JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Memasuki usia Reformasi 1998 yang berjalan selama seperempat abad, Indonesia belum mampu mewujudkan keadilan sebagaimana layaknya sebuah negara hukum. Sistem peraturan dan perundang-undangan maupun sistem kelembagaan sosial politik di negeri ini belum terbebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) maupun pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sejak kepresidenan Bacharuddin Jusuf Habibie hingga Joko Widodo, upaya untuk menegakkan supremasi hukum, HAM, dan memberantas KKN terus menerus membentur tembok-tembok kekuasaan itu sendiri.
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah menilai Reformasi Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan jauh dari kata tuntas. Menurunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang diterbitkan Transparancy International; Indeks Kebebasan Sipil Indonesia dalam status “negara yang separuh bebas” yang dicatat Freedom House; hingga penilaian Economist Intelligence Unit (EIU) yang masih menempatkan negara ini dengan kualifikasi demokrasi yang cacat (flawed democracy) adalah sejumlah catatan dari berbagai lembaga yang menggambarkan Indonesia belum berdiri setara dengan negara-negara dengan kualitas sistem politik dan ekonomi yang maju.
Atas kondisi tersebut sekaligus dalam rangka memeringati momentum seperempat abad reformasi, LHKP PP Muhammadiyah menggelar diskusi publik bertema “25 Tahun Reformasi: Tantangan Mewujudkan Keadilan Negara Hukum” pada Senin, (22/5) di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta dan secara daring. Hadir sebagai narasumber Dr. Busyro Muqoddas, SH., MH., (Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum & HAM), Khoirunnisa (Direktur Eksekutif PERLUDEM), Dr. Bambang Widjojanto, SH. (Mantan Ketua YLBHI 1998), Prof. R. Siti Zuhro, MA, Ph.D. (Badan Riset dan Inovasi Nasional, BRIN), dan Usman Hamid, M.Phil. (Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia) dengan moderator Edwin Elnizar, jurnalis Hukumonline.com dan pengurus LHKP.
Mengawali diskusi, Busyro Muqoddas menjelaskan bahwa gerakan reformasi 1998 berhasil menjebol kekuasaan Orde Baru yang bercorak otoritarian. Sebuah kepemimpinan anti-demokrasi, anti-HAM, dan anti-penegakan hukum yang mengooptasi lembaga hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Polisi sehingga sangat diskriminatif dan tidak berkeadaban. Gerakan reformasi dibangun oleh aliansi masyarakat sipil yang secara kritis dan konstruktif melawan rezim. “Kita sebagai masyarakat sipil terus menjalin sinergitas untuk membangun gerakan keadaban,” ujar Busyro.
Ketika reformasi telah berhasil melahirkan demokratisasi, lembaga demokrasi yang ada justru melakukan langkah-langkah yang melemahkan demokrasi dengan menerbitkan sejumlah peraturan seperti UU ITE, Minerba, Cipta Kerja, revisi UU KUHP, revisi UU KPK, hingga UU Kesehatan. Masyarakat sipil, lanjut Busyro, bisa menjadi gerakan check and balance terhadap situasi kebangsaan ini.
Meski demikian, terjadi upaya-upaya yang dilakukan penguasa untuk mengintervensi fungsi kontrol masyarakat sipil. Ada pemadaman kampus, pemadaman aktivis dengan proyek-proyek, jabatan-jabatan misalnya komisaris dan lain sebagainya. “Kalangan dosen disibukkan dengan momok rezim administrasi. Dosen-dosen dan fakultas-fakultas nyaris tidak ada kepedulian dan kepekaan untuk urusan kemanusiaan, keadilan politik, hukum, keadilan ekonomi, dan seterusnya,” ujarnya.
Selain itu, Busyro menyebut ada isu-isu yang dikembangkan di masyarakat seperti isu pluralisme dan radikalisme. Isu-isu tersebut disebut Busyro sebagai kamuflase untuk melakukan pembelahan dan pemecahan disorientasi dari persoalan-persoalan sesungguhnya, yaitu korupsi yang sistemik.
Situasi yang memprihatinkan ini menjadikan masyarakat tidak terdidik dan hanya menjadi objek politik lima tahunan para elite. “Bukan hanya seperti pepatah habis manis sepah dibuang, tapi diremuk-remuk haknya. Termasuk hak masyarakat untuk memilih dan dipilihkan secara fair pemimpin-pemimpin tingkat daerah sampai nasional yang betul-betul terukur track record kejujurannya, kecerdasannya, dan leadership-nya,” jelas Busyro.
Senada dengan pendapat Busyro, Siti Zuhro berpandangan bahwa negara saat ini telah menjadikan semua hal sebagai komoditas politik. Konflik antarelite terus berlangsung, baik saat pemilu ataupun tidak. “Jangan sampai terjadi huru-hara karena akumulasi dari kekecewaan publik,” ujarnya.
Zuhro melanjutkan, salah satu amanat reformasi adalah desentralisasi dan otonomi daerah. Praktik desentralisasi dan otonomi daerah seharusnya berujung pada pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat serta penciptaan keadilan. Namun dalam praktiknya, desentralisasi daerah yang bertujuan membentuk klaster ekonomi baru justru belum terwujud. “Bagaimana terwujud, kepala daerah disibukkan dengan politik praktis. Kalau sudah satu periode, mikir dua periode. Setelah dua periode, keluarganya (disiapkan) untuk menjadi pemimpin juga. Maka dinasti politik yang berbicara,” jelas Zuhro.
Bambang Widjojanto menyebut bahwa hulu dari berbagai persoalan demokrasi adalah di partai politik. “Cek apakah proses internal demokratisasi di partai politik berjalan atau tidak,” tegasnya. Kalau itu tidak terjadi, bagaimana kemudian proses demokrasi itu dijalankan di luar. Bambang juga menyoroti persoalan keyangan partai politik yang tidak akuntabel.
Sejalan dengan pendapat Bambang, Khairunnisa Nur Agustyati menjelaskan bahwa Undang-undang Partai Politik belum pernah direvisi sejak 2011. Banyak pihak mendorong perbaikan, namun belum ada keinginan memasukkannya sebagai program legislasi nasional.
Berkaitan dengan demokratisasi di partai politik, di dalam UUPemilu disebutkan jika seseorang ingin dicalonkan, ia harus sesuai dengan prinsip demokrasi dan terbuka. Namun sayangnya tingkat demokratis dan terbuka itu dikembalikan lagi kepada masing-masing AD-ART. Ujungnya, partai akan kembali pada politik kekerabatan dan popularitas demi meraih suara. “Tidak ada indikator bagaimana seseorang dicalonkan sebagai calon pejabat publik melalui partai politik,” ungkapnya.
Perkara pengusungan calon pejabat publik yang berkualitas juga terbentur dengan pengabaian atas integritas calon. Seperti dapatnya mantan terpidana dicalonkan tanpa menunggu lima tahun dan tidak adanya syarat pelaporan LHKPN. “Ketika pemilu ingin berintegritas dengan semangat anti-korupsi, tapi justru peserta bahkan penyelenggara pemilu tidak menjalankan semangat anti korupsi dalam peraturan KPU mengenai pencalonan,” sesal Ninis.
Praktik kemunduran demokrasi juga dilihat oleh Usman Hamid. Ia menjelaskan bahwa pada awalnya reformasi memberikan optimisme kepada rakyat. “Optimisme itu terwujud dalam kepercayaan tertinggi kepada KPK yang berhasil menyeret begitu banyak pejabat publik ke penjara, baik dari sektor penegak hukum maupun dari sektor politik,” ujarnya.
Akan tetapi optimisme itu mulai meredup. Di usia 25 tahun reformasi, Indonesia mengalami kemunduran demokrasi yang ditandai dengan menyusutnya kebebasan sipil, melemahnya oposisi politik, dan dirongrongnya integritas sistem elektoral.
Kemunduran ini, lanjut Usman, sudah terlihat di era tahun-tahun akhir pemerintahan SBY pada 2013. Ada anggapan bahwa banyak proyek di daerah yang mangkrak karena pelaksana proyek takut kepada KPK. “KPK dianggap menghambat pembangunan, jadi itulah alasan KPK dilemahkan,” jelasnya.
Selanjutnya, meski pada mulanya Jokowi berhasil membangun citra sebagai pemimpin anti-korupsi, tetapi dalam pelaksanaannya terdapat ambivalensi sikap yang berakibat pada kegagalan pemberantasan korupsi. “Di satu sisi berganti memberantas korupsi, di sisi lain justru melemahkan lembaga anti korupsi,” ujar Usman.
Usman menambahkan, kemunduran demokrasi juga disebabkan oleh menguatnya neo developmentalisme kepresidenan Jokowi. Yaitu kebijakan yang mengutamakan pembangunan tapi menyingkirkan pentingnya HAM, pentingnya lingkungan hidup, dan pentingnya pemberantasan korupsi. ”Inilah sebabnya berbagai kebijakan pembangunan dan proyek strategis nasional justru ditolak oleh masyarakat,” tegasnya. (david/riz)