Kulliyatul Muballighien, Sekuel Kisah yang “Hilang” dalam Film Buya Hamka
JE Darwisi
Film Buya HAMKA menjadi tranding topic beberapa minggu ini. Film produksi Falcon Pictures dan Starvision ini, berhasil meraih jumlah penonton sebanyak lebih dari satu juta penonton. Hal itu menjadikan film garapan Fajar Bustomi tersebut masuk ke dalam jajaran film libur lebaran terlaris selain film horor Sewu Dino.
Menyimak apa yang menjadi perhatian penonton terhadap perjuangan Buya HAMKA di dalam film tersebut penulis melihat bahwa dalam film tersebut melupakan satu sekuel perjuangan Buya HAMKA yang justru sekuel kisah inilah menjadikan titik balik kepercayaan Buya HAMKA sehingga dikenal oleh masyarakat luas. Adalah masa ketika Buya HAMKA menjadi pimpinan atau kepala Tabhligh School yang berganti nama menjadi Kulliyatul Muballighien Muhammadiyah Padangpanjang.
Sekolah yang berada di Komplek Perguruan Kauman Padangpanjang ini merupakan sekolah pertama yang dikepalai oleh Buya HAMKA. Melalui sekolah inilah Buya HAMKA mengumpulkan pelajar-pelajar yang berasal dari Padangpanjang, Batipuh, X Koto dan sekitarnya yang kelak pelajar-pelajar inilah yang menjadi kader-kader persyarikatan yang mensyiarkan ajaran Islam dan Muhammadiyah. Bukan tanpa data penulis menyampaikan hal ini karena berdasarkan buku kenang-kenangan 70 Tahun Buya HAMKA yang ditulis oleh Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Buya HAMKA. 1978, yang diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta, dijelaskan bahwa Buya HAMKA pada tahun 1929 diberikan amanah sebagai pemimpin perguruan Tabhligh School.
Pada masa itu, selain beliau menurut buku tersebut juga terdapat tenaga pengajar seperti Buya AR Sutan Mansur, S.Y.St Mangkuto, Abdullah Kamil dan M. Rasyid Idris Dt Sinaro Panjang yang namanya sekarang diabadikan menjadi nama Jalan Komplek Perguruan Kauman Muhammadiyah Padangpanjang.
Jika pada film tersebut menampilkan berbagai momen penting kehidupan Buya HAMKA dalam kurun waktu 1933 hingga 1945. Maka belum lengkap sejarahnya apabila melupakan perjuangan Buya HAMKA mendapatkan kepercayaan dirinya melalui Kulliyatul Muballghien. Karena menurut buku kenang-kenangan 70 Tahun Buya HAMKA, sekembalinya Buya HAMKA dari Makassar tahun 1934, beliau tidak langsung pergi ke Medan namun Buya HAMKA dan keluarganya menempati salah satu kamar yang ada di Komplek Perguruan Kauman Padangpanjang, yang mana Buya HAMKA sering menyebutnya dengan “Kamar Sudut”.
Saat kembali dari Makassar Buya HAMKA membawa serta Abdur Rahim, yang saat itu berstatus Yatim Piatu. Oleh HAMKA ia diangkat menjadi anak dan menjadi siswa pertama Kulliyatul Muballighien. Selama di Padangpanjang Buya HAMKA lebih banyak berdiam diri dan merenung, sampai suatu ketika muncul ide dari sahabat Buya HAMKA, Abdullah Kamil untuk kembali mendirikan sekolah yang sempat berhenti karena kepergian HAMKA ke Makassar. Oleh Buya HAMKA sekolah tersebut diberi nama Kulliyatul Muballaghien, dan Buya HAMKA kembali diminta menjadi pimpinannya kala itu.
Ketika akan memulai tahun pelajaran baru, tahun 1936, saat sekolah sudah mulai stabil, tiba-tiba HAMKA menerima surat dari perusahaan Majalah Pedoman Masyarakat yang meminta Buya HAMKA menjadi Hoosdredakteur (Redaktur-red), disaat itulah Buya HAMKA melanjutkan pengelanaannya ke Medan. Selama menjabat sebagai Kepala Kulliyatul Muballighien, Buya HAMKA telah berhasil menyusun karangannya, ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’ yang kelak muncul di rubrik roman” Cermin Hidup” Pedoman Masyarakat saat beliau sudah menkabat sebagai Redaktur di Majalah tersebut.
Di dalam buku ini juga disebutkan bahwa setelah Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945, Buya HAMKA kembali ke Padangpanjang untuk mengajar di Kulliyatul Muballighien Kauman Muhammadiyah Padangpanjang sampai Tahun 1949.
Jadi berdasarkan rangkaian film jika ditarik benang merah melalui uraian dari buku 70 Tahun Buya HAMKA, penulis dapat memastikan ada kisah yang luput dari perhatian masyarakat luas ketika melihat film ini. Semuanya tentu merupakan hak dari sutradara dalam menampilkan wajah terhadap perjuangan buya HAMKA dalam menggarap film, namun tentu sangat disayangkan apabila ada satu sekuel penting dalam perjuangan Buya HAMKA untuk kembali menata kehidupan dihilangkan begitu saja. Hal ini menjadi tanda tanya serta kerugian yang besar bagi masyarakat yang mengetahui sejarah Buya HAMKA apalagi mereka yang berdomisili di Padangpanjang, khususnya civitas akademika Kulliyatul Muballighien Kauman Muhammadiyah Padangpanjang, Sumatra Barat.
Penulis hanya berharap jika film sejarah tentang Buya HAMKA, Ulama yang dikenal oleh masyarakat Internasional ini tidak mengalami pergeseran sejarah. Apalagi sejarah yang ‘dihilangkan’ itu bersingungungan erat dengan kehidupan masa lalu Buya HAMKA yang justru menjadi titik awal perjuangan Buya HAMKA. Penulis ingin mengutip salah satu pendapat penonton yang merasa kecewa dengan dihilangkannya peran Kulliyatul Muballighien dalam perjuangan Buya HAMKA,
“Kalaulah bukan karena ‘Kamar Sudut’, tentu saja Buya HAMKA tidak akan kita lihat besar seperti sekarang ini. Di Kauman inilah Umi Siti Raham dititipkan saat beliau pergi ke Medan. Jika ini ‘dihilangkan’ tentu saja sejarah mengalami pergeseran.
JE Darwisi, Guru di Kulliyatul Muballighien Kauman Muhammadiyah Padangpanjang