Muhammadiyah Merespons Teror dengan Gerakan Penuh Adab

Muhammadiyah Merespons Teror dengan Gerakan Penuh Adab

M. Busyro Muqoddas (kanan) dalam Webinar AMM Ngaglik

SLEMAN, Suara Muhammadiyah – Belakangan ini kerap muncul teror terhadap warga Muhammadiyah, salah satunya berkaitan dengan perbedaan penetapan 1 Syawal. Perbedaan tersebut selama ini sudah dianggap biasa dan bisa dimaklumi karena adanya perbedaan metode yang digunakan. Adapun bentuk teror yang terjadi mulai dari penurunan spanduk pengumuman Shalat ‘Id, larangan penggunaan fasilitas publik untuk penyelenggaraan Shalat ‘Id, hingga pernyataan oknum yang bersifat provokatif.

Beberapa waktu yang lalu, oknum peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengancam membunuh warga Muhammadiyah melalui komentarnya di media sosial. Sontak warga Muhammadiyah di berbagai daerah merasa geram dan beramai-ramai melaporkannya ke pihak berwajib. Sebagian meluapkan amarahnya melalui komentar-komentar keras di media sosial.

Untuk merespons isu tersebut, pada Rabu, 11 Mei 2023, Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Kapanewon Ngaglik, Sleman, DIY menyelenggarakan Webinar bertajuk “Diteror, Apa Sikap Muhammadiyah?” Webinar tersebut dipandu oleh Ari Wibowo, S.H.I., S.H., M.H., selaku Wakil Ketua Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah (PCPM) Ngaglik, serta menghadirkan Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum (Ketua PP Muhammadiyah) sebagai keynote speaker dan Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum (Ketua Majelis Hukum & HAM PP Muhammadiyah) selaku narasumber.

Dalam paparannya, M. Busyro Muqoddas menyampaikan fenomena terorisme sisi historis dan yuridis. Secara historis, istilah terorisme di Indonesia mulai dikenal sejak peristiwa Bom Bali tahun 2002, setelah itu banyak terjadi kasus-kasus serupa di berbagai tempat. Ironisnya, sudah lebih dari 20 tahun berlalu tetapi pemerintah belum bisa menyelesaikannya. Beliau mengemukakan kritik terhadap cara aparat dalam penanggulangan terorisme. “Cara pemberantasan terorisme cenderung dengan kekersan, banyak terduga yang ditembak mati sehingga tidak dapat dibuktikan benar tidaknya sebagai teroris,” ujarnya. Di masa Orde Baru, terorisme dilakukan oleh aparat negara yang lazim disebut state terrorism. Saat itu Gerakan terorisme dilakukan oleh Komando Jihad yang sesungguhnya aktor intelektualisnya adalah aparat intel dengan tujuan politik. “Karena tujuannya politik, maka pemnejelang Pemilu 2026 kemungkinan akan muncul kembali,” lanjutnya.

Beberapa kali aktivis Muhammadiyah pernah ditangkap karena dituduh sebagai teroris. Muhammadiyah selalu melakukan advokasi dan ternyata tidak terbukti. Dalam isu terorisme Islam dan umat Islam diposisikan secara diskriminatif. Sementara terkait dengan teror yang dilakukan oknum peneliti BRIN, M. Busyro Muqoddas menilai pelakunya dapat dikenakan UU Terorisme karena ada unsur maksud menimbulkan suasana teror. “Cara Muhammadiyah merespons harus mencerminkan Gerakan yang penuh adab namun tetap kritis,” tutup M. Busyro.

Dalam paparannya, Trisno Raharjo berpandangan bahwa sebagai peneliti BRIN, komentar Prof. Thomas Djamaludin (TD) melalui media sosial tidak bijak. “Perbedaan penentuan 1 Syawal seolah seperti yang pertama, padahal sudah lama terjadi dan biasa saja,” ujarnya. Komentar TD itulah yang memicu komentar keras Andi Pangeran Hasanuddin (APH). Dari beberapa laporan warga Muhammadiyah di berbagai daerah kemudian disatukan di Barskrim. “Sampai saat ini baru APH yang diproses,” lanjutnya.

PP Muhammadiyah juga berkirim surat kepada BRIN meminta agar dilakukan pemeriksaan etik kepada TD dan APH. Sampai saat ini yang sudah diproses baru APH, sementara TD belum tersentuh sama sekali. Pada prinsipnya, Muhammadiyah memaafkan tetapi proses hukum tetap harus jalan sampai putusan pengadilan. Adapun soal gangguan kejiwaan yang diduga dialami APH, tidak bisa menjadi alasan kasus tidak dilanjutkan. Biarkan nanti dibuktikan di pengadilan.

Di akhir Webinar, AMM Ngaglik menyampaikan pernyataan sikap terkait erjadinya teror terhadap warga Muhammadiyah menunjukkan penurunan (regresi) demokratisasi di Era Presiden Jokowi. Sementara itu, proses hukum kasus teror terhadap warga Muhammadiyah yang telah menetapkan APH sebagai tersangka harus dilanjutkan sampai pemeriksaan di pengadilan meskipun ada dugaan gangguan jiwa yang diidapnya.

BRIN hendaknya membentuk Komite Etik yang beranggotakan orang-orang yang sudah teruji independensi dan integritasnya untuk melakukan pemeriksaan etik terhadap TD dan APH. Kemudian BRIN dan bareskrim agar melakukan pemeriksaan kepada TD karena komentarnya yang memicu terjadinya teror terhadap warga Muhammadiyah. Serta BRIN hendaknya tidak menunjuk TD sebagai ketua pembuatan kalender Islam nasional karena sudah bermasalah secara etik. (Zulfi/Riz)

Exit mobile version