Tradisi Alal Bahalal, Milik Siapa?
Oleh: M. Arsyad Arifi
Hari raya Idul Fitri tak bisa dipisahkan dari acara silaturahmi yang sering disebut Halal bi Halal. Halal bi halal memang terdengar seperti berasal dari bahasa Arab. Halalbihalal sebenarnya berasal dari kata serapan ‘halal’ dengan sisipan ‘bi’ yang berarti ‘dengan’ (bahasa Arab) di antara ‘halal’. Namun, Halal bi halal sebenarnya bukan berasal dari Arab, melainkan merupakan tradisi yang dibuat di Indonesia. Istilah Halalbihalal berasal dari kata ‘alal behalal’ dan ‘halal behalal’.
Kata ini masuk dalam kamu Jawa-Belanda karya Dr. Th. Pigeaud 1938. Dalam kamus ini alal behalal berarti dengan salam (datang, pergi) untuk (memohon maaf atas kesalahan kepada orang lebih tua atau orang lainnya setelah puasa (Lebaran, Tahun Baru Jawa). Sementara halal behalal diartikan sebagai dengan salam (datang, pergi) untuk (saling memaafkan di waktu Lebaran).
Kata Halal bi halal bahkan sudah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam KBBI, Halalbihalal berarti hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang. Halal bi halal juga diartikan sebagai bentuk silaturahmi.
Banyak yang mengatakan bahwasannya sang pelopor budaya Halal bi Halal adalah KH. Wahab Chasbullah dari kaum Nahdliyin. Di era revolusi pada tahun 1948 tepatnya di pertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya dengan harapan dapat mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat kala itu. Kemudian Kiai Wahab Chasbullah memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahim. Sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahim. Lalu Bung Karno menjawab, “silaturahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain”.
“Itu gampang,” kata Kiai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halal bihalal,” jelas Kiai Wahab Chasbullah seperti riwayat yang diceritakan KH Masdar Farid Mas’udi.
Padahal, tradisi Halal bi Halal telah berakar lama dalam budaya nusantara. Pegiat Komunitas Pegon, Ayung Notonegoro mengungkapkan bahwa istilah halal bihalal terdapat dalam manuskrip Babad Cirebon. Hal itu ia ungkapkan berawal dari Guru Besar Filologi UIN Syarif Haidayatullah yang juga tokoh Persyarikatan Muhammadiyah, Prof Oman Fathurahman yang seandainya ada ingin membedah manuskrip tentang halal bihalal. Di dalam Babad Cirebon CS 114/ PNRI halaman 73 terdapat keterangan yang ditulis dengan huruf Arab pegon berbunyi,
“Wong Japara sami hormat sadaya umek Desa Japara kasuled polah ing masjid kaum sami ajawa tangan sami anglampah HALAL BAHALAL sami rawuh amarek dateng Pangeran Karang Kamuning”.
Ketua Umum Jayanusa, Idham Cholid (Tempo, 2021) menjelaskan bahwa tradisi halal bihalal sebenarnya sudah berkembang sangat lama, jauh sebelum negara ini berdiri. Beberapa referensi menyebut, sebagaimana dijelaskan Antropolog UIN Sunan Kalijaga Mohammad Soehadha, tradisi ini berakar dari “pisowanan” yang sudah ada di Praja Mangkunegaran Surakarta pada abad ke-18 atau tahun 1700-an. Kala itu, Raden Mas Said KGPA Arya Mangkunegara I mengumpulkan para bawahan dan prajurit di balai astaka untuk melakukan “sungkeman” kepada raja dan permaisuri selepas perayaan Idul Fitri. Pisowanan secara bersama ini dianggap lebih efektif dan efisien dibanding dilakukan secara perorangan.
Selain itu dalam versi lain Istilah halal bi Halal dipopulerkan oleh pedagang martabak asal India di Taman Sriwedari Solo sekitar tahun 1935-1936. Pada saat itu, martabak tergolong makanan baru bagi masyarakat Indonesia. Pedagang martabak ini dibantu dengan pembantu primbuminya kemudian mempromosikan dagangannya dengan kata-kata ‘martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal’. Sejak saat itu, istilah halalbehalal mulai populer di masyarakat Solo. Masyarakat kemudian menggunakan istilah ini untuk sebutan seperti pergi ke Sriwedari di hari lebaran atau silaturahmi di hari lebaran. Kegiatan Halal bi halal kemudian berkembang menjadi acara silaturahmi saling bermaafan saat Lebaran.
Menariknya juga, jauh sebelum era KH. Wahab Chasbullah Persyarikatan Muhammadiyah telah mempopulerkan tradisi Halal bi Halal tersebut. Menurut Deni Asy’ari, Direktur Majalah Suara Muhammadiyah bahwasannya Majalah Suara Muhammadiyah edisi No 5 tahun 1924, sudah mempergunakan istilah Halal Bi Halal dengan dua jenis tulisan (pengucapan), yaitu “Alal Bahalal, dan Chalal Bil Chalal. Istilah chalal bil chalal ini, terdapat dalam tulisan Warga Muhammadiyah Asal Gombong, bernama Rachmad yang menulis tentang “Idul Fitri”. Dimana Rachmad menjelaskan tentang pentingnya chalal bil chalal, sebagai sarana silaturahmi untuk meleburkan dan menyatukan perbedaan-perbedaan yang selama ini terjadi antar keluarga maupun masyarakat.
Kemudian, pada tahun 1926 M atau 1344 H, Majalah Suara Muhammadiyah kembali menampilkan istilah Halal Bi Halal dengan penulisan “Alal Bahalal”. Bedanya dengan terbitan tahun 1924, kalimat halal bi halal ini (alal bahalal), lebih pada ajakan mengisi ruang advertorial majalah Suara Muhammadiyah untuk ber halal bi halal. Dimana redaksi Majalah Suara Muhammadiyah mengajak bagi warga Muhammadiyah yang tidak sempat bertemu dan bersilaturahmi karena jarak yang berjauhan atau ada berbagai kendala, tetap bisa melaksanakan halal bi halal, dengan cara menyampaikan iklan melalui majalah Suara Muhammadiyah. Adapun teks tersebut sebagai berikut,
1 Sjawal 1344.
ALAL BAHALAL
Toean-toean dan saudara kaum Islam teroetama kaum Moehammdijin, berhoeboeng dengan akan adanja hari Raja idoel fitri, perloe kita mengatoerkan silatoel-rachmi kita kepada semoea saudara kita.
Soewara Moehammadijah bersedija oentoek menjampaikan alal-bahalal saudara, dengan ongkos jang ringan, ialah f0,50.
Lekaslah kirim adres saudara, nanti S.M. j. a. d. saudara ampoenja nama bakal Nampak.
Perhatikanlah !!
ADMINISTRATEUR
S.M.
Disini tampak, bahwa halal bi halal, selain bermakna peleburan, penyatuan dan saling bermaaf-maafan, dan juga yang menarik, bahwa konsep halal bi halal tidak mesti dilakukan dengan tatap muka. Sehingga majalah Suara Muhammadiyah edisi 1926, membuka ruang untuk warga Muhammadiyah ber halal bi halal tanpa bertatap muka. Hal ini yang saat ini marak terjadi jika berhalangan untuk bertatap muka.
Sekertaris Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Abdul Mu’ti mengatakan bahwasannya tradisi Halal bi Halal ini merupakan wujud aktualisasi nilai-nilai ajaran agama islam yang berkembang menjadi budaya bersama dan diterima oleh berbagai kalangan dengan latar belakang apapun. “Halal bi halal adalah bukti bahwa islam sebagai agama yang membentuk budaya dan membentuk khazanah serta peradaban bangsa Indonesia,” ucapnya.
Dipandang dari kacamata syari’at Halal bi Halal memiliki beberapa esensi yang tak luput dari pandangan agama. Diantaranya sebagai berikut,
Halal bi Halal merupakan ajang silaturahim dan silatul ukhuwah
Ketika lama tidak berjumpa saudara maupun rekan seerjuangan, tentunya terdapat sedikit keterasingan terhadapnya. Maka dari itu demi menghidari putusnya tali silaturahmi diselenggarakanlah halal bi halal. Rasulullah Saw bersabda,
صل من قطعك واعط من حرمك وأعرض عمن ظلمك (رواه أحمد)
Artinya :
“Sambunglah orang yang memutuskan (hubungan dengan)mu, berilah kepada orang yang tidak memberi kepadamu, dan berpalinglah dari orang yang berbuat zalim kepadamu,” (HR Ahmad).
Allah Swt tidak memperbolehkan seorang hambanya untuk memutuskan tali silaturahimnya, maka dari itu terdapat ancaman yang keras bagi hambanya yang melakukannya. Nabi Saw bersabda,
عن أبي بكرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من ذنب أجدر أن يعجل الله تعالى لصاحبه العقوبة في الدنيا مع ما يدخر له في الآخرة مثل البغي وقطيعة الرحم (رواه أبو داود)
Artinya :
“Tidak ada dosa yang Allah SWT lebih percepat siksaan kepada pelakunya di dunia, serta yang tersimpan untuknya di akhirat selain perbuatan zalim dan memutuskan tali silaturahmi,” (HR. Abu Dawud)
Halal bi Halal merupakan ajang memaafkan dosa
Terkadang kita melakukan kesalahan pada seorang hamba Allah dan menimbulkan dosa. Hal tersebut tidak gugur dengan taubat saja akan tetapi dengan meminta ridha dan ikhlas dari seorang muslim yang didhaliminya. Agenda maaf-memafkan merupakan salah satu esensi Halal bi Halal yang menjadi problem solver bagi seorang muslim untuk menggugurkan dosanya kepada muslim lainnya. Hal ini merupakan hal yang sangat baik di mata Allah Swt karenanya dianjurkanlah bagi meorang mukmin untuk saling memaafkan.
سمعت عبادة بن الصامت يقول إن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا نبي الله أي العمل أفضل قال الإيمان بالله وتصديق به وجهاد في سبيله قال أريد أهون من ذلك يا رسول الله قال السماحة والصبر قال أريد أهون من ذلك يا رسول الله قال لا تتهم الله تبارك وتعالى في شيء قضى لك به (رواه أحمد)
Artinya :
Aku mendengar Ubadah bin Shamit berkata bahwasannya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw lantas berkata, “Wahai Nabi Allah amalan apakah yang paling afdhal ?” Beliau menjawab, “beriman kepada Allah dan membenarkannya serta berjihad di jalan-Nya,” ia berkata, “Aku ingin yang lebih ringan dari itu, beliau menjawab bersifat pemaaf dan sabar ia berkata, “Aku ingin yang lebih ringan dari itu wahai Rasulullah” beliau menjawab janganlah berprasangka buruk kepada Allah dalam setiap taqdir yang menimpamu.” (HR. Ahmad)
عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ما نقصت صدقة من مال وما زاد الله عبدا بعفو إلا عزا وما تواضع أحد لله إلا رفعه الله (رواه مسلم)
Artinya :
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan Allah tidak akan menambahkan sesuatu kepada seorang hamba jika ia memaafkan kesalahan orang lain kecuali kemuliaan, dan tidaklah orang itu bertawadhu’ dengan niat ikhlas karena Allah semata kecuali diangkat derajatnya oleh Allah.” (HR. Muslim)
Halal bi Halal merupakan ajang saling menasehati untuk berbuat kebenaran dan beramal kebajikan
Selain silaturahim dan maaf-maafan, Halal bi Halal tak lepas dari saling menasehati untuk berbuat kebenaran dan beramal kebajikan. Hal ini tentunya diperintahkan oleh Allah Swt. Maka dari itu Allah berfirman,
ﭧﭐﭨﭐﱡﭐ ﱁ ﱂ ﱃ ﱄ ﱅ ﱆ ﱇ ﱈ ﱉ ﱊ ﱋ ﱌ ﱍ ﱎ ﱏ ﱐ ﱑ ﱠ العصر: ١ – ٣
Artinya :
“Demi masa * Sesungguhnya manusia sungguh berada dalam kerugian * kecuali orang-orang yang beriman dan berwasiat untuk berbuat benar dan saling bersabar” (Q.S. al-Ashr : 1-3)
M Arsyad Arifi, Direktur MUCIST