SOLO, Suara Muhammadiyah – Sejak pukul 13.30 WIB, Solo Square XXI Solo Lantai 3 Jl Slamat Riyadi No 451-455 dipenuhi rombongan sekolah penggerak berkemajuan. Hadir 69 guru karyawan, Jumat (5/5/2023).
Kepala Sekolah Penggerak Hj Sri Sayekti MPd mengucap syukur karena pada hari itu berkesemapatan nonton bareng menyatukan frekuensi sebagai lakngkah taktis Gerakan teladani sosok Buya Hamka.
Dia menegaskan,” Kita tahu bersama bahwa Buya Hamka adalah ulama dan sastrawan yang tercatat dalam sejarah turut mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada masa Revolusi. Nobar Film Buya Hamka dapat kita petik hikmah dalam memperjuangkan ajaran Islam di masa penjajahan Belanda dan Jepang,” ujarnya.
Sayekti menuturkan film Buya Hamka volume satu mengisahkan periode ketika Buya Hamka menjadi ketua Muhammadiyah di Makassar dan berhasil memajukan organisasi yang mencerahkan di masanya.
Dengan penuh semangat guru karyawan mengikuti acara dengan khusyuk di zaman milenial ini. “Di situ pula kita mau menanamkan kepada warga sekolah bagaimana Buya Hamka semasa hidup, ia meniti karier sebagai seorang wartawan, penulis, filsuf, pengajar, dan politikus,” ucapnya, dengan penuh semangat.
Buya Hamka diketahui menjadi ketua pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus salah satu tokoh Muhammadiyah yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Namanya juga dikenal sebagai penulis novel terlaris, Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck.
Periode dimana Hamka menjadi pengurus Muhammadiyah di Makassar dan berhasil memberikan kemajuan yang pesat pada organisasi tersebut.
Hamka juga mulai menulis sastra koran dan cerita romannya disukai para pembaca. Hamka dan keluarganya pindah ke Medan, karena Hamka diangkat menjadi pemimpin redaksi majalah Pedoman Masyarakat.
Posisi ini membuat Hamka mulai berbenturan dengan pihak Jepang hingga harus ditutup karena dianggap berbahaya. Kehidupan keluarga Hamka pun terguncang ketika salah satu anak mereka meninggal karena sakit.
Buya Hamka lahir di Tanah Sirah, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908 dengan nama asli Abdul Malik Karim Amrullah. Hamka merupakan nama pena yang ia gunakan, singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
“Usaha-usaha Hamka untuk melakukan pendekatan pada pihak Jepang malah dianggap sebagai penjilat dan dimusuhi, sehingga Hamka diminta untuk mundur dari jabatannya sebagai pengurus Muhammadiyah,” pungkasnya. (Jatmiko)