Mengabdi Bagi Negeri Adalah Harga Mati

Nahy munkar

Foto Dok Ilustrasi

Mengabdi Bagi Negeri Adalah Harga Mati

Oleh: Dr Masud HMN

Agaknya kata harga mati selain konsep untuk Negara kesatuan (NKRI) adalah kompetisi mengabdi pada Negara. Dalam Negara demokrasi, hal itu keniscayaan. Lazim adanya.

Kata berkompetisi maknanya bertanding, lomba, lawan kuat, beradu atau identik dengan persaingan. Ibarat tanaman padi tumbuh dengan siangan, siang dengan malam berlawanan. Tak dapat ditiadakan. Semua berlawanan dan biasa saja.

Fenomena itu lazim adanya. Tetapi ada jamak orang tidak suka persaingan bahkan pesaing itu harus dilenyapkan. Atau pesaing itu dimatikan.

Sebagai contoh, era Presiden Sukarno yang tidak senang dengan oposisi. Dalam pandangannya oposisi itu gangguan terhadap keinginan kekuasannya. Sukarno berusaha menghilangkan oposisi.

Era dimana persaingan tidak ada, timbullah ungkapan “tidak boleh balam dua burung sepematang”, artinya tak ada suara sumbang, tiada saingan.

Hanya tanpa ada saingan dan tantangan, tiada pula perjuangan. Menjelmalah diktator. Kekuasaan di tangan satu penguasa, tiada kontrol kekuasaan.

Dalam perspektif demikian, Abraham Lincoln seorang Presiden Amerika menyatakan pendapat lain. Salah satu bukti ia ketika terpilih lalu mengangkat lawan politiknya dalam kampanye menjadi Sekretaris Negara, kedudukan jabatan penting disisinya.

Bagi Abraham Lincoln, persaingan adalah penting. Sebab yang dipersaingkan adalah pengabdian bukan kepentingan lain. Presiden kedua Amerika dimaksud pendapatnya pesaing itu dilihat sebagai Fastabiqul khairat (berlomba-lomba untuk berbuat), persaingan ide untuk mengabdi pada Negara.

Menjadi menarik juga, fenomena itu yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Yaitu Prabowo Subianto, Menteri Keamanan Republik Indonesia (Hankam) bersama Joko Widodo. Saat Joko Widodo menang terpilih, maka Prabowo Subianto ditunjuk sebagai Menteri Hankam. Prabowo Subianto menerima.

Sejauh ini, hasilnya sukses dalam mengemban jabatan Hankam Republik Indonesia tersebut.

Dengan demikian, maka ungkapan yang menyatakan pandangan persaingan dua kekuatan paradox, tidak boleh, tidaklah sepenuhnya benar. Yang benar itu, pesaing itu adalah keniscayaan atau tidak dapat dihindarkan. Dimana saja selalu ada pesaing, jadi jangan takut disaingi.

Ajaran agama agar berlomba-lomba berbuat baik atau fastabiqul khairat itu harus dilestarikan. Kata berlomba-lomba untuk berbuat baik untuk berbakti bagi Negara adalah harga mati.

Jangan ada yang berkhianat pada bangsa dan negara, Yang penting itulah. Semoga!

Dr Masud HMN, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta

Exit mobile version