Waspada Krisis Identitas ‘Baru’ Mengintai

Krisis Identitas

Sumber Foto Unsplash

Waspada Krisis Identitas ‘Baru’ Mengintai

Oleh: Adhani J. Emha

Jika kita membahas tentang krisis identitas, kebanyakan yang muncul dalam mesin pencarian adalah krisis identitas pada remaja yang katanya masih mencari jati diri. Krisis ini banyak digambarkan sebagai kondisi di mana seseorang mempertanyakan berbagai hal yang berkaitan dengan identitas dirinya, misalnya tujuan hidup, kepercayaan, nilai hidup, dan lain sebagainya.

Pencarian jati diri sebenarnya tidak terbatas hanya dilakukan oleh para remaja. Orang dewasa pun tidak berlepas dari krisis identitas. Biasanya hal tersebut didorong oleh kejadian-kejadian yang bisa jadi dianggap luar biasa yang menyebabkan terjadinya perubahan besar dalam hidup, sepeti perceraian, pensiun, kehilangan pekerjaan, pergaulan, dan lain-lain.

Oleh karena itu, sebenarnya krisis identitas bisa dialami oleh siapa saja dari kalangan usia manapun. Krisis identitas juga memiliki cakupan yang sangat luas karena pertanyaan tentang “siapa aku sebenarnya?” memiliki jawaban yang beragam. Ada beberapa kondisi yang terkait dengan krisis identitas ini yang belum banyak diperhatikan di Indonesia, namun telah menjamur dan menjadi polemik di dunia Barat. Dengan derasnya aliran arus informasi di dunia maya, baiknya kita mengetahui krisis identitas macam apa yang saat ini sedang mengintai untuk memangsa generasi penerus kita.

Pertanyaan tentang “siapa aku?” tidak hanya berakhir di koridor arus utama yang banyak kita ketahui, seperti pencarian tentang tujuan penciptaan atau emosi kemarahan dan kesedihan yang intens. Dalam ilmu psikologi terdapat istilah disforia (dysphoria) yang merujuk pada keadaan kegelisahan atau ketidakpuasan atas kehidupan.

Pertanyaan sederhana “siapa aku?” itu bahkan bisa bermuara pada jawaban “Seharusnya aku seorang penyandang disabilitas.” Disforia jenis ini disebut Disforia Integritas Tubuh (Body Integrity Dysphoria) yang disingkat dengan BID. Mereka yang mengalami BID biasanya merasakan adanya ketidakcocokan antara citra tubuh yang dibayangkan dengan keadaan fisik tubuhnya.

Salah satu cirinya adalah memiliki keinginan kuat untuk mengamputasi bagian tubuhnya seperti kakinya, atau keinginan untuk menjadi buta atau tuli. Banyak video yang beredar di internet mengenai mereka yang sebelumnya memiliki anggota tubuh yang lengkap yang kemudian mengamputasi organ tubuhnya sendiri karena mengidentifikasi dirinya sebagai penyandang difabel.

Entah karena masih dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia, krisis identitas jarang menyentuh ranah gender. Di Barat, fenomena Gender Dysphoria (GD), yang bisa kita terjemahkan sebagai Disforia Gender, saat ini sedang menjadi primadona dalam berbagai forum diskusi. Erik Erikson dalam bukunya berjudul Very Well Mind memasukkan GD sebagai salah satu kondisi yang serupa dengan krisis identitas. GD sendiri merupakan salah satu akar munculnya LGBTQ.

Ilustrasi

Orang dengan GD merasa bahwa mereka berada di tubuh yang salah. Misalnya orang yang merasa seharusnya mereka adalah perempuan, tetapi tubuh mereka laki-laki. Oleh sebab itu banyak dari mereka yang kemudian bahkan melakukan prosedur medis untuk melepaskan atribut kelaki-lakiannya dan memberikan dirinya bentuk badan layaknya tubuh perempuan. Atau sebaliknya perempuan yang mengidentifikasi diri mereka sebagai laki-laki akan melepas atribut keperempuanannya dan menempelkan atribut kelaki-lakian di atas meja bedah. Tidak tanggung-tanggung, bahkan mereka mengkonsumsi obat hormon tertentu supaya lebih menjadi laki-laki. Inilah yang sering disebut dengan kaum transgender.

Ada kecurigaan bahwa LGBTQ memiliki keterkaitan dengan masalah krisis identitas. Mereka merasa hanya bisa menyukai seseorang dari sesama jenisnya, atau yang merasa bahwa semua gender sama saja sehingga bisa untuk menyukai semua gender. Tentu ini tidak bisa dibenarkan jika kita lihat dari kacamata ajaran Islam. Nahasnya, kampanye LGBTQ sangat massif dan gencar dilakukan.

Di Amerika Serikat yang merupakan ikon negara liberal, kampanye LGBTQ sudah meresahkan para orang tua di sana. Di negara sebebas Amerika Serikat, bahkan para orang tua mulai khawatir pada kampanye LGBTQ sudah masuk khingga level Sekolah Dasar. Guru-guru dengan LGBTQ mengajarkan bahwa gender tidak hanya perempuan dan laki-laki, tetapi juga ada lesbian, gay, dan transgender atau yang biasa disebut dengan gender non-biner. Perhatian orang tua adalah terutama bahwa penjelasan tentang adanya gender non-biner menimbulkan kebingungan bagi anak-anak mereka.

Penolakan gerakan kampanye yang sampai merambah dunia pendidikan dasar juga bahkan datang dari beberapa masyarakat LGBTQ itu sendiri yang merasa bahwa anak-anak tidak perlu diperkenalkan dengan konsep tersebut. Celakanya, selain masuk ke dunia pendidikan, kampanye ini bahkan masuk ke dalam film animasi anak-anak, seperti pada karakter ternama dari film Toy’s Story, yaitu Buzz Lightyear, dalam film “Lightyear” besutan Disney-Pixar. Selain itu suguhan video dan animasi anak-anak di platform video daring terbesar di dunia seperti Netflix dan Youtube juga tidak luput dari kampanye ini. Video dikemas dalam animasi dan cerita yang menarik untuk anak-anak sehingga sekilas seperti tidak ada masalah dalam videonya.

Krisis identitas lain yang juga sudah muncul di Barat beberapa tahun belakangan ini adalah otherkin. Bagi mereka, identitas tidak hanya sempit pada jenis manusia saja, bahkan non-manusia (otherkin). Dikutip dari situs berita Irish Mirror yang rilis pada 24 Agustus 2022, seorang gadis remaja di Australia melaporkan dirinya kepada pihak sekolahnya bahwa ia adalah kucing.

Dalam salah satu kasus di negara itu yang belum lama dilaporkan, siswa tampaknya diperbolehkan untuk bertingkah seperti kucing dan menjadi non-verbal saat mengikuti pelajaran. Secara sosiologis, fenomena komunitas ini masuk ke dalam golongan subkultur ‘Furry Fandom’ –yang  merujuk pada kepenggemaran akan makhluk-makhluk berbulu seperti kucing, anjing, dan rubah, dan hewan berbulu lainnya—dapat  menciptakan ‘fursona’ berdasarkan hewan identifikasi mereka.

Selain sebagai hewan, ada pula manusia yang mengidentifikasi dirinya sebagai tumbuhan. Salah satunya adalah Roland Everson dari Inggris yang memberi nama dirinya sendiri sebagai Mr. Broccoli. Ia membuat geram presenter acara televisi Good Morning Britain saat diwawancarai pada bulan Oktober 2019 silam. Ketika ditanyai oleh presenter tentang pekerjaannya sehari-hari, pria yang viral karena mengecat wajahnya berwarna hijau dan memakai penutup kepala persis seperti bentuk brokoli itu menjawab bahwa pekerjaannya adalah bertumbuh. Dongkolnya presenter televisi itu sampai melabeli Everson sebagi ‘idiot’.

Derasnya arus informasi terutama dari media baru yang dapat menggiring kepada krisis identitas tampaknya tidak bisa sepenuhnya dibendung oleh masyarakat. Setiap orang, baik tua maupun muda, bisa dengan mudah mendapatkan akses informasi dalam genggaman, seiring berkembang pesatnya teknologi. Dengan demikian upaya pencegahan terhadap krisis identitas justru dengan membekali diri terhadap berita dan informasi terbaru, sehingga kita memiliki kesadaran bahwa ada pergerakan ‘baru’ yang saat ini perlu diwaspadai.

Bagi para orang tua, wajib untuk mengontrol tontonan yang dikonsumsi oleh anak-anaknya. Tindakan kontrol yang baik salah satunya yakni dengan mendampingi buah hati saat berselancar di dunia maya. Selain itu, membekali diri dan anggota keluarga dengan keimanan dan ketakwaan adalah kunci utama agar tidak mudah terombang-ambing dalam pencarian jati diri.

Adhani J. Emha, Mahasiswa Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascarjana Universitas Gadjah Mada

Exit mobile version