Keberagamaan Yang Mencerahkan Semesta
Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.
Alhamdulillah perkembangan mutakhir umat Islam Indonesia makin menunjukkan kesemarakkan beragama, khususnya yang berkaitan dengan beribadah mahdhah dan identitas keislaman. Gerakan mengaji Al-Quran di ruang publik pun mulai bertumbuh. Semarak tahfid Al-Qur’an, puasa sunnah, dan sebagainya. Demikian pula dengan umrah dan haji yang makin meluas dan harus menunggu bertahun lamanya untuk antri berhaji.
Simbol ide identitas keislaman pun menguat dan meluas, dari penggunaan istilah sehari-hari yang menggunakan bahasa Al-Qur’an dan Arab sampai cara berpakaian dan tampilan di ruang publik. Semua melekat dengan ingin menunjukkan “isyhadu bi-ana muslim”.
Semarak ritual ibadah dan menampilkan simbol keislaman tersebut tentu merupakan modal dasar yang penting. Agar tidak berhenti di ranah verbal semata maka diperlukan internalisasi dan institusionalisasi keislaman yang bersifat substantif menuju aktualisasi Islam yang nyata dan memberi rahmat bagi sesama dan lingkungan sehingga Islam dan umat Islam menjadi sibghah bagi kehidupan bersama yang mencerahkan.
Al-Hanifiyah Al-Samha
Berislam itu dimensinya beraqidah, beribadah, berakhlak, dan bermuamalah-dunyawiyah secara utuh, terpadu, selaras, dan menyatu. Bukan aspek yang terpisah satu sama lain, sehingga muslim yang baik keislamannya adalah yang akidah dan ibadahnya sama baiknya dengan akhlak dan muamalahnya dalam kehidupan.
Berislam yang baik juga harus menampilkan dan menghasilkan pribadi-pribadi maupun kolektif yang memiliki derajat muslim, mukmin, muttaqin, dan muhsinin yang sama baiknya dan berkualitas tinggi.
Karenanya praktik berislam harus seiring dan seimbang antar keempat dimensi tersebut, sekaligus menampikan aktualisasi amaliah hasil dari pemahaman yang utuh dan interkoneksi dari pendekatan bayani, burhani, dan irfani dalam keislaman yang kaffah. Berislam yang memenuhi rukun syariat sekaligus berkualitas hakikat dan makrifat sehingga menjadi keislaman yang paripurna.
Kesemarakkan beribadah dan berislam yang meluas secara esensial atau hakikat dan makrifat niscaya dilandasi dengan peneguhan substansi dan pemahaman keberagamaan yang “hanif” atau atuentik sebagaimana firman Allah:
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS Ar-Rum: 30).
Makna “hanif” menurut Ibn Katsir ialah
متحنفا عن الشرك قاصدا إلى الإيمانِ
“Yaitu menjauh dari kemusyrikan dan condong mendekat kepada iman.”. As-Suyuthi menyebutnya “tadayyun” atau jiwa beragama yakni menjauh dari kekufuran menuju keimanan.
Beragama yang hanif memancarkan khazanah keberagamaan “al-hanafiyat as-samhah” sebagaimana hadis Nabi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيُّ الْأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ
Artinya: “Ditanyakan kepada Rasulullah SAW, “Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah? Maka beliau bersabda al-haanifiyyah as-samhah.” (HR. Imam Ahmad dari Ibnu ‘Abbas). Dalam redaksi hadis lainnya Nabi bersabda, “Wa inni ursiltu bi-hanifiyati as-samhah”, bahwa “Sesungguhnya aku diutus untuk agama yang lurus dan lapang hati” (HR Imam Ibn Hanbal).
Makna al-hanifiyah as-samhah ialah beragama yang lurus serta mengandung nilai welas asih dan toleran. Kata “sa-ma-ha” menurut Ahmad Ibn Faris berarti memberikan dan membolehkan; sementara kata “sa-mu-ha” artinya murah hati, dan kata “sam-hu” berarti toleransi. Artinya beragama Islam dalam spirit “al-hanifiyah al-samhah” mengandung makna lurus dan lapang hati, beragama yang lurus serta menebar kasih sayang dan toleran dengan sesama dan lingkungan yang berwawasan “rahmatan lil-‘alamin”.
Pasca Ramadhan dan Idulfitri seyogyanya digelorakan spirit dan praktik beragama yang “hanif” dan memancarkan “al-hanifiyah as-samhah” sejalan dengan prinsip Ajaran Islam. Ajaran Islam yang dipahami dengan pendekatan bayani (tekstual-literal), burhani (rasional, ilmum kontekstual), dan irfani (spiritual-ihsan) dijadikan rujukan pemahaman.
Merahmati Semesta
Kaum muslim penting menghadirkan Islam sebagai agama hanif yang menjadi ajaran Rahmatan Lil ‘Alamin yang menghadirkan keselamatan, kebahagiaan, dan jalan hidup yang mencerahkan diri, keluarga, dan kehidupan bersama. Berislam selain kokoh dengan prinsip-prinsip sekaligus mengaktualisasikan ajaran itu dalam keberagamaan yang relasional antara habluminallah dan habluminannas yang interkoneksitas dan meluntas batas. Keislaman niscaya memancarkan khazanah ruhaniah, spiritual, intelektual, dan amaliah yang mencerdaskan, memajukan, dan mencerahkan kehidupan umat manusia dan alam semesta.
Selain itu, Ajaran Islam juga harus menjadi kekuatan utama dalam menggerakkan kehidupan untuk memajukan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan yang rahmatan lil-‘alamin.
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al-Anfal: 24).
Menurut Ath-Thabari, “Penuhilah seruah Allâh dan Rasul-Nya dengan menjalankan amalan ketaataan jika Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu yang berupa al-haqq (kebenaran)”.
Agar muslim mampu berislam yang benar, baik, dan menjadi rahmat bagi semesta selain terhunjam di qalbu bersendikan iman dan tauhid yang kokoh, disertai akhlak mulia, maka niscaya pula disertai pemgamalan muamalah dunyawiyah yang mencerdaskan, mencerahkan, memajukan, dan menghadirkan peradaban utama. Karenanya berislam yang hanif dan berukun syariat mesti diperkuat dengan pemahaman dan pemikiran Islam yang berkemajuan dengan memaksimalkan fungsi berpikir, berilmu, berteknologi, dan fungsi objektivasi Islam untuk kemaslahatan kehidupan musim dan umat manusia semesta.
Islam mengajarkan umatnya untuk ta’aqul (menggunakan akal pikiran), tafakur (berpikir), tadabur (mengkaji secara mendalam), tanadhar (menggunakan nalar eksploratif), dan taghayyar (melakukan perubahan transformasional) menuju ke kehidupan yang terbaik. Ajaran utama dan pertama Al-Quran ialah “Iqra” yang menjadi penanda Risalah Islam yang diturunkan kepada Muhammd sebagai Nabi dan Rasul akhir zaman. Artinya keberislaman yang semarak dan identitas verbal mesti disertai dengan gerakan pemikiran dan ikhtiar mengubah nasib umat Islam agar menjadi “khayra ummah”, yakni umat terbaik dan unggul dibandingkan dengan golongan lain yang lebih maju.
Umat Islam Indonesia saat ini masih tertinggal terutama dalam ekonomi dan penguasaan iptek. Golongan mayoritas ini secara faktual belum menjadi kekuatan strategis yang menentukan kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan global. Karenanya Umat Islam harus memacu diri secara dinamis dan progresif agar menjadi golongan umat dan golongan bangsa yang unggul di segala bidang kehidupan.
Dengan demikian kesemarakkan berislam menyatu dengan pemahaman dan pengamalan Islam yang mendalam, luas, interkoneksi, dan membumi dengan amal shaleh. Dengan pemahaman yang substantif dan fungsional tersebut maka berislam yang semarak tidak berhenti dalam syiar semata tetapi melahirkan hikmah, keadaban, dan kemajuan hidup yang mencerahkan kehidupan diri dan bersama sebagaimana misi utama Islam yang dibawa Nabi Muhammad:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS Al-Anbiya: 107).
Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2022