Oleh: Miqdam Awwali Hashri
Dalam kitab yang berjudul ar Risalatul Qusyairiyah fi ‘ilmit Tasawuf, Imam al Qusyairi menuliskan suatu kisah yang bisa menjadi pembelajaran bagi umat manusia. Suatu ketika dua sahabat Rasulullah SAW, yaitu Abu Dzar al Ghifari a.r. dan Bilal al Habsyi a.r., saling berbantah-bantahan. Perselisihan meruncing hingga akhirnya Abu Dzar al Ghifari mencela Bilal dengan mengatakan “hitam”. Atas celaan Abu Dzar tersebut, kemudian Bilal mengadukannya kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau memanggil Abu Dzar dan menegurnya, “Wahai Abu Dzar, di dalam hatimu masih terdapat sifat sombong seperti kesombongan orang-orang jahiliyah.”
Abu Dzar al Ghifari a.r. merasa sangat menyesal atas apa yang ia perbuat. Untuk menebus kesalahannya tersebut, kemudian ia mendatangi Bilal a.r. untuk meminta maaf. Abu Dzar bersungkur di tanah dan bersumpah untuk tidak mengangkat kepalanya sebelum pipinya diinjak oleh Bilal dengan telapak kakinya. Abu Dzar tidak mengangkat kepala hingga Bilal melakukan apa yang dimintakannya.
Begitulah Abu Dzar a.r. mengajarkan kepada kita dalam meminta maaf secara tulus. Bagi Abu Dzar a.r., permintaan secara lisan saja tidak cukup. Permintaan maaf Abu Dzar begitu tulus tanpa pembelaan diri sehingga ia rela pipinya diinjak oleh Bilal a.r. sebagai tanda bahwa Bilal a.r. juga tulus pula memaafkan kesalahannya.
Persaudaraan antara Abu Dzar a.r. dengan sahabat Bilal a.r. lebih utama daripada sekedar memenangkan argumentasi dalam perselisihan. Ketika Abu Dzar diadukan oleh Bilal kepada Rasulullah SAW, bisa saja Abu Dzar melakukan pembelaan diri. Namun ia sadar bahwa celaan yang ia tujukan kepada Bilal adalah suatu tindakan yang dilarang agama. Mencela saudara adalah sebuah kesalahan yang dapat mengakitbatkan saudaranya tersinggung. Abu Dzar paham betul bahwa persaudaran adalah hal yang sangat berharga terutama dalam upaya memajukan dakwah Islam.
Pelajaran Berharga dari Abu Dzar r.a.
Abu Dzar a.r. telah mencontohkan kepada kita bagaimana cara meminta maaf dengan tulus bukan sekedar lisan saja. Karena seringkali antara hati, lisan, dan tindakan tidak bersesuaian. Lisan bisa saja mengucapkan permintaan maaf, namun hati seringkali masih tertanam benih hasad yang ditampilkan melalui perilaku.
Abu Dzar a.r. berharap agar Bilal a.r. memaafkan kesalahannya tersebut dan rela untuk mendapatkan pembalasan setimpal, bahkan lebih daripada yang telah ia perbuat. Abu Dzar a.r. sangat memahami akibat dari tindakan menyakiti hati saudaranya. Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW menerangkan tentang orang yang kelak bangkrut di akhirat, “Orang yang bangkrut diantara umatku ialah seseorang yang kelak di hari kiamat datang dengan membawa pahala ibadah shalatnya, ibadah puasanya, dan ibadah zakatnya. Di samping itu dia juga membawa dosa berupa makian pada orang ini, menuduh yang ini, menumpahkan darah yang ini, serta menyiksa yang ini. Lalu diberikanlah pada yang ini sebagian pahala kebaikannya, juga pada yang lain. Sewaktu kebaikannya sudah habis padahal dosa belum terselesaikan, maka diambillah dosa-dosa mereka itu semua dan ditimpakan kepada dirinya. Kemudian dia dihempaskan ke dalam neraka.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Dewasa ini kita bisa jumpai orang yang menyatakan permohonan maaf namun antara lisan dan perilakunya tidak sejalan. Secara lisan mereka menyatakan permohonan maaf, namun tindakannya justru berkebalikan dengan apa yang diucapkan. Bahkan tidak sedikit ujarannya memicu kembali api konflik.
Misalkan saja, seseorang yang menyatakan permintaan maafnya secara terbuka namun masih diiringi dengan pembelaan diri. Berbagai macam alasan ia kemukakan dibalik permintaan maafnya tersebut. Hal itu ia lakukan karena sebetulnya ia memang tidak merasa bersalah. Meskipun ia mengatakan telah meminta maaf secara tulus, namun dibalik itu ia tetap melakukan serangan-serangan terhadap orang yang ia sakiti. Ini hanya menunjukkan bahwa permintaan maafnya sebatas basa-basi yang jauh dari rasa tulus.
Perilaku seperti itu pada umumnya karena masih ada sifat takabur dan merasa lebih unggul sebagaimana teguran Rasulullah SAW pada kisah di atas. Orang yang belum tulus meminta maaf seringkali terjebak pada perasaan telah melakukan perbuatan baik. Padahal pada kenyataannya perbuatannya tersebut justru kontra produktif. Allah SWT juga telah mengingatkan kita dalam QS al Kahfi 18:103-104 yang artinya “Katakanlah, maukah kalian kuberi tahu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Mereka adalah orang-orang yang sia-sia perbuatannya di dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.”
Wallahua’lam
Miqdam Awwali Hashri, Anggota Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) PP Muhammadiyah dan Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam