Syari’ah dan Prinsip-Prinsip Ma’ruf
Oleh: Donny Syofyan
Syariah bekerja dengan prinsip اَلضَّرَرُ يُزَالُ (bahaya itu harus dihilangkan), (mengangkat kesulitan (رفع الحرج [raf`ul haraj] dan المشقة تجلب التيسير [al musyaqqatu tajlibut taysir] (kesulitan mendatangkan kemudahan). Dalam sejarah, para mufti dan hakim di kawasan Muslim berupaya keras menghapus kesulitan dari diikuti masyarakat, seberapa jauh syariah mengakomodasi kebiasaan masyarakat. Islam tak mau pemeluknya jatuh pada kesulitan. Kita tak mau Muslim dibenci masyarakat. Bagaimana kita memahami syariah mengakomodasi `urf.
Pertama, hal yang paling sederhana adalah tinggalkan pandangan utama atau populer (masyhûr [مشهور]) untuk beralih kepada pandangan lain yang sesuai dengan `urf. Orang mengatakan bahwa Imam Syafi’i mengatakan begini, Imam Hanafi berkata begitu, Imam Hambali berpendapat begini, atau Imam Malik berpendapat begitu.
Pendapat atau percakapan seperti itu tidak utuh sebab Imam Syafi’i tidak hanya mengatakan satu hal, Imam Malik tidak berpendapat tunggal saja. Dalam semua madzhab, nyaris untuk setiap masalah lebih dari satu pendapat. Dalam hal itu, hukum Islam layaknya hukum yang berlaku di negara federal, seperti US atau Aussie, tergantung wilayah yurisdiksi mana yang kita pakai, negara bagian mana kita berdomisili. Aturan hukum di Boston berbeda dengan di Delaware atau Maryland.
Ada keragaman dalam tradisi hukum Islam. Kenapa? Sebab para ulama berupaya melihat Al-Qur’an dan hadits, bagaimana hadits berinteraksi dengan Al-Qur’an. Mereka berbeda pendapat mana hadits yang sahih dan mana yang tidak sahih, mereka berlainan pandangan mana ayat Al-Quran yang berperan sebagai aturan umum dan mana yang hanya aturan khusus, mana hadits yang dibatalkan oleh hadits lain. Begitu banyak tangga atau langkah untuk melakukan penafsiran. Ada banyak kebhinekaan.
Para ulama selalu mengatakan, “ikhtilâfu ummatî rahmah. Dalam konteks hukum Islam, pernyataan ini bermakna bahwa syariah dapat mengakomodasi `urf dalam banyak situasi, pada pelbagai waktu. Kita boleh meninggalkan pendapat utama—madzhab Maliki menyebutnya masyhûr, madzhab Hanafi menamainya zhâhir riwâyah, atau madzhab Syafi`i menyebutnya mu`tamad—dan memilih pendapat lainnya dengan catatan apabila itu berkorelasi linear dengan `urf.
Contoh yang ditemukan baik di masa klasik atau kontemporer adalah cadar. Apakah laki-laki Muslim melihat wajah wanita Muslimah? Lagi-lagi jawabannya tergantung ruang dan waktu. Di US dan Eropa orang melihat wajah, di Indonesia orang menatap wajah. Tapi di Timur Tengah bagaimana? Timteng juga beragam. Kalau kita hidup di Bukhara pada tahun 1000-an M, terutama kalau kita orang kaya, laki-laki tak akan menatap wajah wanita yang tak ada hubungan kedekatan atau keluarga dengannya. Seorang suami tak mau membiarkan laki-laki menatap wajah istri dan putrinya.
Ini disebut istitsnâ’ (استثناء), sebuah prinsip dalam jual beli, artinya pengecualian. Ini amat penting apalagi kita sekarang sudah bakubang dengan penjualan daring. Tapi secara umum bermakna membuat segala sesuatu teratur. Prinsip utamanya adalah, “لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ (Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki) [HR. Ahmad, Nasai dan Abu Daud]. Kita tak bisa membeli sesuatu yang tak ada/eksis. Kita tak bisa membeli sesuatu yang kita tak miliki.
Taruhlah Anda memesan baju secara online, lalu membayarnya dengan kartu debit, transfer bank atau bahkan kartu kredit. Menurut prinsip umum, secara teknis ini haram karena barangnya tidak ada ada manifes. Tapi dalam masyarakat kita, ini adalah aktivitas yang sudah jamak. Maka bila saya tak mendapatkan baju sesuai keinginan saya, uang saya akan dikembalikan, bahkan perusahaan atau pembeli bisa saja memberikannya cuma-cuma buat saya. Ini berjalan di atas prinsip akuntabilitas utuh. Ini adalah bagian dari `urf. Ini bisa menjadi pengecualian bagi prinsip-prinsip umum— Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki.
Rasulullah juga membuat pengecualian, sebagaimana dalam konsep بيع العرايا (bay’al `arâyâ). Kamu saya seorang petani yang betul-betul miskin, saya boleh menjual buah dari pohon sungguhpun belum masak. Ini tak normal sebab kita tak boleh menjual sesuatu yang belum ada. Alasannya saya tak punya uang hingga buahnya masak, saya tak bisa memberi makan keluarga saya hingga buahnya masak. Jadi saya boleh menjualnya untuk keberlangsungan hidup. Para ulama tidak akan membuat pengecualian terhadap aturan-aturan umum hingga Rasulullah membuat pengecualian. Artinya Nabi membuka pintu, menciptakan preseden.
Kedua, mengambil pendapat di luar madzhab.`Urf bermakna ulama bisa keluar dari madzhab yang dianutnya. Kalau kita mengunjungi Afrika Utara, semuanya menganut madzhab Maliki, di Asteng kebanyakan Syaf’i, di Turki atau daerah Balkan semuanya Hanafi. Banyak masalah besar muncul jika ada sekelompok umat Islam yang menabrak madzhab yang mapan di suatu daerah.
Di era imperium Arab, banyak istri ditinggalkan suami dalam waktu yang tak jelas, semisal pergi berdagang lewat pelayaran ke berbagai negeri. Kerap kali mereka bingung apakah harus menunggu, kalau ya sampai kapan. Apakah ia boleh menikah lagi? Lalu apakah ia boleh mengambil harta warisan dari suaminya yang pergi itu? Masa itu, yang mayoritas mengikuti madzhab Hanafi, seorang istri tak boleh menikah hingga terbukti bahwa suaminya betul-betul meninggal. Namun para hakim dan ulama justru memilih pendapat madzhab Syafi`i yang membatasi waktu empat (4) tahun masa tunggu buat istri, sebelum menikah lagi.
Jika Anda pergi ke negara-negara seperti Pakistan, Yordania, Mesir atau banyak negara-negara Muslim, kita akan menemukan aturan hukum Islam bahwa warisan itu seperti sungai yang mengalir ke orang. Jadi ayah meninggal, maka warisan mengalir ke anak. Tapi bagaimana bila, misalnya, ayahnya saya wafat dan saya juga meninggal sementara saya punya dua orang anak (yatim). Mayoritas madzhab memegang prinsip sungai tadi bahwa warisan hanya buat anak. Cucu tak dapat jatah warisan kakek karena ayah juga sudah tidak ada. Pengecualian diberikan oleh madzhab Hambali bahwa cucu harus diberikan sejumlah warisan, walau bukan semuanya. Pandangan ini menjadi pilihan meskipun di wilayah yang sama sekali tidak menerapkan pandangan-pandangan Hanbali.
Ketiga, Anda bisa mengambil pilihan keluar dari empat madzhab Sunni yang popular. Ini sangat jarang terjadi di era klasik Islam. Tokoh yang paling banyak melakukan ini adalah Ibnu Taymiyyah (w. 1328). Ia seorang ulama terkenal dari Damaskus, pengikut madzhab Hambali tapi sangat kreatif. Hematnya, pesan Islam terbaik adalah pendapat para sahabat dan generasi awal salih (salâfus shâlih)
Pendapatnya tentang bepergian (travel/safar). Dalam empat madzhab Sunni ada batas waktu atau seberapa lama seseorang dianggap melakukan perjalanan. Menurut madzhab Hambali, katakanlah saya datang dari Padang ke Washington, bila saya berada di Washington lebih dari 21 kali shalat, maka saya bukan lagi musafir (orang yang mengadakan perjalanan). Artinya saya tak boleh melakukan jamak dan qashar. Sementara Ibnu Taymiyyah berbeda. Ia mengutip pendapat Ibnu `Abbâs, salah seorang sahabat Rasulullah, yang menyatakan bahkan seseorang dianggap melakukan safar sepanjang ia merasa melakukan safar.
Ibnu Taymiyyah memulangkan kepada pribadi bersangkutan sepanjang ia merasa melakukan perjalanan. Katakanlah saya di Washington selama lima hari. Setiap hari saya mengadakan meeting di tempat yang berbeda dan nyaris dari pagi hingga sore atau bahkan malam. Terlepas dari pandangan madzhab Hambali tentang batasan waktu safar, tapi saya merasa bahwa saya musafir dengan kesibukan tersebut. Ibnu Taymiyyah keluar dari pandangan utama 4 madzhab dan memilih pendapat sahabat Rasulullah, yakni Ibnu `Abbâs.
Terkait dengan perceraian, menurut madzhab yang empat bila seorang suami mengatakan, “Aku ceraikan kamu, aku ceraikan kamu, aku ceraikan kamu” dalam satu pernyataan, maka talak sah berlaku. Tapi Ibnu Taymiyyah menolak pandangan ini. Ia berpendapat bahwa talak tiga itu diucapkan tiga kali dalam waktu yang berbeda selama tiga bulan. Ia memegang pendapat Ibnu `Abbâs. Contoh lain yang menarik dan kontroversial adalah jabatan tangan antara laki-laki dan perempuan. Semua ulama madzhab mengharamkannya. Tapi almarhum Syekh Yusuf al-Qaradhawi sebagai ketua The European Council for Fatwa and Research (ECFR) berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan boleh berjabatan tangan sepanjang tak ada risiko fitnah. Artinya, al-Qaradhawi keluar dari pendapat seluruh madzhab.