Ayat-Ayat Setan
Oleh: Donny Syofyan
Bagi penikmat sastra, Anda tentu pernah mendengar bahkan membaca Ayat-Ayat Setan, sebuah novel yang ditulis oleh Salman Rushdie pada tahun 1988. Karya ini tak pelak mencetuskan banyak kemarahan dan kehebohan di seluruh dunia Muslim. Bahkan pemimpin Iran kala itu, Ayatollah Ruhollah Khomeini, mengeluarkan fatwa yang menyerukan hukuman mati bagi Salman Rushdie pada 1989. Menjadi pertanyaan, dari mana istilah itu berasal?
Apa yang dimaksud dengan “ayat-ayat setan”? Istilah “ayat-ayat setan” digunakan dalam literatur akademik modern untuk merujuk pada beberapa ayat dari Al-Quran yang menurut beberapa riwayat pernah dibacakan oleh Nabi Muhammad SAW, yakni surah An Najm ayat 19-21, “Maka apakah patut kamu (orang-orang musyrik) menganggap (berhala) Al-Lata dan Al-‘Uzza; dan Manat, yang ketiga (yang) kemudian (sebagai anak perempuan Allah),”; Apakah (pantas) untuk kamu yang laki-laki dan untuk-Nya yang perempuan?; Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.
Di sini menurut Al-Quran, Allah menggunakan prasangka mereka (orang-orang musyrik) sendiri untuk melawan mereka. Mereka mengandaikan bahwa anak laki-laki lebih baik daripada perempuan, yang sebenarnya ini bukanlah cara berpikir Al-Quran. Namun Al-Quran pada dasarnya mengatakan bahwa karena kamu berpikir seperti itu bahwa anak laki-laki lebih baik, mengapa kamu ingin mensifatkan anak perempuan kepada Tuhan dan kamu menginginkan anak-anak laki-laki untuk dirimu sendiri? Jadi itu tidak adil.
Terkait dengan ayat-ayat setan, ceritanya adalah bahwa ketika Rasulullah membaca وَمَنٰوةَ الثَّالِثَةَ الۡاُخۡرٰى lalu setan menyelipkan dua kalimat berikut, تِلْكَ الْغَرَانِيْقُ الْعُلٰى. وَإِنَّ شَفَاعَتَهُنَّ لَتُرْتَجَى
(Ialah burung-burung bangau (para malaikat) yang mulia. Pertolongan mereka sungguh diharapkan). Jadi itulah yang dibacakan oleh Nabi Muhammad SAW. Kemudian kaum musyrik mendengar dan mereka bersujud karena mereka yakin bahwa Muhammad sekarang sudah mengompromikan ajaran tauhidnya yang selama ini sangat mengganggu kaum musyrik Quraisy. Muhammad dianggap sudah mempercayai dewi-dewi mereka sehingga mereka bersedia untuk beribadah bersamaan dengan orang-orang Muslim.
Hingga suatu ketika Malaikat Jibril turun menemui Nabi Muhammad SAW dan bertanya, “Bisakah engkau membacakan kepada saya apa yang kamu baca?” Lalu Rasulullah membacakan QS An-Najm ayat 19-21, termasuk bagian ayat memuji para dewi kaum Quraisy. Kemudian Jibril berkata, “Bagian itu bukan dari saya, tapi itu dari setan. Ia harus dihapus.” Dua ayat itu kemudian dipangkas dan apa yang kita baca sekarang tanpa dua ayat-ayat setan tersebut. Yang hadir tetaplah teks-teks monoteistik yang secara ketat mengkritik orang-orang yang meyakini bahwa Tuhan memiliki anak perempuan.
Tentu saja ini menjadi kontroversial dan aneh, terutama dari sudut pandang non-Muslim, sebab ini memperlihatkan bahwa Muhammad tidak dapat membedakan antara apa yang datang dari setan dan apa yang diturunkan oleh Tuhan. Kaum muslimin meragukan kebenaran cerita ini karena tidak ada referensi dari Al-Quran. Juga tidak disebutkan oleh Ibn Ishaq dalam catatan yang paling awal dan paling terpercaya mengenai kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Bahkan juga tidak tercantum dalam kumpulan hadits Bukhari dan Muslim. Bagaimanapun juga, ada yang membela dan ada pula yang mengkritik riwayat ini. Bagi yang membela cerita itu sebagai kejadian otentik berdalih, “Itu memang terjadi, tetapi pada akhirnya Nabi bisa membedakan. Apa yang beliau berikan pada kita pada akhirnya murni dari Tuhan dan tidak ada lagi ayat-ayat setan di sana.
Para sarjana Muslim yang membenarkan peristiwa ini mengutip QS Al Hajj ayat 52 yang juga menyinggung kejadian ini, “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul dan tidak (pula) seorang nabi sebelum engkau (Muhammad), mela-inkan apabila dia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan ke dalam pembacaannya itu. Tetapi Allah menghilangkan apa yang dimasukkan setan itu, dan Allah akan menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”
Para orientalis melihat dan mengatakan bahwa hal ini benar adanya karena mustahil umat Islam menciptakannya. Untuk apa kaum Muslim menciptakan ayat yang akan membuat malu Nabi Muhammad SAW? Seorang orientalis bernama John Burton, Profesor Studi Islam di Universitas Edinburgh, menulis sebuah artikel jurnal berjudul, Those Are The High Flying Cranes (Bangau-Bangau yang Terbang Tinggi). Ia menjelaskan kenapa umat Islam memunculkan cerita ini. Salah satu alasannya bahwa umat Islam ingin menjelaskan hal-hal yang tampak tidak jelas dalam Al-Quran.
Misalnya pada QS Al Hajj ayat 52 berbunyi, “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul dan tidak (pula) seorang nabi sebelum engkau (Muhammad), melainkan apabila dia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan ke dalam pembacaannya itu….”. Dalam bahasa Arab, kata ‘umniyyah’ bisa berarti ‘pembacaan’ atau ‘keinginan,’ tetapi para sarjana Muslim menganggap arti pembacaan lebih tepat secara kontekstual. Jadi ada cerita kapan setan melakukannya, layaknya peristiwa turunnya wahyu.
Alasan kedua, menurut John Burton, relatif lebih rumit. Burton menunjukkan bahwa para sarjana Muslim memahami apa yang disebut teks (nash) yang dihapus (mansukh). Ada beberapa ayat yang pernah ada dalam Al–Quran tetapi tidak lagi ada. Kisah ini mendukung pendapat nasikh dan mansukh. Bagi Burton, alasan kedua ini lebih rumit, kompleks dan susah dipertahankan. Bagaimana mungkin Nabi Muhammad SAW mendakwahkan tauhid, kemudian menegosiasikannya dan akhirnya kembali lagi ke tauhid? Wallâhu a`lam.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas