TANGSEL, Suara Muhammadiyah – Program Studi Doktor Pendidikan Agama Islam (S3 PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar Konferensi Internasional yang bertajuk Human Rights Issues and Religious Education, Rabu (3/5/2023).
Konferensi Internasional ini menghadirkan empat narasumber, Dr. Ari Gordon (Director of Muslim-Jewish Relation for American Jewish Committee), Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D. (Commissioner of National Commission on Violence Against Women), Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., Ph.D. (Syarif Hidayatullah State Islamic University) dan R. Alpha Amirrachman, M.Phil., Ph.D. (Sultan Ageng Tirtayasa University).
Dekan FITK UIN Jakarta, Siti Nurul Azkiyah, M.Sc.,Ph.D menyampaikan apresiasi atas tersenggaranya konferensi ini dan mengingatan betapa pentinghnya isu hak azasi manusia dalam pendidikan agama.
“Kemarin kita baru dapat kabar insiden penembakan di kantor MUI yang telah menembaki setidaknya dua atau tiga pengawai terluka. Itu menurut saya karena adanya salah pemahaman terhadap pemahaman keagamaan. Saya berharap dengan berbagai latar belakang peserta yang berbeda, seminar internasional ini dapat memperkaya pemahaman kita terhadap isu-isu hak azasiu manusia dan pendidikan agama,” pungkasnya.
Ari Gordon dalam pemaparannya menyampaikan, hak azasi manusia dan pendidikan agama mungkin banyak orang yang mempertentangkan, bahkan ada yang selalu membenturkan. Karena menurut mereka karena kajian hak asasi manusia dan pendidikan agama kerap terjadi masalah yang muncul dikarenakannya.
Ia menambahkan bahwa semua agama melarang adanya kekerasan terhadap umat manusia dan pembunuhan manusia tanpa hak. Ketika ada peperangan, ada hukum agama yang mewajibkan kita melindungi masyarakat sipil. Masyarakat sipil harus dilindungi. Dalam kata penutupnya, Ari Gordon menyampaikan dua ajaran agama yang paling penting dijaga oleh pemeluk agama yaitu tanggung jawab kepada Tuhan dan tanggung jawab kepada manusia.
Selanjutnya, Alimatul Qibtiyah menyampaikan tugas komnas perempuan. Menurutnya, ada lima tugas komnas perempuan di antaranya mempromosikan kesadaran publik, melakukan riset dan kajian yang terkait dengan isu-isu hukum, melakukan pemantauan dan pelaporan, melakukan input dan memberikan rekomendasi terhadap kasus, dan melakukan upaya kerja sama dalam dan luar negeri.
“HAM merupakan konsep yang mana setiap orang kalau tidak punya hak itu tidak bisa hidup. Itu sesuatu yang melekat pada diri seseorang dan itu harus dimiliki oleh setiap orang tanpa melihat apa pun latarbelakangnya, jenis kelaminnya, agamanya dan lain sebagainya. Karena kalau kita lihat, nilai-nilai hak asasi manusia adalah bersifat universal,” terang Alimatul.
Dalam penutupannya, Alimatul menyampaikan sebuah riwayat ketika Rasulallah ditanya oleh sahabatnya tentang keinginannya untuk melaknat orang kafir. Tapi Rasul menjawab, saya diutus tidak untuk menjadi pelaknat, tapi saya diutus untuk membawa rahmat. Keburukan akan menjadi subur bukan karena banyaknya orang buruk tetapi banyaknya orang baik yang diam, tutupnya.
Alpha Amirrachman dalam paparannya menyampaikan pentingnya peran kepemimpinan kepala sekolah dalam mendukung keberagaman di sekolah. Ia memberikan contoh sebuah studi kasus di Maluku di mana pendidikan perdamaian di beberapa sekolah tidak berjalan sebagaimana mestinya, justru di sekolah yang tidak mendapatkan intervensi pendidikan perdamaian hubungan yang harmonis antara siswa Muslim dan Kristen berjalan dengan baik dikarenakan adanya peran yang baik dari kepala sekolah, Menurutnya, sebagai agen perubahan, sekolah diharapkan mampu menjadi wadah untuk membentuk masyarakat yang dapat hidup damai dan berdampingan,, walaupun pada kenyataannya tidak mudah dilakukan terutama pada masyarakat yang hidup di tengah komunitas atau lingkungan yang tersegregasi secara adat atau agama, namun bukan berarti tidak mungkin terjadi.
Seperti yang terjadi di Maluku, siswa beragama Islam dan Kristen pada akhirnya dapat bersekolah secara bersama di sekolah yang sama dengan menekankan dan menerapkan prinsip kesetaraan dan keadilan di sekolah dengan merujuk pada shared values, bukan semata pada niiai lokalitas yang justru akan menjauhkan satu sama lain. Menurut Alpha, dengan demikian hak asasi setiap anak untuk mendapatkan pendidikan mumpuni dan hidup dalam suasana rukun dapat terwujud.
Abdul Mu’ti, sebagai narasumber terakhir menyampaikan tentang kebebasan beragama. Menurut Mu’ti, kebebasan beragama bermakna orang boleh percaya pada ajaran agama, walaupun tidak taat menjalankan ritual keagamaannya. Mu’ti menambahkan, dalam Islam bahkan orang boleh kafir, boleh Islam, mau atheis juga silakan. Itu merupakan kebebasan individu.
Selanjutnya, Kaprodi S3 PAI sekaligus Sekretaris Umum PP Muhammadiyah itu menyampaikan dua model pendidikan agama. Menurutnya, ada dua model pendidikan agama: “Yang pertama, pendidikan yang bertujuan untuk menjadikan peserta didik menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, Yang kedua, pendidikan yang tujuannya hanya untuk mengajarkan ajaran agama, agar siswa paham, tapi siswa tersebut tidak harus beriman dan bertakwa pada Tuhan YME. Lebih ke bagaimana siswa bisa menghormati orang-orang yang punya agama berbeda, dan berlaku baik agar bisa hidup berdampingan, dan tidak salah memperlakukan pemeluk agama lain.
“Dari simpulan model pendidikan agama di atas, pendidikan agama di Indonesia cenderung model pertama Sementara, di negara yang lebih heterogen, kecenderungan model kedua,” pungkas Mu’ti. (H.A)