendapatnya diterima oleh semua kalangan, maka sikap yang demikian itu memperlihatkan kedunguan dan kedangkalan ilmunya, sekaligus menjadi penanda bahwa sebenarnya ilmuan yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi keilmuan sama sekali.
Kalau menggunakan klasifikasinya imam al-Ghazali, bisa jadi orang tersebut masuk dalam kategori paling rendah derajatnya; rajulun lā yadrī, wa lā yadrī annahū lā yadrī; orang yang sebenarnya tidak punya ilmu, tetapi dia tidak menyadari kalau dirinya tidak punya ilmu.
Dari sisi lain dapat dinyatakan bahwa tekad menyelesaikan perbedaan dengan cara memaksakan orang lain harus menerima pendapatnya adalah perwujudan dari keangkuhan teologis yang sangat berpotensi menciptakan konflik horizontal baru.
Dalam catatan sejarah Firaun pernah melakukan keangkuhah teologis semacam ini dengan sebuah pernyataan ana rabbukum al-a’lā (akulah tuhanmu yang maha tinggi), sebelumnya Iblis menjadi pendahulu yang melakukan keangkuhan ini dengan analog rapuh menggunakan framing ilmiah “ana khayrun minhu khalaqtanī min nārin wa khalaqtahū min thīn”, (saya lebih baik darinya, karena Engkau menciptakanku dari unsur api, dan dia dari unaur tanah).
Keangkuhan teologis tersebut sebenarnya diharapkan menjadi tameng bagi keberlanjutan dominasi kekuasaan keduanya atas yang lain, tetapi bayangan manis tersebut tidak sesuai dengan kenyataannya karena pada akhirnya keangkuhan dan arogansinya menjadi faktor kehancuran dan kebinasaan.
Harus diketahui bahwa perbedaan pendapat bukan saja terjadi setelah rasulullah wafat, karena ketika rasulullah masih hidup pun perbedaan antar sahabat sering terjadi, dan uniknya mereka berbeda sudut pandang dalam memahami satu hadits yang sama.
Satu kasus misalnya, ketika rasulullah mengutus beberapa sahabat ke Bani Quraidhah, lalu beliau berpesan: “Janganlah kalian shalat ashar kecuali di Bani Quraidhah”. Ungkapan haditsnya jelas tetapi di tengah perjalanan muncul dua sudut pandang yang berbeda di kalangan sahabat, pertama memahaminya secara tekstual dengan melakukan shalat ashar di Bani Quraidhah meskipun sudah terlewat waktunya. Sementara kelompok lain memahaminya secara kontekstual dengan melaksanakan shalat ashar di jalan pada waktunya karena memahami hadits tersebut sebagai perintah untuk bersegera agar sampai ke tujuan secepatnya.
Bagaimana rasulullah mensikapi perbedaan sudut pandang dalam memahami perintahnya tersebut?. Sangat menarik, karena rasulullah yang diberi hak oleh Allah pemegang kebenaran agama membiarkan perbedaan tersebut terjadi dan mengalir tanpa intervensi sedikitpun, tidak mengeliminasi salah satu pendapat dan tidak pula mengukuhkan pendapat yang lain.
Begitulah seharusnya seorang ilmuan yang menduduki elit jabatan dalam membangun hubungan yang harmonis antara dua kelompok masyarakat yang berbeda, mengayomi semua kalangan, dan mengapresiasi semua produk pikiran yang dihasilkan melalui kajian-kajian keilmuan yang komprehensif dan objektif.
Arogansi intelektual yang dilakukan oleh Thomas Djamluddin dan instansinya terhadap muhammadiyah mengingatkan kita kepada arogansi teologis yang pernah dilakukan oleh al-Makmun dan al-Mu’tashim kepada Imam Ahmad bin Hambal.
Khalifah al-Makmun memaksa Imam Ahmad bin Hambal untuk menerima ideologi Mu’tazilah terkait Khalqul Quran yang menjadi madzhab negara waktu itu. Tetapi imam Ahmad bin Hambal dengan tegas menolak madzhab negara tersebut karena tidak sesuai dengan prinsip kebenaran teologis ahlus sunnah wal jama’ah yang diyakininya meskipun akhirnya beliau harus menerima resiko hukuman penjara.
Warga Muhammadiyah harus berbesar hati menghadapi tantangan dalam mempertahakan kebenaran yang diyakininya, karena sebaik apapun kebenaran itu disampaikan pasti ada saja yang menentangnya, sebaliknya pernyataan tendensius yang disampaikan dengan cara yang tidak etis dan berpotensi menciptakan instabilitas pasti tetap banyak yang membela dan memujanya.
Warga Muhammadiyah harus tetap berdaya dan berilmu dalam menjalankan amanah persyarikatan mencerahkan, memajukan dan mencerdaskan bangsa dengan tetap mengedepankan nilai-nilai keluhuran dan keadaban.
M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag., Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur