Indonesia Tak Miliki Politik Kebudayaan
SURAKARTA, Suara Muhammadiyah – Salah satu problem kebangsaan yang terjadi saat ini adalah ketika nilai – nilai keindonesian tidak dijadikan paradigma dalam membangun politik kebudayaan–sehingga berdampak terhadap produk – produk legacy yang selama ini diciptakan oleh pemerintah yang jauh dari nun harapan. Untuk itu diperlukan penguatan diberbagai sektor kehidupan agar tidak meninggalkan budaya keindonesiaan dalam kebijakan politik pembangunan nasional.
Demikianlah konklusi hasil acara halal bi halal virtual dan tausyiah budaya yang diselenggarakan oleh para alumni aktifis pers mahasiswa Pabelan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) hari ini Kamis (11/05/2023) secara virtual. Dengan menampilkan dua narasumber budayawan, diantaranya Kun Prastowo dari Surakarta dan Irawan Djoko Nugroho (Yayasan Suluh Nuswantara Bakti) dari Jakarta.
Lebih jauh, Irawan menegaskan, perspetif budaya tak bisa dipahami hanya sekedar seni dan tarian – tarian semata. Namun lebih dari itu, budaya adalah cipta, rasa dan karsa yang diterjemahkan dalam bentuk paradigma berbudaya diberbagai bidang kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, pertahanan keamanan dan lain – lain.
“Sayangnya dalam segala kebijakan pembangunan nasional pemerintah tidak jelas arahnya dalam mendukung politik kebudayaan. Sementara bangsa – bangsa lain maju dan berkembang tanpa menanggalkan budaya, seperti Jepang, Korea dan China,” ujar Irawan yang selama ini dikenal sebagai penulis Buku Majapahit.
Senada dengan Irawan, Kun Prastowo menguatkan, agar diperlukan inovasi, kreatifitas dalam literasi budaya kepada generasi muda. Di era digitalisasi adalah kesempatan emas untuk memperkenalkan berbagai budaya yang dibungkus dalam bentuk kearifan lokal. Sehingga kedepan menjadikan daya tarik bagi generasi muda untuk belajar tentang budaya dan nilai – nilai keindonesiaan.
Hal ini sangat penting dan mendesak, karena pelajaran budaya itu untuk membentuk etik dan etika manusia agar memiliki karakter diri yang baik. ” Saya berharap dengan banyak pemimpin – pemimpin yang cerdas dan berintegritas yang tinggi bisa memikirkan itu dalam politik kebudayaan,”ucap Kun Prastowo.
Sebagai penutup, Agus Yuliawan sebagai host moderator, menyimpulkan, bahwa semua itu harus segera diakhiri. Politik kebudayaan yang menjadikan anak bangsa tidak lagi menjadi inlander harus digalakkan. Departemen Kebudayaan dan Pendidikan yang pada saat ini memiliki agenda menghadirkan film-film pendek dengan membiayai proposal yang diajukan kepadanya, seharusnya menjadi garda terdepan dalam menghadirkan film yang lebih baik, lebih menginspirasi dan tidak terjebak menghadirkan film-film inlander.
Karena itu pemerintah dan seluruh anak bangsa, perlu duduk bersama untuk mengemas kebudayaan yang memuliakan kehidupan bernegara dan mampu menghadirkan bangsa yang modern, martabatif dan maju, serta bukan terus menjadi inlander. (Riz)