Banyak Peran, Banyak Cercaan
Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Anda seorang aktivis? Aktivis Ormas Islam yang dituntut untuk selalu tulus ikhlas karena Allah? Apakah Anda juga memiliki banyak peran di dalamnya? Sementara itu, Anda sendiri tidak pernah menerima honor dan gaji dari ormas tersebut? Menariknya, Anda sering dicerca, disalahkan atau dicemooh oleh teman sendiri yang (hanya) jadi penonton?
Ratusan pertanyaan akan muncul manakala kita merenungkan tentang makna terdalam sebagai seorang aktifis di oraganisasi seperti Muhammadiyah. Renungan ringan semacam ini bukan hanya akan menjadi pelecut seseorang untuk tetap aktif dan berperan lebih banyak, tetapi juga akan menjadi jebakan bagi diri sendiri dan akhirnya “muthung” alias mundur teratur. Capek, katanya.
Bermuhammadiyah itu jika dipikirkan dengan serius, maka akan muncul seribu macam masalah yang harus diselesaikan. Tetapi, jika dibuat santuy dan dianggap tidak ada masalah apa-apa, maka yang akan terjadi juga santai-santai ada. Tidak ada apa-apa dan tidak akan ada kegiatan apa-apa. Apalagi kalau cara berfikirnya, “Ah, biarkan saja.” Kata anggota pimpinan harian, “Kan ada ketuanya yang ngatur semuanya.” Kata Ketua Majelisnya, “Kan ada Koordinator Majelis dan pimpinan harian.” Dan begitu seterusnya.
Anda yang aktifis juga akan dibisiki setan yang terkutuk dan dimuculkan dilema. Bagaimana tidak, ikut Muhammadiyah “harus” mengeluarkan uang, dana. Infak tidak ada putusnya. Belum selesai membangun satu Amal Usaha, sudah mau membangun yang baru. Urunan lagi. Sudah begitu tenaga terkuras.
Sementara itu, tidak ada jaminan ikut bermuhamamdiyah itu bisa kaya dan tercukupi secara ekonomi. Makan dan nafkah keluarga harus cari sendiri, tidak dari Muhammadiyah. Mau mengadakan kegiatan saja harus ururnan. Mau bakti social, urunan lagi. Mau rapat koordinasi ke wilayah, urunan lagi. Mau ngadakan kegiatan, urunan lagi.
Menariknya, yang kerja dan mendapat pendapatan dari Amal Usaha Muhammadiyah justru tidak aktif kegiatan bermuhamamdiyah. Pengajian saja tidak. Mereka lumayan sudah mau mengintip. Kadangkala, sudah tidak mau ikut dan bisanya hanya menyalahkan. Kalau ada yang kurang dan salah dirasani tidak ada habisnya. Apa tidak sakit? Sakitnya itu di sini, di hati. hehe
Anda akan menjadi sakit hati, jika anda tidak kuat dengan niat awalnya. Kalau niatnya benar-benar lillahi ta’ala, persetan dengan omongan mereka. Jalani dengan nyaman, senyaman duduk-duduk di taman surganya Allah. Dikerjakan dengan tenang, setenang para malaikat mendampingi kita di alam kubur. Dilaksanakan dengan gembira dan penuh senyum manis, semanis senyumnya pada bidadari dan bidadara di surge. Sedikit saja bergeser dari channel Allah, Anda akan sakit hati lagi. Kuncinya, ya harus tetap turn di gelombang ridha Allah.
Begitulah, menjadi aktifis itu harus siap dicerca, dicaci dan dipersalahkan. Jangan terlalu siap untuk dipuji. Dipuji kadang tidak lebih sakit hati dari dicaci, kalau yang mencaci dan memuji masih sama-sama manusia. Di lain waktu, semakin banyak peran yang akan Anda mainkan, maka harus semakin kuat hati untuk menerima cercaan. Bagi Anda yang tidak ada peran dan pekerjaan, maka Anda tidak akan ada yang hendak dicaci dan dicercakan.
Ibarat sebuah penonton sepak bola, para pemainnya tidak sempat membalas komentar karena sibuk bekerja membangun kekuatan dan prestasi. Sementara itu, pada komentator dan penonton berkomentar tidak ada selesainya. Dulu, David Beckam dan Zidane sama-sama pernah membuat pelanggaran fatal yang mengakibatkan keduanya kerta kartu merah. Tim yang dibela oleh keduanya pun kalah. Cercaan dan makian pun muncul setelah itu. Anehnya, setelah ajang bola terbesar itu, karir keduanya tidak tenggelam tapi malah moncer. Menjadi pemain termahal dunia dan menjadi rebutan klub-klub kelas atas dunia.
Akhirnya, jadi kader itu berat bro..!! Bukan “Kalau kuat ya dijalani, kalau tidak kuat ditinggal ngopi.” Tapi, “Kuat ndak kuat harus dijalani. Ridha Allah telah menanti.” Baru itu namanya kader. Nasrun minallah fa fathun qarib.
Bahrus Surur-Iyunk, Wakil Ketua PDM Sumenep