MPI Batang Terbitkan Novel “Runtuhnya Sebuah Keangkuhan”

MPI Batang Terbitkan Novel "Runtuhnya Sebuah Keangkuhan"

MPI Batang Terbitkan Novel “Runtuhnya Sebuah Keangkuhan”

Oleh: Kawe Samudra

Di penghujung periode kepemimpinan, Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Batang telah menerbitkan sebuah novel berjudul Runtuhnya Sebuah Keangkuhan (RSK) karya Sugito Hadisasto, sastrawan asal Batang yang juga Ketua Majelis Dikdasmen PDM Batang.

Terbitnya novel tersebut mendapat support dari Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah melaui Kata Pengantar Dr. Muchlas, MT, sebagai upaya mendukung gerakan literasi masyarakat khususnya warga di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah.

Langkah MPI Batang memang agak bergeser dari pakem. Tidak menerbitkan buku-buku bertema keagamaan sebagaimana lazimnya yang sudah banyak dilakukan lembaga lain, tetapi lebih memilih menerbitkan novel, sebagai strategi memupuk minat baca masyarakat dengan cara santai, sederhana dan gembira. Harapannya, bermula dari menyimak narasi fiksi, diharapkan pembaca bisa “jatuh cinta” dan tergerak membaca buku-buku genre lain.

Novel ini mengandung pesan-pesan moral sebagai penguat karakter dan mendorong pembaca memahami kisi-kisi dan jungkir balik nasib kehidupan tokoh cerita. Sikap dan karakter angkuh yang tergambar lewat tokoh cerita pada akhirnya runtuh ketika jiwanya telah dicerahkan nilai-nilai keimanan. Unsur-unsur dakwah dalam novel ini juga tergambar dari tokoh utama, yang selalu mengutamakan shalat lima waktu di sela-sela kesibukannya.

Novel yang dicetak Grama Surya Yogyakarta ini bukanlah sejarah, melainkan sebuah fiksi yang berlatar belakang peristiwa sejarah. Berkisah tentang berbagai peristiwa di pedukuhan-pedukuhan seputar Alas Roban dan di sekitar kotaraja Mataram, Kerta, yang bernama dukuh Watu Glagah.

Sebagai penulis, Sugito sendiri enggan melabeli karyanya tersebut sebagai novel sejarah, karena bagi dia lebih tepat untuk menyebut novel Runtuhnya Sebuah Keangkuhan sebagai sebuah karya fiksi berlatar peristiwa sejarah. Novel ini seakan menegaskan kembali trademark yang melegenda, dimana nama Alas Roban kondang dibanding nama Batang itu sendiri.

Jika pembaca  merasa jenuh membaca buku sejarah, maka membaca karya fiksi berlatar sejarah bisa jadi cara alternatif. Dikisahkan dalam novel, bahwa Alas Roban era 1700 an telah menjelma menjadi urat nadi perdagangan antara Batavia (Brang Kulon) dan Surabaya (Brang Wetan) mempunyai peran penting dalam perputaran perkonomian rakyat pesisir antara di Sebayu (Tegal), Watang (Batang), Asem Arang (Semarang) hingga Kerta (Mataram) dan daerah-daerah di sebelah timurnya. Jalur ekonomi di tengah hutan belantara itu juga memunculkan perilaku masyarakat negatif (membegal, merampok, bahkan membunuh). Sementara di sisi lain, ada upaya mempertahankan hak milik dengan menghadirkan jagoan-jagoan (pendekar) sepanjang perjalanan untuk melindungi usaha dagang mereka.

Konflik tidak hanya terjadi di seputar dunia perdagangan, pada aspek lain kehidupan masyarakat juga melahirkan konflik baik antar antar individu maupun antar kelompok. Dari sini kemudian muncul tokoh-tokoh yang membela kebenaran (Ki Seblu, Jaka Pamegat, Bagus Rangga, Ranapati, Rara Ambengan, Rara Warasih) dan tokoh-tokoh yang mewakili dunia kelam, seperti Ki Demung dan kawanannya, Raden Pedut (simbol keangkuhan), Tedung Gunarbo, dan para begal Alas Roban pimpinan Ki Lurah Gewor. Setinggi apapun kemampuan orang-orang jahat akan tetap dikalahkan oleh keteguhan dan kesabaran para pembela kebenaran.

Keangkuhan pun akhir-nya runtuh. Begitulah pesan inti yang ingin disampaikan buku setebal lebih dari 500 halaman ini, sebagai ikhtiar berdakwah lewat jalur kultural. Mengubah karakter negatif menjadi positif tidak harus dengan khutbah, tetapi bisa dilakukan melalui cerita yang dikemas sedemikian rupa sehingga pembaca tidak merasa digurui.

Kawe Samudra, Sekretaris MPI Batang

Exit mobile version