Aktifitas Membaca, Gerakan Menjaga Generasi

membaca

Foto Ilustrasi

Aktifitas Membaca, Gerakan Menjaga Generasi

Oleh: Amalia Irfani

Kita mungkin telah terbiasa mendengar sebuah anonim  “buku adalah gerbang dunia dan membaca adalah kuncinya.” Atau sebuah kalimat yang berasal dari Buya Hamka, “Membaca buku-buku yang baik berarti memberi makanan rohani yang baik.” Dua kalimat sarat makna dan pengharapan bahwa hidup membutuhkan nilai. Nilai tersebut didapat salah satunya dengan meluaskan wawasan, membuka cakrawala berpikir melalui kajian pengetahuan dan ilmu dengan membaca.

Aktifitas membaca menjadi pembeda individu satu dengan lainnya yang disebut sebagai orang berilmu. Dalam Islam aktifitas membaca adalah hal yang sangat dianjurkan karena berbagai manfaat  didapat oleh individu yang menjadikan membaca sebagai kebiasaan dan akhirnya menjadi kebutuhan (identitas diri).

Membaca adalah aktivitas yang sarat kebaikan. Perintah membaca merupakan wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW. “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq: 1). Penanda bahwa kebermanfaatan hidup seorang hamba salah satunya saat mampu memberikan kebaikan kepada orang lain.

Orang berilmu yang mengajarkan ilmunya kepada orang lain (transfer knowledge) tidak saja  mentransfer ilmu pengetahuan dan pemahaman, tetapi juga  mentransfer nilai-nilai moral dan kebaikan yang disebut dakwah. Dai dan daiyah jika ingin memberikan ceramah kepada mad’u wajib mencharge dirinya dengan ilmu dan pengetahuan umum. Kecerdasan mengkaji, mengkaitkan fenomena sosial dalam pandangan ajaran agama tidak akan pernah didapat tanpa terlebih dahulu banyak membaca (literasi).

Membaca dan Keutamaannya

Sejarah mencatat aktifitas membaca sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan peradaban Islam. Puncak kejayaan peradaban Islam di masa lalu bisa dicapai karena hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan, dan hal tersebut tentunya   terwujud karena umat Islam dulu rajin dan gemar  membaca. Tanpa membaca, tidak akan ada inovasi-inovasi sains, penemuan bermanfaat bagi ummat seperti yang telah sampai kepada kita sekarang.

Bapak Sosiologi Islam, Ibnu Khaldun, hingga  generasi seperti ketua umum pimpinan pusat Muhammadiyah Ayahanda Haedar Nashir adalah seorang penulis yang  gemar membaca untuk menambah khazanah keilmuan dan kekritisan dalam menjabarkan fenomena sosial masyarakat. Kedalaman berpikir dan kemampuan menyusun narasi dalam bingkai nilai akademis tidak mungkin di dapat oleh seseorang tanpa menjadikan aktifitas sebagai budaya keseharian.  Atau seorang penulis yang baik akan terus  mengisi stamina melalui pengetahuan dan banyak berinteraksi untuk memperoleh pengalaman yang dipadu bersama teori untuk menjabarkan sesuatu.

Bersahabat dengan Buku

Buku di new media mulai ditinggalkan, banyak yang mengikuti perkembangan teknologi untuk mendapatkan ilmu, berita dan informasi melalui e book, jurnal pdf, e newspaper atau website yang mudah dan murah didapat.  Padahal menurut hemat penulis aktifitas membaca  lebih baik, terasa jejak diingatan jika ia berbentuk buku, tabloid dan koran. Selain tidak merusak kesehatan mata,  buku akan tersimpan rapi karena dapat didokumentasikan dan menjadi warisan ke anak cucu kelak.

Sebagai warisan atau budaya bernilai kebaikan gemar membaca negeri ini pernah diposisi terendah. Keprihatinan tersebut membuat Menteri Pendidikan nasional ke-24 era Kabinet Gotong Royong dan juga dikenal sebagai Bapak Pendidikan Muhammadiyah, Malik Fadjar tergerak  menggagas hari buku nasional yang pertama kali diperingati pada tanggal 17 Mei 2002. Tanggal 17 Mei saat itu dipilih karena juga hari berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 17 Mei 1980. Berprofesi sebagai  seorang pendidik, tentu beliau sangat memahami arti penting budaya membaca bagi ketahanan kecerdasan dan menjaga  generasi. Budaya tersebut harus terus lestari walaupun teknologi semakin canggih.

Amalia Irfani, Mahasiswa Doktoral Sosiologi UMM, Divisi Penguatan Politik Perempuan LPPA PWA Kalbar

Exit mobile version