Wakaf Hutan dan Adaptasi Perubahan Iklim
Oleh: Widhyanto Muttaqien
Menengok Kembali Perhutanan Sosial
Perkembangan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan tidak terlepas dari sejarah pengelolaan hutan yang mulai dikembangkan melalui strategi kehutanan sosial (social forestry) di era akhir 1970-an di sebagian negara-negara tropik di belahan dunia. Selama munculnya strategi kehutanan sosial, berbagai istilah digunakan untuk mewakilinya: tidak hanya ‘kehutanan sosial’ tetapi juga ‘hutan kemasyarakatan’. Kedua istilah tersebut digunakan untuk merujuk pada kebijakan dan kegiatan kehutanan yang melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan dan penanaman pohon, yang oleh orang perdesaan mengasumsikan (sebagian) tanggung jawab pengelolaan, dan dari situ mereka mendapatkan keuntungan langsung (Wiersum 2004).
Di era sekarang, untuk mendukung agenda perhutanan sosial, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan nasional melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2016 tentang perhutanan sosial. Pemerintah mengklaim bahwa salah satu pertimbangan dikeluarkannya kebijakan perhutanan sosial adalah untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan pengelolaan/pemanfaatan kawasan hutan melalui upaya memberikan akses hukum kepada masyarakat lokal dalam mengelola kawasan hutan (KLHK, 2016). Bentuk-bentuk pengelolaan Perhutanan sosial yaitu Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK).
Meskipun skema perhutanan sosial memberikan peluang untuk mengatasi ketimpangan partisipasi masyarakat, penguasaan lahan, pengentasan kemiskinan, dan mengurangi konflik lingkungan (Erbaugh, 2019; Rakatama & Pandit, 2020), beberapa kajian menunjukkan tantangan yang dihadapi dalam implementasinya. Tantangan kelembagaan terkait pengelolaan hutan yang tidak efektif dan biaya transaksi yang tinggi dalam pelaksanaan perhutanan sosial (Rakatama & Pandit, 2020). Skema perhutanan sosial sebagai langkah strategis untuk melegalkan pemanfaatan dan klaim masyarakat atas hutan, namun belum tentu menjadi solusi jangka panjang. Kecuali hutan adat, perhutanan sosial terikat oleh aturan seperti batas waktu, aturan zonasi lahan yang mengikat tujuan pengelolaan dan pemanfaatan (Bong et al., 2019). Sektor swasta sebagai aktor baru yang diinginkan dalam perhutanan sosial, yang berkembang dan dibungkus dengan reforma agraria, dikhawatirkan akan menggunakan sebagian besar kekuatannya untuk memanfaatkan eksploitasi ekonomi lahan dan hutan (Wong et al., 2020).
Pengelolaan Hutan Hak
Dari sudut pandang jaminan tenurial, tantangannya terdiri dari implementasi perhutanan sosial di lahan milik pribadi (di luar kawasan hutan negara), pengelolaan dan koordinasi kerangka waktu yang berbeda untuk skema perhutanan sosial yang berbeda, dan kesulitan dalam mengalihkan hutan adat kepada masyarakat karena alasan politik.
Jika merujuk pada Peraturan Pemerintah no 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, hutan-hutan yang berada di lahan milik pribadi diakui statusnya sebagai hutan hak. Namun kebijakan ini tidak menjelaskan bagaimana tata cara penyelenggaraan hutan hak dan relasinya pada agenda pengelolan hutan nasional termasuk agenda perhutanan sosial. Peraturan Pemerintah ini hanya mengatur penyelenggaraan hutan di kawasan hutan negara dan kawasan hutan adat.
Perhutanan Sosial memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumberdaya hutan yang memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal dan tujuan produksi yang lestari. Namun demikian konsep ini mengalami pergeseran sejak diterbitkan PermenLHK no 83/2016. Pemerintah berfokus memberikan akses hukum kepada masyarakat lokal dalam mengelola hutan di Kawasan Hutan Negara.
Sementara pasca Putusan Nomor 35/PUU-X/2012MK No. 35, kata negara dihapus dari rumusan Pasal 1 Angka 6 UU Kehutanan hingga menjadi, “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Menurut MK, berdasarkan Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan, maka status hutan dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataan masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Saat ini beberapa contoh pengelolaan hutan hak yang baik hutan milik dan hutan adat, maupun perhutanan sosial seperti di daerah Magelang, Wonosobo, Temanggung dan daerah lainnya. Atau hutan adat Tengger-Jawa Timur, di beberapa titik di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Sayangnya pengelolaan hutan hak ini belum masuk dalam kerangka pengelolaan hutan nasional. Padahal dari sisi pengelolaan baik itu konservasi, sosial dan ekonomi, hutan rakyat ini dapat menjadi pembelajaran bagi pengelolaan PS di hutan negara.
Pengelolaan hutan hak seperti hutan adat juga memiliki banyak peluang, sekaligus permasalahan. Pada kasus hutan adat di Buluh Cina misalnya, Muttaqien (2013)[1] menjelaskan kelindan perspektif pengelolaan dalam masyarakat adat yang memilih konservasi pada hutan mereka sambil memanfaatkan hasil hutan secara lestari. Hutan adalah tabungan alam (hutan dan seluruh aset di dalamnya). Sedangkan pemerintah dan akademisi yang selama ini ikut sumbang saran dalam pengelolaan hutan cenderung mempraktekkan industri yang padat modal, sehingga masyarakat miskin dan masyarakat adat yang berbeda pandangan hidupnya tersingkirkan.
Ikut serta dalam pengembangan hutan artinya masyarakat adat di Buluh Cina ikut dalam perspektif baru, yaitu perspektif pemerintah dan akademisi saat itu. Perspektif baru tersebut adalah ikut serta dalam usaha hutan alam, masyarakat menjadi bagian dari perusahaan penebangan kayu, sebagai penebang kayu di hutan mereka. Selain hal-hal di atas pengaturan kelembagaan yang demokratis juga berpengaruh pada ketaatan masyarakat terhadap aturan adat.
Hutan dan Perubahan Iklim
Perubahan iklim sudah menjadi ancaman manifes untuk seluruh mahluk di Bumi. Ironisnya sebagian komunitas epistemik malah menyalahkan doktrin Islam yang menempatkan manusia sebagai khalifah, pemilik otoritas mengelola sumberdaya alam untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, sebagai penabalan terhadap konsep antroposcen. Padahal sejatinya konsep khalifah fil ardh ini adalah pelindung dan perawat bumi. Ada tiga jenis krisis, yaitu Pertama, Perubahan Iklim 50-75% dari populasi global berpotensi terdampak kondisi iklim yang mengancam jiwa di tahun 2100. (IPCC, 2022). Kedua, Polusi Udara sebagai penyebab penyakit dan kematian dini terbesar di dunia hingga 4,2 juta kematian setiap tahun. (UNFCCC, 2022). Ketiga, Hilangnya Keanekaragaman Hayati mengancam pangan, kesehatan, dan jasa ekosistem sekitar 1 juta spesies tumbuhan dan hewan menghadapi ancaman kepunahan. (IPBES, 2019). Terkait perubahan iklim, terjadi peningkatan bencana hidrometrologi yaitu 5.402 bencana alam pada tahun 2021, 99% dari total kejadian bencana alam adalah bencana hidro-meteorologi.
Muhammadiyah dalam Muktamar ke-48 Nomor 1208/KEP/I.0/B/2022 memutuskan bahwa Isu Strategis Nasional antara lain (1) regulasi terhadap dampak perubahan iklim (2) Ekonomi Berkeadilan sosial. Muhammadiyah berupaya secara sungguh-sungguh mengajak masyarakat dunia untuk menyerukan dan mengawal berbagai regulasi yang dapat membahayakan lingkungan dan menyebabkan perubahan iklim. Pada aspek praktis, warga Muhammadiyah di berbagai lapisan telah dan akan tetap terlibat aktif dalam gerakan pelestarian lingkungan, baik secara individu melalui gaya hidup yang pro-ekologis. . Risiko-risiko yang pernah dikhawatirkan sudah terjadi, dalam keamanan pangan (food security), relasi konfliktual kuasa antarnegara (political security) akibat berebut sumber daya kesejahteraan, dan juga keamanan lingkungan hidup (environmental security).
Indonesia merasa optimis dengan hitungan di atas kertas, bahwa skenario mitigasi perubahan iklim yang dibuat. Beberapa output jika berhasil 7–96 miliar ton CO2e Emisi GRK berkurang selama 2021–2060 akan menyebabkan 68% penurunan intensitas emisi tahun 2045, sebelum mencapai Net Zero Emission (NZE) tahun 2060, dengan strategi penciptaan 1.8 juta green jobs di tahun 2030 tersebar di sektor energi, EV, restorasi lahan, dan limbah. Kurang lebih 40,000 jiwa terselamatkan 2045 dari risiko polusi udara. Luas hutan sebanyak 4.1 juta ha tutupan hutan bertambah pada tahun 2060 (LCDI-Bappenas, 2021).
Pada kenyataannya dalam lima tahun terakhir (2015-2019), deforestasi terjadi di 10 provinsi kaya hutan bertambah luas dibandingkan lima periode sebelumnya. Provinsi tersebut Papua, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Kepulauan Maluku, Sulawesi Tengah, dan Aceh. Pada periode 2015-2019, luas hutan alam hilang mencapai 2,81 juta hektar. Sumbangan deforestasi didominasi provinsi kaya hutan mencapai 1,85 juta hektar[2]. Artinya skenario optimis di atas kertas malah tidak dijalankan, malah kebijakan pro deforestasi menjadi akar masalah bagi kerentanan masyarakat yang terdampak perubahan iklim.
WAKAF HUTAN: Solusi untuk apa dan siapa
Setidaknya ada enam manfaat yang diambil dari hutan oleh masyarakat jika dilihat dari skenario Sustainable Development Goals, yaitu 1. Tanpa kemiskinan, 2. Penanganan perubahan iklim, 3. Kehidupan sehat dan sejahtera, 4. Lestarinya ekosistem daratan, 5. Tanpa kelaparan, 6. Terpenuhinya kebutuhan air bersih dan sanitasi yang layak. Hutan menyediakan keenam hal tersebut dari perspektif kesejahteraan yang plural. Kehilangan akses terhadap hutan artinya memiliki risiko kerentanan pemenuhan hasil hutan kayu dan non kayu. Hasil hutan non kayu terpenting bagi komunitas setempat adalah sistem pangan yang terintegrasi dengan keberadaan hutan, dan demikian juga rentan kehilangan aset hutan.
Al Quran menyatakan beberapa hal tentang tanah dan apa yang tumbuh di atasnya, yaitu “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur” (Al Araaf : 58). Selanjutnya Al Kahfi Ayat 7-8. Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.
Pertanyaan wakaf hutan untuk apa dan siapa dapat ditelusuri dari fungsi hutan dan kepemilikannya sebagai hutan hak. Sebagai hutan hak wakaf berfungsi melindungi perpindahan hak, karena dijamin oleh hukum; menjaminkan, menghibahkan, menjual, atau mewariskan aset wakaf adalah pidana. Dendanya hingga Rp 500 juta atau penjara sampai 5 tahun (UU 41 tahun 2004 tentang wakaf). Sehingga hal yang berbeda Hutan Wakaf dari skema hutan Perhutanan Sosial yang ada adalah 1) fokus membangun hutan di lahan milik yang akan berkontribusi pada tutupan hutan Indonesia dan cadangan stok karbon; 2) Regulasi berkeadilan karena ditetapkan oleh komunitas Muhammadiyah untuk kemaslahatan umat, 3) Partisipasi intensif warga Muhammadiyah dalam perencanaan, pengelolaan dan pemantauan hutan Wakaf; 4) Manfaat sosial ekonomi kepada warga Muhammadiyah dan umat disekitar hutan Wakaf.
Hutan wakaf tidak ditujukan mengurangi deforestasi yang menjadi salah satu sumber perubahan iklim, namun menjadi mitigasi masyarakat sipil dengan melakukan aforestasi. Aforestasi adalah pembentukan hutan atau penegakan pepohonan di area yang sebelumnya bukan hutan. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.14/Menhut-II/2004 menyebutkan definisi aforestasi adalah penghutanan pada lahan yang selama 50 tahun atau lebih bukan hutan. Berbeda dengan reforestasi atau reboisasi yang merupakan pembentukan kembali hutan yang pernah gundul, secara alami maupun buatan.
Program Hutan Wakaf merupakan salah satu bentuk pengimplementasian konsep wakaf yang dapat menjadi instrumen dalam mendukung pelestarian lingkungan hidup. Hutan Wakaf merupakan inovasi di bidang pemberdayaan wakaf. Dari aspek ekologis, hutan wakaf turut berperan dalam menjaga kestabilan iklim secara mikro, melestarikan keanekaragaman hayati, konservasi air, dan mencegah bencana alam. Secara regulasi hutan wakaf masuk dalam kategori ‘wakaf untuk kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan’ sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Muhammadiyah yang didirikan sejak tahun 1912 memiliki aset tanah fantastis yang digunakan untuk kesejahteraan umat, dengan mendirikan pelayanan pendidikan mulai dri TK sampai perguruan Tinggi, Rumah Sakit dan Klinik, Panti Asuhan dan Balai Latihan Kerja, Rumah Aman Untuk Anak, Masjid dan Pusat Peradaban, pertanian dan peternakan dan lainya. Aset tanah di atas gedung tersebut seluas 21 juta meter persegi[3]. Sesuai Pasal 22, harta benda wakaf juga dapat ditujukan untuk membantu fakir miskin, anak terlantar dan yatim piatu serta untuk menyediakan beasiswa pendidikan dan santunan kesehatan. Selain itu, harta benda wakaf juga dapat ditujukan untuk meningkatkan perekonomian umat dan/atau memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi dari harta benda wakaf tersebut [4].
Muhammadiyah telah mengembangkan fikih agraria dimana landasannya adalah teladan Rasullullah Muhammad SAW yang sangat peduli dengan problem agraria, tegas terhadap perampasan tanah, dan peduli terhadap “tanah mati”—harus dihidupkan, kemudian tidak dijalankannya UU PA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria/ UUPA, UUPA merupakan tonggak pembaruan agraria yang dasarnya sangat kuat dilandasi nilai-nilai Islam tentang kebermanfaatan sosial, sesuai dengan implementasi pelaksanaan pasal 33 UUD 1945. Wallahu’alam.
Widhyanto Muttaqien, Wakil Ketua Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam LHKP PP Muhammadiyah
—
[1] (1) Imbo Awak | Sinau Academy – Academia.edu
[2] Catatan Akhir Tahun: Benahi Tata Kelola Hutan dan Lahan Bakal Makin Sulit – Mongabay.co.id : Mongabay.co.id
[3] Muhammadiyah Organisasi Islam Terkaya di Dunia – klikmu.co
[4] (2) (PDF) Wakaf Sebagai Jalan Reforma Agraria (researchgate.net) Diakses 4 Maret 2023