Sejarah Darul Arqam
Darul Arqam adalah suatu bentuk sistem perkaderan Muhammadiyah yang berorientasi pada pembinaan ideologi dan kepemimpinan untuk menciptakan kesamaan dan kesatuan sikap, integritas, wawasan dan cara berpikir di kalangan pimpinan maupun anggota Persyarikatan dalam memahami dan melaksanakan misi Muhammadiyah. Darul Arqam sebagai satu bentuk sistem perkaderan dilaksanakan dalam satu rangkaian yang terpadu antara unsur-unsur yang terkandung di dalamnya meliputi tujuan,peserta, kurikulum, metode, waktu, proses, instruktur/pelatih. Nara sumber, organisasi pelaksanaan dan faktor sarana serta prasarana sehingga dapat mencapai tujuannya.
Sistem Perkaderan Muhammadiyah dengan bentul Darul Arqam diilhami oleh langkah pembinaan kader dalam sejarah Islam yang dilakukan Rasulullah Saw di rumah Al-Arqam bin Abil Arqam, salah seorang sahabat yang termasuk “As Sabiqunal Awwalun”(para pelopor yang pertama masuk Islam). Di rumah Al-Arqam (Darul Arqam) yang terletak di bukit Shafa itulah Rasulullah selama dua tahun (ke-5 sampai ke-7 sejak diutusnya Muhammad sebagai Rasulullah) membina orang-orang Islam yang pertama kali masuk Islam dimasa Mekkah.
Di Darul Arqam itulah para pemuda Islam dibina langsung oleh Rasulullah dengan wahyu dari Allah untuk diyakini, dipahami, diamalkan dan didakwahkan dengan segenap kesungguhan bahkan pengorbanan ditengah-tengah bangsa Arab Quraisy yang Jahiliyah. Dan di Darul Arqam itu pula mereka digembleng dan ditumbuhkan semangat Jihad Fi Sabilillah dan Ukhuwah Islamiyah. Sehingga menjadi satu kekuatan umat Islam yang tangguh, meskipun jumlahnya waktu itu masih sedikit.
Dari Darul Arqam itulah lahir sahabat-sahabat Rasulullah sebagai kekuatan inti dan tulang punggung perjuangan umat Islam, baik pada masa periode Mekkah sampai pada periode Madinah Ali bin Abi Thalib (4 tahun), Zubair bin Awwam (4 tahun), Tihah bin Ubaidillah (11 tahun), Al-Arqam bin Al-Arqam (12 Tahun), Sa’ad bin Abi Waqas (15 tahun), Ja’far bin Abi Thalib (14 tahun), Zaid bin Haritsah (19 tahun), Utsman bin Affan (20 tahun), Umar bin Khattab (26 tahun), Bilal bin Abi Raba’ah (29 tahun), Abdur Rahman bin Auf (30 tahun), Abu Bakar Ash-Shidiq (37 tahun), Hamzah bin Abdul Muthalib (42 tahun) adalah diantara mereka yang dibina di Darul Arqam saat itu.
Kelak terbukti bahwa mereka adalah menjadi “sahabat-sahabat Akbar” yang memiliki kelebihan di berbagai bidang dalam sejarah Islam, empat diantaranya menjadi “Khulafaur Rasyidin”. Dan ternyata metode dan pola pembinaan yang dilaksanakan di Darul Arqam itu kemudian diteruskan oleh Rasulullah pada periode Madinah.
Dalam Muhammadiyah, sistem perkaderan Darul Arqam yang dimotivasi oleh kehendak meneladani apa yang telah dilakukan Rasulullah dalam membina kader umat Islam itu, secara resmi dan terprogram merupakan amanat keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 yang pelaksanaannya di bawah tanggung jawab Badan Pendidikan Kader. Sejak itulah Darul Arqam merupakan salah satu bentuk sistem perkaderan dalam Muhammadiyah yang bersifat baku, meskipun konsep maupun pelaksanaannya dari hasil keputusan Muktamar ke-37 dan yang selama ini dipakai masih perlu disempurnakan dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan yang dihadapi sekarang ini.
Dengan perkaderan Darul Arqam itu diharapkan setiap anggota dan Pimpinan Muhammadiyah atau kader-kader Muhammadiyah benar-benar meyakini, memahami dan kemudian melaksanakan misi perjuangan Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dan Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang di ridhoi Allah SWT. Dan agar setiap anggota serta pimpinan atau kader-kader Muhammadiyah memiliki kesamaan dan kesatuan yang utuh dalam meyakini, memahami dan melaksanakan misi perjuangan Muhammadiyah tersebut.
Dengan kesamaan dan kesatuan tersebut yang berarti juga kesamaan dan kesatuan dalam sikap, integritas, wawasan, cara berpikir dalam melaksanakan misiperjuangan Muhammadiyah, maka Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dan Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar akan memiliki kekuatan bergerak baik ke dalam maupun ke luar.
Dengan kesamaan dan kesatuan tersebut akan terhindar dari perpecahan yang pada akhirnya melemahkan gerakan Muhammadiyah dalam melaksanakan misinya. Dengan kesamaan dan kesatuan dalam memahami dan melaksanakan misinya. Dengan kesamaan dan kesatuan dalam memahami dan melaksanakan misi tersebut, tidak berarti bersikap “eksklusif” atau menutup diri, sebab landasan, Khittah, Kepribadian dan Keyakinan serta Cita-cita hidup Muhammadiyah tidak demikian. Upaya tersebut tidak lain untuk memperkuat atau memperkokoh gerakan Muhammadiyah yang digerakkan oleh para anggota dan Pimpinannya yang benar-benar meyakini, memahami dan mampu melaksanakan misi Muhammadiyah mencapai tujuannya. (Im)
Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2021