Membijaksanakan Group WA
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI) merilis temuannya bahwa pengguna internet Indonesia mencapai 215.626.156 juta dari total populasi sebesar 275. 773.901. Dari angka tersebut, komposisi antara perempuan dan laki-laki nyaris seimbang. 49,7% perempuan dan sisanya laki-laki.
Survei dari We Are Social juga menyebutkan bahwa orang Indonesia, rata-rata akan menghabiskan waktu selama 197 menit alias 3,2 jam per hari, untuk bermedia sosial. Cukup panjang ya? Semoga sebanding dengan produktifitasnya
Media sosial yang saya maksud adalah, media yang digunakan sebagai sarana untuk berinteraksi satu sama lain. Melalui Komunitas jaringan virtual, orang-orang bisa mencipta, berbagi, bertukar informasi, gagasan dan karya.
Untuk berkecimpung di media sosial, seseorang cukup menggunakan perangkat gadget atau telepon genggam pintar. Dengan perangkat simpel ini, para pengguna seolah bisa menggenggam dunia.
Di dalamnya tersedia berbagai fitur yang mampu memenuhi kebutuhan penggunanya. Tinggal pilih, fitur apa yang disuka. Mulai dari kebutuhan mendapatkan informasi secara cepat, tanpa harus menunggu pemberitaan televisi. Mau melihat hiburan musik, teater atau film. Mau bermain games sepuasnya, lalu memenangkan kompetisi secara online. Mau membaca cerpen, novel hingga ilmu pengetahuan tentang apa saja ada.
Berbagai bacaan itu tersedia lengkap dalam banyak Bahasa. Jika ada kendala Bahasa, mesin penterjemah siap membantu pembaca untuk menerjemahkan dari dan kedalam bahasa yang dikehendaki. Sangat mudah dan cepat
Kehadiran perangkat multiguna itu bak pisau bermata dua. Ia bisa digunakan untuk tujuan mulia, mampu menumbuhkan banyak manfaat positif. Sebaliknya, ia juga bisa digunakan untuk hal-hal negatif. Ia bisa menjadi wahana efektif untuk menebar kebencian dan fitnah keji, hingga mampu membunuh karakter orang lain. Bahkan, ia juga bisa menjadi sarana melakukan aksi kejahatan atau menaklukkanya.
Salah satu fitur yang banyak dipakai oleh para pengguna gadget untuk sarana komunikasi adalah WhatsApp. Ia cukup mudah, simpel dan murah. Selain bisa digunakan secara pribadi, ia juga bisa digunakan secara berkelompok, di dalam Group WA.
Satu orang pengguna gadget, bisa tergabung ke dalam puluhan Group WA. Ada banyak alasan bagi seseorang untuk bergabung. Bisa atas dasar ikatan keluarga, sesama alumni sekolah, kesamaan hobi, atau sekedar untuk memudahkan koordinasi dan komunikasi di lingkungan tempat kerja, organisasi atau dalam komunitas bisnis.
Meski demikian, banyak orang yang sebenarnya terpaksa bergabung, merasa tidak enak ketika diajak bergabung dalam satu Group WA oleh teman dekat, kerabat, teman kuliah, sejawat atau atasan di tempat kerja. Akibatnya, ia hanya akan menjadi anggota pasif, bahkan sama sekali tidak tertarik untuk membaca apalagi berkomentar. Saat membuka gadget di pagi hari, ia akan melakukan “clear chat”. Ia hanya akan muncul ketika membaca berita duka. Itupun cukup menulis kalimat pendek; “Inna Lillahi” atau “Rest In Peace”.
Warna Warni Group WA
Setiap Group WA yang saya ikuti selalu memiliki ciri dan keunikan sendiri. Karakter para anggota Group akan mencerminkan dinamika di dalamnya. Mulai dari topik diskusi, hingga pola komunikasi yang terjadi.
Atas keunikan itu, maka setiap orang juga memiliki skala prioritas dalam memperlakukannya. Saya memprioritaskan Group keluarga inti dan di lingkungan kerja. Selebihnya level prioritasnya akan dinamis, tergantung dari tingkat urgensi dan kepentingan saat itu.
Pada Group WA yang anggota aktifnya homogen, konten pemikiran yang dituangkan ke dalam wadah itu juga akan berwajah tunggal. Konten narasi yang muncul dari satu entitas saja. Apalagi jika anggota lain yang sejatinya memiliki pemikiran kontra, memilih diam.
Di dalam Group seperti ini, biasanya tidak akan ada dialektika pemikiran. Konten Group penuh dengan aneka propaganda yang berasal dari satu kelompok saja. Akibatnya, di dalam ruang itu tidak pernah ada perdebatan. Karena tidak ada kontra narasi dari anggota lain. Semua seolah setuju dan selesai pada menit itu juga. Group menjadi monoton dan kering.
Ada Group WA yang meski anggotanya cukup beragam, namun terkadang tidak sesuai peruntukannya. Ada (saja) anggota Group yang kurang tepat dalam mengisi ruang di dalamnya. Misalnya, mengirimkan copasan tentang propaganda politik ke dalam Group Yoga atau Senam Kesegaran Jasmani. Konten itu pasti tidak tepat. Jika pengiriman itu karena salah kamar, dan hanya sekali terjadi, bisa dimaklumi. Tetapi jika terjadi berkali kali, mungkin ada masalah dengan kepekaan batin dan nalar pikirnya.
Saya pernah bertanya kepada teman yang berperilaku seperti itu. Dia menjawab jujur;
”iseng aja sih…tapi kalau jadi ada yang berantem karena kiriman itu, demen aja…” Ujarnya sambil senyum aneh.
Ada juga pengakuan lain dari teman yang memiliki kegemaran serupa. Dia jujur mengatakan bahwa perilaku dia itu dilatarbelakangi oleh tindakan kompensasi atas perasaan dan pikirannya yang sedang ruwet. Dia merasa plong ketika sudah mengirimkan sesuatu yang dia sadar, bahwa kontennya mengusik perasaan orang lain di dalam Group.
Tindakan itu sebagai ekspresi kegundahan batinnya. ”Bodo amat, mau dibaca atau dibuang. Saya juga gak baca lagi kok….”. Tuturnya. Ternyata, tidak selalu ada niat baik lho. Itulah dinamika di dalam Group WA.
Saya juga menemui keunikan baik di dalam group WA. Setiap menjelang Subuh, ada anggota group yang mengirimkan pesan singkat “mari sholat subuh berjamaah di Masjid. Mumpung masih bisa”. Ada lagi yang mengirmkan “Sholawat Nabi” dalam Bahasa Arab setiap jam 3.15 sore. Hanya pesan pendek itu. Tanpa disertai narasi apapun.
Begitu banyak keunikan terjadi di dalam Group WA.
Ada Group WA yang cukup ngangenin untuk dibaca. Meski anggotanya beragam dan sering terjadi perbedaan pendapat, namun perbedaan itu mengasyikkan. Semua argument yang disampaikan sarat dengan landasan pengetahuan mutakhir bersumber dari berbagai bacaan. Perbedaan itu jauh dari potensi perselisihan. Konter narasi yang disampaikan hanya menyasar pada argument lawan yang berbeda. Bukan untuk menyerang pribadi seseorang.
Jika ada 57 orang tergabung di dalam satu Group WA, berarti ada 57 perasaan, pikiran, pendapat yang berbeda-beda. Tentu juga dengan intensi yang berbeda-beda pula. Ada yang sedang berpikiran ruwet, gundah, marah, galau. Juga sebaliknya. Semuanya melebur di dalam satu wadah bersama. Menegakkan prinsip kesalingan dalam menenggang, meghormati dan memperlebar permakluman adalah mutlak.
Dari sisi pembaca pun juga beragam. Ada yang lapang hatinya, sehingga mampu memilah dan memilih setiap konten informasi yang diterima, hingga mampu bereaksi dengan tenang. Sebaliknya, ada sikap yang bertolak belakang. Apalagi jika konten yang muncul tidak selaras dengan pendapatnya. Semua akan terjadi secara alami. Dari Group WA itu pulalah, karakter para anggotanya bisa terbaca oleh yang lain.
Membijaksanakan Group WA
Perlukah ada konsensus bersama dalam suatu Group? Tentu hal itu akan tergantung pada anggota yang ada di dalamnya.
Biasanya, jikapun ada, sungguh tidak mudah menegakkan pemberlakuan konsensus itu secara konsisten. Siapa yang bisa menghukum pelanggar? Admin? Bagaimana jika petugas admin sendiri yang melanggar?
Saya pernah keluar dari satu group WA karena merasa tidak berguna. Lalu ada teman yang mengingatkan.
”Mengapa tidak berpikir sederhana. Ketika ada pandangan orang lain yang tidak kamu suka, tetap saja itu adalah hak azasi seseorang yang sah untuk disampaikan. Kamu juga punya hak untuk itu to?”
Teman lain yang sama tulusnya juga mengingatkan.
”Ketika kamu sedang tidak sependapat dengan pandangan orang lain, lalu bersikap tidak suka. Pernahkah kamu berpikir, bahwa orang lain juga boleh memiliki sikap serupa?”
Bergabung ke dalam Group WA, sejatinya adalah wahana belajar seumur hidup. Di situ, saya belajar mengasah batin dan pikiran agar bisa lebih mendewasa. Ketika saya berhasrat untuk dimengerti oleh orang lain, maka sejatinya, orang lain pun juga memiliki hasrat yang sama. Dari proses itulah, saya belajar menoleransi pendapat orang lain.
Pergulatan di dalam dinamika Group WA, selalu mengingatkan, bahwa kebenaran yang saya yakini, ternyata belum tentu selalu selaras, dan sama benarnya dengan keyakinan orang lain. Dari situlah saya belajar untuk mengasah batin agar mampu menenggang rasa.
Dalam satu Group WA bersama, setiap orang memiliki latar belakang dan alasan beragam untuk menyampaikan suara hatinya. Saya harus memutus harapan untuk menjadikan orang lain menjadi seperti yang saya inginkan. Mengirimkan konten yang selaras, segendang sepenarian. Apalagi hasrat untuk menyeragamkan perasaan. Itu pasti keliru.
Saya ingat pesan alm. Cak Nur. Bahwa kemajemukan adalah kepastian ALLAH (takdir) yang tak terhindarkan. Termasuk kemajemukan dalam berpendapat. Seseorang bisa menggunakan segi-segi kelebihan masing-masing untuk mewujudkan kebaikan bersama. Adapaun terkait perbedaan yang dapat ditenggang, adalah perbedaan yang tidak membawa kerusakan dalam kehidupan bersama (Satu Menit Pencerahan Nurcholis Madjid ccxxx)
Melatih batin dan pikiran saya agar mampu menenggang rasa dan memperlebar permakluman terhadap perbedaan pandangan, hingga mampu saling menghormati pendapat yang lain, adalah pilihan. Hal itu lebih mungkin, daripada berharap orang lain melakukan hal yang sama untuk saya.
Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso