Jarimu, Jerujimu: Primitivisme Intelektual

Bahren Nurdin

Jarimu, Jerujimu: Primitivisme Intelektual

Oleh: Bahren Nurdin

Seorang oknum Aparatur Sipil Negara yang bertugas di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berinisial APH akhirnya ditangkap polisi dan berseragam orange (30/4/2023). Sang peneliti ditahan setelah sebelumnya viral karena diduga melakukan ujaran kebencian di media sosial dengan diksi-diksi penuh murka kepada warga Muhammadiyah.

Inilah sebuah tindakan yang tidak terpuji dan cenderung memecah belah persatuan bangsa. Secara personal pun tentu kontraproduktif dengan tingkat pendidikan, statusnya sebagai ASN, lembaga tempat bekerja, bahkan dengan arti namanya sendiri yang semsetinya indah dan bermartabat.

Satu dekade yang lalu saya menulis sebuah buku yang berjudul “PRIMITIVISME INTELEKTUAL: Kritik Untuk Kaum Terpelajar” (Mitra Pemuda, 2013). Belum ada istilah baku (kamus) dari kata ‘primitivisme’, yang ada kata ‘primitif’. ‘Primitivisme Kaum Intelektual’ yang saya maksud di dalam buku ini adalah segala tindakan, pola pikir, kebijakan, dan sejenisnya yang dilakukan oleh kaum terpelajar yang tidak menunjukkan kearifan intelektualitas sesungguhnya sehingga ‘membantai’ orang lain.

Paling tidak, inilah sebuah buku kecil tentang kegelisahan saya ketika melihat fakta-fakta banyaknya kaum intelektual yang kehilangan nurani. Saya kutip saja sedikit salah artikel di dalam buku ini:

“Kita merasa selama ini, paling tidak beberapa dekade terakhir, telah mencetak manusia-manusia Indonesia yang cerdas, tapi sebenarnya kita sedang memproduksi kaum-kaum intelektual yang primitif. Sungguh sangat ironis. Kita mengira, bangsa ini sedang mencetak penerus bangsa yang tangguh, tapi ternyata tidak lebih dari memproduksi robot-robot yang primitif. Kepala mereka diisi dengan ilmu pengetahuan tapi kering nilai-nilai. Hati mereka kering kerontang”.

Tentu tidak semua dan tidak fair jika saya generalisir. Tapi tidak juga boleh kita nafikan. Dan, apa yang baru saja terjadi dengan oknum peneliti BRIN ini adalah juga bagian dari isu ini. Rasanya sulit kita terima seorang intelektual BRIN mengumbar kata yang sedemikian kejam; membunuh. Kata yang mungkin hanya diucapkan oleh kaum barbarian, primitif dan jahiliyah pada jutaan tahun lalu. Saling bunuh untuk mempertahankan argumentasi dan eksistensi. Miris!

Seyogyanya, ketika ilmu pengetahuan telah menjadi obor penerang, intelektualitas telah menjadi entitas, perikemanusiaan menjadi modalitas kebersamaan, ukhuwah sebagai perekat perbedaan, toleransi merupakan tali pengikat nilai kebangsaan, maka ujaran-ujaran kebencian telah dikubur dan dipendam dalam-dalam. Yang muncul kepermukaan adalah persatuan dengan saling menghargai dan menghormati. Damai!

Sebagai warga Muhammadiyah tentu hal-hal semacam inilah yang selalu ditanamkan dengan baik. Dalam berbagai tingkatan pengkaderan warga Muhammadiyah selalu diingatkan bagaimana menjalani keseharian dengan nilai-nilai kebaikan. Hal kecil misalnya, warga Muhammadiyah dibekali buku kecil “Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah” yang merupakan keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 44 tahun 2000 di Jakarta. Misalnya:

“Setiap warga Muhammadiyah dalam melakukan amal dan kegiatan hidup harus senantiasa didasarkan kepada niat yang ikhlas dalam wujud amal-amal shalih dan ihsan, serta menjauhkan diri dari perilaku riya, sombong, ishraf, fasad, fahsya, dan kemunkaran”

Maka apakah warga Muhammadiyah bersuka ria dengan ditangkapnya saudara APH? Tidak sama sekali! Lihatlah, tidak ada euporia atas penangkapan ini. Dari lubuk hati paling dalam, warga Muhammadiyah iba dan bersedih. Muhammadiyah tidak didirakan di atas kebencian, tidak untuk melawan kaum lain, tidak juga menjadi musuh siapa pun! Muhammadiyah hadir membawa sinar peradaban. Sang Pencerah!

Lihatlah, hari-hari terakhir ini kader Muhammadiyah malah sibuk ‘berparade’ memeluk hangat kedatangan WNI yang terdampak perang dan baru saja datang dari Sudan dengan berbagai bantuan yang diberikan. Bersama pemerintah dan Lembaga lainnya, Tim Taskforce Muhammadiyah telah bahu membahu membantu dan menyelamatkan nyawa anak-anak negeri. Sungguh, alasan apa lagi sehingga masih ada yang nyinyir menyebut warga Muhammadiyah anti NKRI yang tidak patuh pemimpin negeri hanya karena berbeda pendapat dalam menentukan hari. Ayolah…

Lantas mengapa APH dilaporkan ke polisi? Sungguh tidak ada kebencian di sini. Dan, tidak boleh ada narasi yang dibangun bahwa Muhammadiyah membalas kritik dengan pidana. Selain permintaan yang bersangkutan sendiri, cara ini ditempuh tentunya untuk membuktian bahwa warga Muhammadiyah itu taat hukum dan patuh akan perintah konstitusi (tidak main hakim sendiri). Siapa pun tidak boleh lalai hukum. Dalam konteks ini, bagi Muhammadiyah saatnya para panglima hukum ‘angkat senjata’. Wadahnya para lawyer membacakan dalil-dalil. Panggungnya kaum muda mengepalkan tangan membela kebenaran.

Yakinlah, kepribadian Muhammadiyah itu akan selalu mengedepankan keutuhan bangsa (persatuan Indonesia), serta pentingnya membangun Indonesia yang berkemajuan dalam hal penegakan hukum. Agaknya masyarakat luas juga harus terus tercerahkan agar bisa membedakan mana yang kritik dan mana yang ujaran kebencian atau fitnah sehingga tidak mudah diprovokasi.

Lebih dari itu, tentu kasus ini harus dijadikan pelajaran sebesar-besarnya bagi kita semua. Hari ini, ‘jarimu, jerujimu’. Jika tidak hati-hati, jari-jari yang menari di atas screen smartphone bisa saja berubah menjadi jeruji-jeruji bui. Saatnya membagun kesadaran pentingnya kesantunan dalam bermedia social. Kendalikan emosi dan diksi agar tidak menjadi urusan Polisi di kemudian hari. Saring sebelum sharing!

Akhirnya, selayaknyalah kaum intelektual berdiri di depan untuk memberikan contoh-contoh kebaikan bil khusus dalam bermedia sosial. Perkataan dan tindakan primitif (jahiliyah) sudah seharusnya ditinggalkan. Jari-jari harus diajari pekerti dan dikendalikan nurani. Jika tidak, kita khawatir kaum intelektual negeri ini hanyalah robot-robot yang cerdas tapi kerontang nilai-nilai.

Bahren Nurdin, Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah NSW, Australia

Exit mobile version