YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – “Disamping digital literacy, digital mentality juga harus dibangun terutama kaitannya transformasi mentalitas kebangsaan.” Hal tersebut disampaikan oleh Siti Ruhaini Dzuhayatin, seorang Guru Besar Bidang HAM dan Gender dan Staf Ahli di Kantor Staf Presiden dalam ‘Aisyiyah Update #3 yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (LPPA PP ‘ Aisyiyah) pada Jum’at (5/05/23).
Dalam acara dengan tema Jarimu adalah Surgamu: “Literasi Digital dalam Kerangka Kewargaan Digital (Digital Citizenship)” tersebut Ruhaini menyampaikan bahwa terjadi cultural lag di Indonesia karena masyarakat Indonesia yang memiliki akar budaya sebagai masyarakat yang bertutur melompat menjadi masyarakat visual. Dalam proses tersebut disebut Ruhaini ada sebuah proses atau tradisi masyarakat membaca yang dilewatkan oleh masyarakat Indonesia. “Kita mengalami proses melewatkan begitu saja suatu tradisi membaca yang sangat penting sekali, proses membaca yang saya sampaikan ini adalah proses memvisualkan sesuatu, memasukan dalam pikiran kesadaran, baru mengekspresikan,” terangnya.
Ia menyebutkan salah satu contoh dalam kehidupan dunia digital saat ini masih terdapat residu dari masyarakat bertutur yang mengatakan bahwa bertutur itu tidak masalah. “Saya kan cuman ngomong, apa sih salahnya ? Dalam masyarakat bertutur itu memang tidak masalah karena ucapan akan hilang ditelan angin atau dilupakan tetapi kalau dituliskan dalam lini masa digital, ini akan menjadi masalah karena jejak digital itu abadi,” papar Ruhaini.
Ruhaini menyebut masih banyak masyarakat yang membayangkan dunia digital itu sepeti masa teknologi tv dengan komunikasi satu arah, padahal dunia digital itu two ways bahkan banyak pintu. “Masyarakat kita masih banyak terjadi kesenjangan dalam proses menuju sebuah peradaban yang kita kehendaki, ini suatu hal yang juga menjadi PR bersama,” ungkapnya.
Dalam kesempatan tersebut Ruhaini juga menyinggung betapa penting kokohnya nation building bagi bangsa Indonesia yang berkembang dari masyarakat ethno religious communality dengan budaya pengetahuan bertutur menjadi modern state society yang merupakan masyarakat urban, heterogen, majemuk, plural, dan multikultural. “Pembangunan nation building ini sama mahalnya dengan pembangunan infrastruktur karena kalau nation building retak maka bisa menghancurkan seluruh bangunan yang kita miliki,” papar Ruhaini.
Firly Annisa, peneliti LPPA PP ‘Aisyiyah yang juga merupakan akademisi kajian komunikasi, media, dan budaya digital Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyebutkan bahwa dunia digital adalah dunia yang penuh potensi sekaligus tantangan. Terlebih dengan karakter media digital yang disebutnya immediately atau kecepatan, kemudian remediation yang karena saking cepatnya menyebabkan sering kehilangan konteks pesan atau sumber asli pesan , dan kemudian hypermediacy yang dalam satu gadget memungkinkan kita mengakses berbagai sumber informasi.
Oleh karena itu menurutnya, kesadaran menjadi warga negara digital harus dibarengi dengan kemampuan literasi digital. “Digital literasi berkaitan dengan menegtahui, memahami dan menggunakan perangkat informasi digital tetapi jangan lupa kemampuan daya kritis kita juga akan ditentukan oleh menyikapi informasi dalam platform media yang kita gunakan.”
Ismail Fahmi, Founder Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia menyebut dalam dunia digital ada tiga level kecerdasan digital yakni digital citizenship, digital cretivity, dan digital competitiveness. Untuk membangun ini Ismail menyebut haruslah dimulai dari institusi pendidikan yang secara bertahap dan terstruktur diajarkan kepada para generasi muda melalui kurikulum pendidikan.
Kurikulum ini disebut Fahmi sudah tersedia hanya saja perlu disesuaikan bahannya dengan situasi di Indonesia. Oleh karena itu Ismail mendorong majelis pendidikan di Muhammadiyah ‘Aisyiyah dapat menginisiasi masuknya kurikulum kecerdasan digital ini ke sekolah-sekolah yang dimiliki. “Kalau materi ini sudah siap, sekolah-sekolah kita ‘Aisyiyah Muhammadiyah dari Bustanul Athfal bisa menjadi bahan yang elok bagi kita secara real menyiapkan anak-anak dengan materi digital citizenship kurikulum yang pas.”
Lebih lanjut Ismail menekankan bahwa untuk membangun masyarakat digital yang cerdas diperlukan pendidikan sejak dini hingga dewasa. “Untuk membangun masyarakat digital yang cerdas dalam melawan disinformasi, bukan teknologi yang menjadi pemeran utama, tetapi pendidiikan literasi digital sejak dini hingga SD, SMP, SMA paling tidak itu dan melibatkan guru hingga orang tua,” tegasnya.
Siti Syamsiatun, Ketua LPPA PP ‘Aisyiyah dalam sambutannya menyebut bahwa dalam menghadapi perkembangan dunia termasuk dunia digital sangat diperlukan etika, akhlak, serta keterampilan. ‘Aisyiyah Update seri tiga ini disebutnya merupakan upaya LPPA PP ‘Aisyiyah untuk terus mendorong pemanfaatan perkembangan dunia digital dengan lebih beretika serta berakhlak. “Kita tidak ingin menjadi jarimu adalah celakamu, jangan sampai itu terjadi, kita fokuskan dunia digital ini untuk mengakumulasi modalitas kita untuk kebaikan meraih surga. Surga itu bukan hanya setelah kita mati tetapi ciptakan surga di rumahmu, di organisasi, di tempat kita di, lingkungan kita.” (Suri)