Lawatan Ibnu Battuta ke Sumatera pada Abad Ke-14 M
Oleh: Azhar Rasyid
Ibnu Battuta dikenal sebagai salah seorang petualang terbesar sepanjang masa. Lahir di Tangier, Maroko, pada 24 Februari 1304, dan terpelajar dalam bidang yurisprudensi Islam, sepanjang hidupnya ia mengelilingi berbagai belahan dunia yang jauh dari tanah kelahirannya. Tempat-tempat yang didatanginya antara lain adalah Mesir, Jazirah Arabia, Suriah, Irak, Iran, Turki, Afghanistan, India, Srilanka, Bangladesh, Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Cina.
Bila dihitung dalam kilometer, jarak yang ditempuhnya untuk mengelilingi dunia mencapai angka 120.000 km. Mempertimbangkan masih sederhananya sarana transportasi yang tersedia dan rintangan yang dihadapi, ini adalah angka yang sangat besar bila. Sebagai perbandingan, petualang Italia ternama yang hidup sezaman dengan Ibnu Battuta, Marco Polo (1254-1324), selama 24 tahun masa petualangannya menempuh jarak 24.000 km. Sekitar seperlima dari jarak total yang ditempuh Ibnu Battuta.
Petualangan Ibnu Battuta mehjasilakna banyak karya, yang paling ternama adalah Tuḥfat an-Nuẓẓār fī Gharāʾib al-Amṣār wa ʿAjāʾib al-Asfār, yang lebih dikenal sebagai Rihlah atau buku perjalanan Ibnu Battuta. Para sejarawan menekankan bahwa buku ini bukanlah sekedar catatan tentang nama tempat di berbagai belahan dunia, melainkan juga berisi narasi yang mengisahkan keragaman budaya masyarakat dunia, khususnya di dunia Islam. Mempelajari buku ini membuat orang memahami tentang keadaan sosial, budaya, politik dan keagamaan di banyak tempat di tiga benua (Afrika, Asia dan Eropa).
Ibnu Battuta menceritakan kisah perjalanannya pada seorang juru tulis, Ibn Juzayy. Ia mendiktekan ingatannya tentang apa yang dialaminya selama perjalanan, ditambah dengan berbagai catatan pribadi yang ia buat. Ibn Juzayy menyusunnya dalam bentuk narasi yang lebih indah namun mudah dipahami.
Walaupun ada sejumlah pertanyaan tentang akurasi isi buku ini, karya ini menjadi suatu sumber sejarah berharga tentang dunia pada abad pertengahan Islam, termasuk mengenai perkembangan agama Islam, praktik beragama, keadaan masyarakat, jalannya pemerintahan serta keberadaan sekolah dan masjid serta situs-situs bersejarah di berbagai tempat di dunia Islam.
Ibnu Battuta ke Sumatera
Salah satu wilayah yang didatangi oleh Ibnu Battuta dalam lawatan panjangnya itu adalah Pulau Sumatera. Ibnu Battuta singgah di Kerajaan Samudera Pasai di ujung utara Sumatera, pada tahun 1345 dan 1346 kala ia dalam perjalanan menuju ke dan kembali dari Cina. Ibnu Battuta mencatat bahwa pada saat ia datang ke sana penguasa Samudera Pasai menganut mazhab Syafii, dan menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam bukunya, A History of Modern Indonesia since c. 1200, ini memperlihatkan bahwa mazhab Syafii sudah eksis di Indonesia sejak periode yang sangat awal.
Ia menyebut Pulau Sumatera sebagai Pulau Jawa, suatu penyebutan yang lazim di zamannya mengingat kala itu istilah Jawa mengacu pada seluruh Kepulauan Nusantara dan tidak hanya terbatas pada Pulau Jawa seperti yang dipahami pada masa sekarang. Komentar pertama Ibnu Battuta tentang Sumatera mencerminkan kekagumannya pada keindahan alam wilayah ini. Menurutnya, alam Sumatera hijau dan subur, dan ia menyebutkan berbagai jenis tanaman yang banyak ditemukan di pulau itu, seperti kelapa, pinang, cengkeh, mangga, jambu, dan jeruk.
Selama 15 hari berada di Pasai, Ibnu Battuta menaruh perhatian pada kebiasaan hidup masyarakat di Pasai. Yang menarik perhatiannya adalah bagaimana ia sebagai seorang tamu dari jauh disambut dan dijamu. Saat rombongannya berlabuh di pantai, penduduk setempat membawakan berbagai jenis buah-buahan sebagai hadiah yang mesti direspon para tamu sesuai dengan nilainya.
Kedatangannya diberitahukan kepada sultan Pasai, dan ia beserta rombongan mendapat izin untuk turun ke darat. Dengan kuda rombongannya menempuh perjalanan menuju pusat kota. Terdapat dinding kayu di kota itu. Menara-menara kayu juga tampak di berbagai posisi. Masjid dan lapangan terbuka (alun-alun) juga ada, dan terletak di pusat kota. Ibnu Battuta memuji kotanya sultan itu, yang ia nilai luas dan indah.
Ibnu Battuta mengamati kehidupan keagamaan orang yang disebutnya sebagai ‘sultan Jawa’ itu. Ia menuliskan nama Islam sang sutan, Sultan al-Malik az-Zahir. Sultan yang dimaksudnya adalah Sultan Mahmud Malik az-Zahir, yang berkuasa di Samudera Pasai sekitar tahun 1346-1383. Ibnu Battuta terkesan dengan sang sultan, yang disebutnya sebagai sosok yang sangat dihormati, terbuka dan rendah hati.
Mazhab Syafii dianut oleh sang sultan dan rakyatnya. Sejumlah ahli agama menjadi tempat bertanya sultan tentang soal-soal keagamaan. Di antara mereka ada Qadi Sharif Amir Sayyid dari Suriah dan Taj al-Din dari Isfahan. Sang Sultan pergi menuju ke masjid dengan berjalan kaki untuk menunaikan shalat Jumat.
Ibnu Battuta sendiri tak hanya mengamati bagaimana shalat Jumat diselenggarakan, namun ia juga menjadi jamaah Jumat di sana. Ibnu Battuta mencatat bahwa dalam berbagai kesempatan lain, sang sultan dan rakyatnya berperang dengan kaum kafir. Kaum kafir yang kalah kemudian menyerahkan jizyah kepada sang sultan.
Ibnu Battuta menceritakan dengan rinci pengalamannya ketika pertama kali menginjakkan kaki di istana Sultan al-Malik az-Zahir. Ketika memasuki ruang pertemuan istana, ia ditemui oleh utusan sultan, yang kemudian menyalaminya. Untuk memberi tahu sultan bahwa tamunya sudah tiba di istana, sang utusan membuat sebuah catatan di kertas yang kemudian dibawa oleh pelayan kepada sang sultan.
Sambil menunggu jawaban dari sultan (yang menurut kebiasaan akan ditulis di bagian belakang kertas itu), beberapa pakaian yang terbuat dari berbagai bahan seperti sutra, katun dan linen dibawakan kepada para tamu itu. Setelah berganti pakaian sesuai dengan gaya lokal, makanan pun disajikan. Para tamu dibawa ke taman dan di sana beberapa pelayan ditunjuk untuk membantu kebutuhan mereka selama di istana.
Ibnu Battuta baru bisa bertemu dengan Sultan al-Malik az-Zahir pada hari keempat masa lawatannya di Sumatera. Amir kerajaan menyampaikan kepada Ibnu Battuta yang penasaran ingin bertemu dan memberi salam penghormatan kepada sang sultan bahwa di Pasai ada tradisi di mana tamu mesti menunggu dulu selama tiga malam sebelum bisa bertemu sang sultan. Ini dilakukan agar tamu tersebut bisa memiliki waktu istirahat yang cukup setelah melakukan suatu perjalanan yang panjang.
Selama menginap di sana rombongannya diberi berbagai jenis makanan dan buah-buahan. Pada hari keempat, akhirnya Ibnu Battuta bertemu dengan Sultan al-Malik az-Zahir. Hari keempat itu jatuh pada hari Jumat, dan Ibnu Battuta dijadwalkan akan bertemu sang sultan setelah shalat Jumat. Seusai shalat, pertemuan yang dinantikan itu pun berlangsung. Setelah berjabat tangan, Ibnu Battuta memberikan salam penghormatannya sebagai seorang tamu dari jauh.
Sultan al-Malik az-Zahir meminta Ibnu Battuta untuk duduk di sebelahnya, dan mereka pun mulai berbincang-bincang. Sang sultan sangat tertarik dengan lawatan-lawatan yang telah dilakukan Ibnu Battuta, dan ia meminta sang petualang untuk menceritakan pengalamannya selama di perjalanan. Selain itu, mengingat Ibnu Battuta sudah pernah singgah di India, sang sultan memintanya untuk bercerita tentang Sultan Muhammad di India.
Ada satu hal menarik yang perlu dicatat berkenaan dengan perjalanan Ibnu Battuta di dunia Islam, terutama bila dibandingkan dengan lawatan-lawatan yang diakukan Marco Polo. Sejarawan Ross E. Dunn, dalam bukunya, The Adventures of Ibn Battuta: A Muslim Traveler of the Fourteenth Century, menyebut bahwa Marco Polo adalah orang asing di negeri-negeri Timur yang dikunjunginya, sementara bagi Ibnu Battuta, di negeri-negeri yang dikunjunginya itu ia bukanlah orang asing, melainkan saudara seagama penduduk setempat, di suatu dunia besar bernama Dar al-Islam (‘rumah Islam’ atau kini lebih dikenal sebagai dunia Islam).
Di abad ke-14 itu, Dar al-Islam ini sudah membentang luas, mencakup Afrika Barat, Jazirah Arab, Persia, India dan Asia Tenggara. Ada pula kawasan-kawasan lain di luarnya, di mana Muslim, walaupun minoritas, punya peranan penting, seperti di Cina dan Spanyol. Catatan Ibnu Battuta tentang pengalamannya Samudera Pasai memperlihatkan dengan jelas bahwa ia bukan hanya seorang pertualang yang bertugas untuk mengamati dunia Islam, tapi ia adalah seorang Muslim yang juga merupakan bagian dari dunia Islam itu sendiri.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 4 Tahun 2021