Shalat untuk Menjemput Rahmat (9)
Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nifʻan Nazudi
Telah diuraikan kaifiat rukuk pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (8). Hal penting yang perlu kita perhatikan kembali adalah bahwa rukuk harus kita lakukan dengan tumakninah, yakni gerakan rukuk dilakukan dengan tenang, khusyuk, dan tidak tergesa-gesa. Jadi, rukuk sudah dilakukan dengan sempurna lebih dahulu, barulah membaca doa rukuk..
Bagaimana cara melakukan rukuk yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Rukuk dilakukan dengan lebih dahulu mengangkat kedua tangan sambil membaca takbir seperti dalam takbiratul ihram. Lalu, rukuk (membungkukkan badan) seraya meluruskan punggung dengan tengkuk dan telapak tangan kanan memegang lutut kanan dan telapak tangan kiri memegang lutut kiri dengan jari-jari tangan agak direnggangkan sambil membaca doa.
Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (9) ini diuraikan kaifiat iktidal. Beberapa kaifiat iktidal yang diuraikan adalah bangkit dari rukuk, tata cara iktidal, posisi tangan ketika iktidal, dan macam doa iktidal.
Bangkit dari Rukuk
Bangkit dari rukuk dilakukan setelah membaca doa rukuk. Ketika bangkit dari rukuk, kita membaca samiʻallahu liman ḥamidah disertai dengan mengangkat kedua tangan sebagaimana waktu tabiratul ihram.
Di dalam HR al-Bukhari dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya demikian. Berikut ini dikemukakan transkrip dan makna hadis tersebut.
“Dari Abdullah bin ‘Umar raḍiyallahu ‘anhu (diriwayatkan bahwa) dia berkata, Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila berdiri dalam shalat mengangkat kedua tangannya sampai setentang pundaknya. Hal itu dilakukan ketika bertakbir, hendak melakukan rukuk, dan ketika mengangkat kepalanya (bangkit) dari rukuk sambil mengucapkan samiʻallahu liman ḥamidah. Hal ini tidak dilakukan dalam sujud.”
Kiranya ada yang perlu diberi penekanan dalam hal mengangkat tangan. Dalam kenyataaan ada sebagian muslim yang mengangkat kedua tangan ketika bangun dari rukuk hanya sampai pada perut. Cara yang demikian tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang sesuai adalah mengangkat kedua tangan sama dengan ketika takbiratul ihram
Ada beberapa hadis yang dijadikan dalil dalam hal bangkit dari rukuk. Berikut ini dikemukakan transkrip dan maknanya.
HR Muslim
“Dari ‘Aisyah [diriwayatkan bahwa] ia berkata … dan apabila beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) mengangkat kepalanya dari rukuk, maka beliau tidak langsung sujud sebelum berdiri lurus terlebih dahulu”
HR al-Bukhari
“Dari Abū Hurairah [diriwayatkan bahwa] Rasulullah shallallau ‘alaihi wasallam ….
berkata [kepada orang yang keliru mengerjakan shalatnya] … kemudian bangunlah sampai kamu berdiri tegak ….”
Tata Cara Iktidal
Di dalam HPT 3 (hlm. 561) dijelaskan bahwa iktidal adalah keadaan berdiri lurus sesaat setelah bangkit dari rukuk dengan seluruh ruas tulang berada di dalam posisi normal. Hal itu dijelaskan di dalam HR al-Bukhari, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“Dari Muhammad Ibn ‘Aṭā [diriwayatkan bahwa] ia [pada suatu waktu] duduk bersama beberapa orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian kami menyebut-nyebut shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, Abū Humaid as-Sāʻidī berkata, Aku orang yang paling hafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah shallallau ‘alaihi wasallam. Aku melihat beliau apabila bertakbiratul ihram, mengangkat tangan hingga setentang dengan pundaknya. Apabila rukuk beliau menempatkan kedua tangan di kedua lututnya, kemudian meluruskan punggungnya. Pada saat iktidal beliau mengangkat kepalanya sehingga seluruh ruas anggota tubuhnya kembali ke posisi semula. Ketika sujud, beliau meletakkan kedua tangan, tidak dibentangkan atau dirapatkan, dan ujung jari-jemari kaki dihadapkan ke arah kiblat. Ketika duduk pada rakaat kedua, beliau duduk terakhir, belum memasukkan kaki kirinya, menegakkan ujung kaki yang satunya dan duduk di lantai tempat shalat.”
Posisi Tangan Saat Iktidal
Ada dua hadis yang dirujuk oleh Majelis Tarjih dan Tajdid berkenaan dengan posisi tangan ketika iktidal. Berikut ini dikemukakan transkrip dan maknanya.
HR al-Bukhari
“Dari Abū Hurairah raḍiyallahu ‘anhu [diriwayatkan bahwa], Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda [kepada orang yang keliru mengerjakan shalat], Apabila kamu hendak shalat, bertakbirlah; lalu, bacalah beberapa ayat dari al-Qurʻan; lalu, rukuklah dengan tumakninah; terus bedirilah sampai tegak lurus; kemudian, sujudlah dengan tumakninah; kemudian, dudulah dengan tumakninah, lalu, sujud lagi dengan tumakninah pula; kemudian lakukanlah seperti itu dalam samua shalatmu.”
HR Ahmad
“Dari Wa’il Ibn Hujr [diriwayatkan bahwa], ia berkta, Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya ketika bertakbir, ketika rukuk, dan ketika mengucap, Sami’allahu liman ḥamidah, dan aku melihat tangan kanan beliau memegang tangan kirinya di dalam shalat (bersedekap). Ketika beliau duduk (at-taḥiyāt), beliau melingkarkan jari tengahnya dengan ibu jari dan berisyarat dengan menjulurkan jari telunjuknya, dan beliau meletakkan tangan kanannya pada paha yang kanan dan meletakkan tangan kirinya pada paha yang kiri.”
Berkenaan dengan hadis tersebut, di dalam HPT 3 (hlm. 563) dijelaskan bahwa di dalam hadis tersebut, Wa’il Ibn Hujr menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersedekap di dalam shalat. Dia tidak menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersedekap ketika iktidal.
Pada halaman itu dijelaskan juga bahwa kalimat wa ra ‘aitahu mumsikan yamīnahu ‘alā syimālihi (dan aku melihat tangan kanan beliau memegang tangan kirinya) menggunakan kata sambung wa (dan), tidak menggunakan kata sambung ṡumma (kemudian). Hal ini berarti bahwa bersedekap itu tidak dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah mengucapkan sami’allahu liman ḥamidah. Oleh karena itu, kalimat tersebut bersifat umum, yakni menunjukkan bersedekap di dalam shalat secara umum.
Hadis tersebut tidak dapat dipahami bawah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersedekap ketika iktidal, tetapi dipahami bahwa beliau bersedekap setelah takbiratul ihram sampai sebelum rukuk. Hadis itu tidak dapat dipahami juga bahwa beliau tidak bersedekap ketika membaca al-Fatihah dan surat dari al-Qur’an dengan alasan penyebutan bersedekap itu sesudah penyebutan rukuk, sedangkan sebelum menyebutkan rukuk malah tidak disebutkan tentang bersedekap.
Adapun tempat bersedekap dijelaskan secara khusus, yakni sesudah takbiratul ihram dan berdiri dari sujud sebagaimana dijelaskan di dalam hadis, yang transkrip dan maknanya telah dikutip pada Shalat untuk Mennjemput Rahmat (4). Pada rakaat kedua dan ketiga dilakukan hal yang sama sesuai dengan hadis al-Bukhari dan Muslim yang berisi perintah melakukan hal yang sama pada rakaat berikutnya seperti pada rakaat pertama.
Oleh karena itu, bersedekap dalam hadis Wa’il sebagaimana telah dikutip transkrip dan maknanya diartikan sedekap sebagaimana dimaksud hadis yang telah dikuktip pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (4) tersebut. Perlu ditegaskan bahwa posisi tangan pada iktidal tidak bersedekap.
Macam-Macam Bacaan Doa Iktidal
Di dalam HPT 3 (hlm.564) disebutkan macam-macam doa iktidal dan dasarnya atau dalilnya.
Rabbanā wa lakal-ḥamd atau rabbanā lakal hamd
Doa tersebut didasarkan HR al-Bukhari, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
˝Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, maka apabila ia bertakbir, bertakbirlah kamu; apabila ia rukuk, rukuklah kamu; apabila ia bangkit dari rukuk, bangkitlah kamu dari rukuk, dan apabila ia mengucapkan, Sami’allahu liman ḥamidah, ucapkanlah, Rabbanā wa lakal-ḥamd.”
Menurut versi riwayat Abū Hurairah, yang juga dibawakan oleh al-Bukhari, doa tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“… dan apabila imam mengucapkan, Sami’allahu liman ḥamidah, ucapkanlah, rabbanā lakal hamd (Ya, Allah, Tuhan kami, bagi-Mulah segala pujian)….”
atau
Allahumma rabbanā wa lakal-hamd atau Allahumma rabbanā lakal-hamd
Doa tersebut didasarkan HR al-Bukhari, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“Dari Abū Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata, Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mengucapkan, Sami’allahu liman ḥamidah, beliau melanjutkannya dengan ucapan, Allahumma rabbanā wa lakal-hamd.” (Ya, Allah, ya, Tuhan kami, dan bagi-Mulah segala pujian)
Doa Allahumma rabbanā lakal-hamd adalah versi Abū Hurairah. Di dalam doa tersebut tidak ada wa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang dijelaskan di dalam HR al-Bukhari, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“Apabila imam mengucapkan, Sami’allahu liman ḥamidah, ucapkanlah Allahumma rabbanā lakal-hamd.”
atau
Rabbanā wa lakal-hamd hamdan țayyiban kaŝīran mubārakan fīh
Doa tersebut didasarkan HR al-Bukhari, yang transkrip dan maknanya sebagai berrikut.
“Dari Rifā’ah Ibn Rāfi’ az-Zaraqī (diriwayatkan bahwa) ia berkata, Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tatkala beliau bangkit dari rukuk, beliau mengucapkan, Sami’allahu liman ḥamidah (Allah mendengar orang yang memujinya). Kemudian, ada seorang laki-laki di belakang beliau yang membaca, Rabbanā lakal-hamd haamdan kaŝīran țayyiban mubārakan fīh (Ya, Allah, ya, Tuhan kami, bagi-Mulah segala pujian yang banyak, yang baik, dan yang ada barakah di dalamnya), maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai mengerjakan shalat beliau bertanya, Siapa yang tadi membaca doa ….? Seorang laki-laki menjawab, Saya! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, Saya melihat tiga puluhan malaikat tergopoh-gopoh untuk segera menjadi penulis yang pertama.”
atau
Allahumma rabbanā lakal-hamdu mil as-samāwāti wa mil al-arḍi wa mil-‘u mā syi’ta min syai’in baʻdu
Doa tersebut didasarkan HR al-Bukhari yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“Dari Ibn Abī ‘Aufa (diriwayatkan bahwa) ia berkata, Rasulullah shallallau ‘alaihi wasallam apabila bangkit dari rukuk, beliau mengucapkan Samiʻallahu liman ḥamidah, Allahumma rabbanā lakal-hamdu mil ‘as-samāwāti wa mil’a-arḍi wa mil‘a mā syi’ta min syai’ in baʻdu (Ya, Allah, ya, Tuhan kami. Bagi-Mulah segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi serta sepenuh segala sesuatu yang Engkau kehendaki sesudah itu.)”
Waktu Membaca Doa Iktidal
Di dalam pengamalan membaca doa iktidal, sekurang-kurangnya ada tiga pemahaman, yakni (1) sebelum mengangkat kedua tangan (jadi, membaca doa lebih dulu, baru mengangkat kedua tangan), (2) bersamaan waktunya dengan mengangkat kedua tangan, dan (3) setelah sikap tubuh iktidal sempurna (yakni setelah kedua tangan lurus ke bawah atau menggantung). Sikap yang ketiga kiranya yang sesuai dengan kaifiat iktidal.
Allahu a’lam
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota
Nif’an Nazudi, Dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo