Islam dan Budaya

Islam dan Budaya

Foto Ilustrasi

Islam dan Budaya

Oleh: Donny Syofyan

Pindar, seorang penyair lirik Yunani, pernah mengatakan dalam sajaknya, “Custom is the king of all.” Jika kita disuguhkan daging anjing, apakah kita akan menyantapnya? Mungkin ada orang suka anjing, misal untuk berburu tapi tak akan memakannya. Tapi bila kita pergi ke Tiongkok, mereka menyajikan daging anjing di restoran. Atau bahkan mungkin di Bali dan Sulut kita menemukan daging anjing diperjualbelikan di pasar-pasar.

Kita menganggap ini menjijikkan bahkan salah secara moral, tapi ada orang-orang yang memiliki tingkat kepintaran sama dengan kita di belahan bumi lain yang menganggap ini ok-ok saja. Tak ada yang aneh mengonsumsi daging anjing. Kenapa orang Amerika bersepatu di dalam rumah? Mereka datang dari luar habis menginjak kotoran, luluak bahkan tahi binatang? Mereka banyak menghabiskan uang untuk carpet cleaning? Kita tak terbiasa bersepatu dalam rumah, tapi begitulah orang-orang Amerika berbuat di rumah mereka. Dan mereka tak suka orang lain menyuruh mereka mengubah kebiasaan ini. Budaya amat kuat.

Memahami budaya atau kebiasaan sangat bahkan kian relevan ketika kita memperbincangkan syariah. Dalam konteks syariah, kebiasaan ini disebut `urf. Hukum dari `urf—apa yang benar-salah atau menyenangkan atau mengundang murka Tuhan—sangat kompleks. `Urf itu menciptakan konteks dari dasar hukum (syariah). Syariah adalah aturan-aturan umum. Tapi bagaimana dan di mana aturan-aturan umum diterapkan secara terperinci, mempengaruhi kehidupan kita, atau mewarnai interaksi kita, dari sanalah `urf muncul.

Ada dua kategori hukum dalam Islam, yakni tsawâbit dan mutaghayyirât. Untuk yang pertama (tsawâbit), ini artinya tetap, tidak berubah. Minuman keras, semisal alkohol atau arak, adalah haram. Akan selalu haram, kecuali darurat misal kita terdampar di gurun dan menemukan berbotol bir atau champagne dan harus meminumnya agar bertahan hidup.

Itu pun ada perdebatan seberapa banyak boleh meminumnya. Apakah sekadar untuk bertahan (sebotol) atau keseluruhan botol? Tak peduli kita hidup di masyarakat yang peminum, ya tetap saja haram. Yang kedua (mutaghayyirât) artinya sesuatu yang berubah. Ini, misalnya, terkait dengan hukum pernikahan. Bagaimana peran suami dan istri dalam rumah tangga? Ini dibentuk oleh `urf. Berapa jumlah mahar yang dibayar? Ini ditentukan oleh `urf.

Sesuatu yang tsawâbit terkadang tak disebutkan secara tegas dalam Al-Quran. Misalnya, laki-laki tak diperkenankan memiliki lebih dari empat orang istri, padahal nabi berpoligami dengan lebih empat orang wanita. Tak ada ayat dalam Al-Quran yang menyatakan Muslim/Mukmin tak boleh beristri lebih dari empat tapi Nabi boleh. Tapi semua ulama sadar dan sepakat bahwa laki-laki tak boleh beristri lebih dari empat. Ada yang disebut secara tegas dalam Al-Quran tapi boleh jadi mutaghayyirât, sebagai misal kategori orang yang boleh menerima zakat. Satu di antaranya adalah al-muallafah qulûbuhum.

Awalnya mereka adalah pemuka kafir Mekah dan Thaif yang masuk Islam setelah menghabiskan banyak harta memerangi Muhammad sebelumnya. Setelah masuk Islam, Rasulullah mengembalikan harta mereka lewat zakat agar mereka menjadi loyal kepada Islam. Akhirnya memang menjadi Muslim yang taat, seperti Mu`awiyah dan Amr bin Ash.

Bagi madzhab Hanafi, kategori muallafah qulûbuhum tak berlaku lagi karena mereka menilai ini hanya berlaku di zaman Nabi. Jadi meski disebutkan dalam Al-Quran, madzhab Hanafi menganggap ini tak berlaku lagi sekarang. Tapi madzhab Syafi’i masih menganggap ini valid hingga kini. Di Malaysia, ketika ada orang yang ingin meninggalkan Islam maka kerajaan atau organisasi Islam membantu mereka secara finansial agar tetap bertahan dengan keislaman mereka.

Bantuan ini diharapkan meringankan hati mereka dengan digunakan untuk pelbagai tujuan, semisal mendirikan bisnis. Karenanya, dalam syariah, sesuatu yang tak disebut dalam Al-Quran bukan berarti tidak tsawâbit. Atau hanya karena sesuatu itu tak ditemukan dalam nash, maka berarti mutaghayyirât. Sekarang mari lihat bagaimana `urf menjadi semacam lisensi.

Kita sering mendapati perintah langsung dari Al-Quran atau hadits Nabi yang dibarengi dengan kata ma`rûf. Misalnya, seperti yang tadi disinggung, Al Baqarah 231 disebut (فَاَمۡسِكُوۡهُنَّ بِمَعۡرُوۡفٍ اَوۡ سَرِّحُوۡهُنَّ بِمَعۡرُوۡفٍ), tahanlah dengan baik atau lepaskan dengan baik. Keduanya terikat dengan kata ma`rûf. Kata ma`rûf ini terikat dengan ruang dan waktu tertentu. Di Barat, istri punya ekspektasi bahwa suaminya juga melakukan hal-hal yang dilakukan istri, seperti belanja ke mall, mendorong kereta bayi, memasak, laundry, yang mungkin bagi sebagian warga kita di Indonesia belum menjadi kelaziman.

Dalam Islam, ini sah-sah saja karena perkara ma`rûf amat tergantung dengan kebiasaan tempat dan waktu tertentu. Begitu juga dengan membayar mahar. Berapa jumlahnya? Kapan dibayarkan, apakah semuanya di depan atau boleh disusul? Sebab ada sementara masyarakat mahar dibayar dalam jumlah kecil di awal dan dalam jumlah besar pasca nikah demi mencegah terjadinya perceraian?

Hanya karena kita diizinkan mengikuti sesuatu yang ma`rûf, bukan berarti ini bahwa sesuatu yang ma`rûf tersebut boleh bertentang dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Ia tak boleh melanggar apa yang disebut tsawâbit. Adalah ma`rûf minum alkohol di US tapi tetap haram dalam Islam. Adalah ma`rûf pernikahan sesama jenis di US atau sejumlah negara Eropa tapi tetap haram dalam Islam. Sesuatu yang ma`rûf tetap tak boleh menerobos red line.

Berikut ada perintah yang tersirat untuk melakukan apa yang disebut ma`rûf, seperti kontrak. Al Qur’an mengatakan, “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji” (یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَوۡفُوۡا بِالۡعُقُوۡدِ), QS Al Mâ’idah:1). Apa jenis kontrak yang dibuat ditentukan oleh `urf. Misalnya, Anda pergi ke tailor dan meminta si penjahit melapangkan celana Anda sebab Anda yakin akan gemuk.

Lalu ketika balik ke sana dan si penjahit menyampaikan biayanya IDR 50 juta maka Anda akan protes. Kenapa? Karena Anda harganya tak akan semahal itu sesuai `urf. Begitu juga Anda mengunjungi restoran dan memesan steak, lalu pelayan resto mengenakan biaya IDR 20 juta, Anda pasti tak akan bayar. Meski pihak resto menyalahkan Anda kenapa tak lihat menu sebelum memesan, tapi Anda sadar harganya tak segila itu menurut `urf.

Ada lagi persoalan liability (tanggung jawab). Misal saya seorang pemilik toko.  Saya mau pergi sembahyang, lalu ada yang menyatroni toko saya. Pertanyaannya, ‘Apakah pemilik toko sebelah saya bisa dipercaya?”. Di budaya tertentu, pemilik toko menjaga satu sama lain, sementara di budaya lain si pemilik toko bertanggung jawab sendiri menjaga tokonya, “Itu bukan kedai saya. Anda yang harus menjaganya.”

Di Amerika kalau Anda sering bepergian dengan pesawat, misalnya, Anda punya akses kepada lounge yang biasanya untuk kelas bisnis. Di lounge ini, orang membiarkan atau meninggalkan barangnya, seperti laptop atau hp. `Urf dari kelas bisnis adalah Anda bisa meninggalkan laptop atau hp ketika ke toilet atau jajan. Orang tak akan menyolong barang-barang penumpang lain. Tapi di ruang tunggu reguler, Anda tak akan melakukannya.

Pakaian juga. Batasan aurat bagi laki-laki adalah dari pusar hingga lutut. Begitu ketentuan dari Rasul. Secara teoritis, saya bisa datang ke kampus buat mengajar memakai celana hingga lutut dan dada terbuka kecuali pusar atau singlet saja? Apakah itu ok? Mahasiswa akan kaget dan menganggap Anda aneh. Padahal Anda menutup aurat kan. Anda punya hak tersinggung. Sebab itu bukan `urf. Begitu pula kita sembahyang dengan kain sarung di Asteng, tapi bukan di Timur Tengah. Detail dan materi tambahan diset oleh `urf.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version