Capaian Hidup
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi
Saya harus bersyukur telah mampu melewati fase quarter life crisis, alias krisis seperempat abad dengan biasa-biasa saja. Itu adalah fase, ketika seseorang memasuki usia 18 hingga 30 tahun. Pada masa itu, umumnya seseorang akan merasa khawatir, bingung, tidak memiliki arah, karena ketidakpastian dalam kelanjutan hidupnya.
Pada usia itu, saya pernah memiliki cita-cita tinggi, usaha penuh kesungguhan. Hasilnya ? jauh panggang dari api. Tetapi saya mensyukurinya saat ini. Bersyukur, karena takdir yang telah berhasil saya jalani, ternyata jauh lebih baik.
Meskipun begitu, saya mesti terus belajar agar mampu menjalani fase selanjutnya, yaitu late life crisis, atau krisis jati diri di usia lanjut. Harapan yang sama, semoga saya bisa melaluinya dengan biasa-biasa saja. Untuk itu, saya perlu banyak belajar dan bercermin. Semoga mampu memetik hikmah dari kisah perjalanan hidup 3 orang yang saya kenali secara dekat dan baik. Kisah ketiganya menginspirasi, karena sarat makna. Berikut kisah mereka;
Kisah Pak Guru Abi
Setelah tamat kuliah srata 1 jurusan pendidikan Agama Islam di di IAIN Ciputat, Pak Guru Abi mengajar di sekolah Madrasah swasta di pinggiran Kota Tangerang Selatan. Hingga 2023, gaji paling tinggi yang diperolehnya sebesar Rp. 700.000/bulan.
Meski demikian, ia enggan disebut mengabdi. “Saya bekerja dengan professional lho. Mengajar sesuai jadwal, menguji, mengoreksi, memberi nilai, membimbing siswa/wi dan mengikuti semua aturan sekolah dengan tertib. Kalau mengabdi, saya tidak boleh menerima gaji. Saya menerimanya setiap bulan. Bahwa angkanya sebesar itu, karena kemampuan sekolah memang baru sebatas itu”. Ujarnya sambil senyum ramah sekali.
Angka 700 ribu mungkin kecil menurut kebanyakan orang. Tetapi itu cukup buat Pak Guru Abi. Buktinya, sejak 1994 hingga 2023, dia, istri dan 4 orang anaknya tidak pernah menderita busung lapar karena kekurangan gizi. Anak pertamanya sudah sarjana dan bekerja secara mandiri. Anak ke dua kuliah di Al-Azhar Cairo, anak ke 3 kuliah di UIN Ciputat dan ke 4 masih di Pondok Gontor. Tidak satupun dari mereka ada yang pernah menunggak uang pembayaran sekolah.
Untuk menghindari sakit, Pak Guru Abi membiasakan diri banyak berjalan kaki dan berpuasa daud semampunya. Tubuhnya kurus, banyak yang menduga dia sakit diabets. Padahal, kolesterol, gula darah, asam urat, tekanan darah tinggi menjauh dari tubuhnya.
Sebagai kepala rumah tangga, ia pun mampu meneduhkan anak-anak dan istrinya dalam rumah layak, aman dan nyaman untuk berteduh. Ada mobil yang biasa digunakan untuk menjenguk Ibunya di Condet. Ada sepeda motor untuk kebutuhan mengajar. Mobil dan motor itu hasil pemberian para mantan murid-muridnya yang berhasil diajari membaca huruf arab, hingga mampu mengaji secara mandiri. Meski sudah tua, ia tidak akan menjualnya. “Saya tidak akan memutus pahala para pensedekah”. Ujarnya.
Saya penasaran, bagaimana Pak Guru Abi membiayai kebutuhan keluarga, sementara istrinya bekerja di rumah. Jawabnya singkat; ”ya…dari penghasilan sebagai guru” Selain mengajar formal di sekolah, dia juga mengajar agama secara privat di beberapa rumah. Soal penghasilan bulanan, Pak Abi selalu diplomatis: ”saya tidak pernah menghitung penghasilan. Semua amplop dan transferan melalui rekening dikelola oleh istri. Fokus saya dan istri mengelola pengeluaran dan mengatur keinginan secara ketat, sehingga semua harus dirasa cukup”.
Pak Abi menutup obrolan dengan nasehat sederahan: “ketika kita menemui kesusahan, biasanya itu tidak datang dari orang lain. Mungkin, karena kita tidak pandai mengelola keinginan, sehingga merusak keseimbangan. Contoh, rezeki saya ya cukup menggunakan mobil tua ini, kalau memaksakan diri nyicil mobil baru, kan jadi nyusahin”. Katanya sambil senyum
Kisah Mbak Markonah
“Nama saya Markonah ketika masih abangan kejawen. Setelah aktif di AISYIYAH, kawan-kawan memberi nama tambahan menjadi Hidayatul Markonah. Saya manut saja…”. Demikian saya mengawali obrolan.
Mbak Konah, seorang penjual jamu dan tukang pijat khusus perempuan untuk relaksasi. Posturnya tinggi, kulitnya kuning langsat, hidungnya cukup mancung untuk ukuran orang Jawa. Badanya tegap dan langkahnya cepat saat berjalan. Setiap hari ia bisa berjalan beberapa kilometer sambil menggendong jamu. Itu pulalah yang membuat tubuhnya selalu stabil dan tidak berlemak. Sekarang kulitnya berubah agak cokelat, karena sering terbakar matahari dan nyaris tidak pernah ikut program perawatan kulit di Salon.
Dulu, Mbak Konah menikah di usia muda, menjelang 19 tahun. Ia tidak kuasa menolak lamaran laki-laki kakak tingkatnya di SMEA PGRI Ngawi. Kenangan indah saat ia sering dibonceng RX King, ingin tetap ia abadikan di hatinya. Pasangan yang memiliki dua orang anak ini hidup dalam keprihatinan. Kebiasaan main motor sang suami tidak pernah berubah. Ia gemar ikut balapan liar. Mengejar uang taruhan dari hasil balapan liar, adalah pendapatan utamannya.
Merantau ke Hongkong menjadi pilihan pahit. Kebutuhan rumah tangganya tidak tercukupi oleh uang hasil dari taruhan balapan liar. Di Negeri para taipan ini, tugas Mbak Konah adalah mengurus manula. Ia berkenalan dengan Mbak Elya, seorang pendamping para Pekerja Migran Indonesia di Hongkong. Mbak Elya menyarakankan agar ia ikut kursus memijat khusus untuk relaksasi. Ternyata, Mbak Konah berbakat sekali. Pijatannya sangat disukai para Manula di lingkungan apartemen. Tidak heran jika banyak manula yang harus mengantri untuk bisa menikmati pijatan relaksasinya.
Uang tips hasil dari kerja sambilan selama di Hongkong ia kumpulkan dengan cermat. Sesekali dikirim ke kampung untuk kebutuhan makan dan sekolah anak melalui rekening suami. Apes, uang jutaan rupiah yang dikirimkan itu nyaris tidak pernah sampai ke anak-anaknya. Sang suami merasa semakin keenakan. Dia menggunakan uang itu untuk senang-senang memenuhi kecanduannya ikut judi balapan liar. Hidayatul Markonah pulang dengan langkah tegap. Dia menggugat cerai suami dan siap merantau ke kota lain, untuk memulai kehidupan baru, tanpa suami.
Di Ciputat, Mbak Konah memulai hidupnya dengan berjualan jamu gendong keliling. Selepas jualan, pada sore hingga malam, ia akan melayani jasa pijat bagi ibu-ibu yang ingin relaksasi. Pijatannya selalu dirindukan banyak orang. Soal penghasilan, dia punya rumus jitu yang diyakini: “jangan menghitung berapa rupiah yang diperoleh pedagang dan penjual jasa seperti saya Mas. Penghasilan dan kenikmatan yang saya terima banyak sekali. Tidak akan setara dengan uang”.
Begitupun saat ditanya soal bagaimana ia mendidik kedua anaknya yang berhasil menjadi Apoteker dan guru Bahasa Inggris. Dia akan menjawab;
“Selama kaki dan tangan kita mau bergerak, rezeki ALLAH akan rontok satu persatu dari langit. Berapapun yang berhasil kita pungut, harus dirasa cukup. Jika hanya mengikuti keinginan walaaah…batasnya langit. Sudah punya simpenan berlian sebesar gunung sekalipun, manusia masih merasa kekurangan”. Demikian guyonannya sambil memijat kaki, punggung hingga kepala pelanggannya.
Mbak Konah akan meneteskan air mata ketika bercerita tentang kedua anaknya. Ia merasa bersalah, karena tidak bisa mendampingi mereka secara dekat, meskipun mampu mengantarkan mereka meraih sarjana dan bekerja secara mendiri. Anak-anak tumbuh dan berkembang tanpa andil Bapak-Ibunya.
Ketika saya bertanya mengapa ia masih tetap kerja, meski kedua anaknya sudah mandiri. Dia menjawab ”kerja itu hiburan yang menyenangkan Mas. Hasilnya, bisa untuk untuk amal kebaikan dan bermanfaat bagi orang lain”. Tawannya renyah dengan gigi mirip biji ketimun yang putih dan rapi.
Kisah Om Hans dan Tante Ana
Setelah tamat kuliah dari Sekolah Tinggi Kedinasan, Om Hans langsung diangkat menjadi pegawai negeri sipil di sebuah kementerian yang mengurus perbendaharaan Negara. Dia menikahi perempuan yang juga PNS di lingkungan urusan pertanahan. Sejak awal, pasangan ini berprinsip bahwa hidup harus sesuai dengan perencanaan matang. Jika meleset, maka perlu evaluasi. Kedepan, tidak boleh terjadi kesalahan yang sama. Orientasi hidupnya dijaga dengan ketat. Arahnya jelas, meraih cita-cita yang telah disepakati bersama.
Mencatat semua pemasukan dan pengeluaran harian secara ketat, adalah pekerjaan utama diluar urusan kantor. Rutinitas itu tidak boleh terlewati sebelum beranjak ke tempat tidur. Dua anak laki-laki, satu rumah besar berlantai tiga dengan lima kamar, lengkap dengan 2 mobil plus sepeda motor, berhasil didapatnya.
Karir pasangan ini terus merangkak naik. Ketika anak-anak hendak tamat sekolah SMA, pasangan ini mulai gelisah. Ia sangat ingin anak-anak bisa masuk Perguruan Tinggi Kedinasan, seperti Bapak-Ibunya dulu. Untuk itu, ia rela merogoh tabungan jumbo guna memuluskan niatnya. Cara itu efektif, kedua anaknya bisa diterima di Kampus Kedinasan yang berbeda, dibiayai Negara dan ada jaminan untuk menjadi seorang Pegawai Pemerintah.
Ketika kedua anaknya sedang berkuliah, pasangan ini kembali merasa gelisah, karena kedua anaknya belum memiliki rumah sendiri. Untuk itu, mereka bekerja keras agar bisa mencicil satu rumah lagi. Setelah lunas, ternyata masih juga kurang. Mengingat anaknya ada dua. Agar tidak saling berebut, maka masing-masing anak harus memiliki satu rumah. Mereka kembali mencicil satu rumah lagi, hingga genap menjadi 3 rumah.
Menjelang masa kelulusan, pasangan ini kembali gelisah luar biasa. Bagaimana agar kedua anaknya kelak bisa ditugaskan di Pulau Jawa. Jadi tidak jauh dari orang tuanya. Untuk memuluskan niat itu, uang kembali bicara. Meskipun bertugas di propinsi berbeda, namun tetap di pulau Jawa. Untuk itupun, pasangan ini masih tetap gelisah, sebelum kedua anaknya bisa bertugas di Jakarta atau Jawa Barat, bahkan kalau bisa tidak di Propinsi Banten, karena dinilai propinsi ”kering”.
Dua anak pasangan ini sudah berdinas sebagai pegawai negeri sipil pada sebuah Kementerian yang linier dengan sekolah kedinasannya dulu. Namun, Om Hans dan Tante Ana masih tetap gelisah. Ia menginginkan agar pasangan kedua anak-anaknya kelak, adalah seorang PNS seperti dirinya. Perselisihan kerap terjadi antara Bapak, Ibu dan Anak-anak. Orangtua mereka dinilai terlalu mengatur. Anak-anak punya segalanya, namun tidak memiliki kemerdekaan dalam hidupnya.
Menjelang pensiun, pasangan ini tetap merasa belum bisa terlepas dari beban hidup. Ada satu angan-angan yang belum bisa diwujudkan. Yaitu menikahkan kedua anaknya dengan pesta meriah. Apalagi kedua anaknya belum juga nampak ada tanda-tanda berpacaran dengan pasangan yang berstatus PNS.
Hidup pasangan ini semakin gelisah setiap malamnya. Sementara waktu terus berjalan, masa pensiun semakin dekat. Kata ”pensiun, umur, menua” adalah momok menakutkan dan paling mereka hindari. Perasaan pasangan ini sangat terteror oleh datangnya waktu pensiun yang terus semakin mendekat.
Asosial
Bagi Om Hans dan Tante Ana, hidup adalah menabung harta, investasi, menambah dan menambah uang tabungan dengan segala cara untuk masa depan. Saking pinternya menyimpan uang, bahkan airpun tidak bisa menetes ke tanah saat digenggam oleh kedua tangan pasangan ini.
Kegiatan sosial yang biasanya digemari oleh banyak orang, sangat dihindari oleh pasangan ini. Sekedar untuk ikut arisan ataupun pengajian di lingkungan rumah atau keluarga. ”Papa tidak usah ikuta-ikutan acara-acara yang nggak jelas gitu deh…itu pemborosan. Bisa merusak cash flow kita lho Pa”. Ujar Tante Ana yang kerap mewanti-wanti suaminya.
Saat pertemuan keluarga, Om Hans dan Tante Ana pantang menampakkan kemewahan. Sebaliknya, pasangan ini selalu mengumbar keluhan. Soal pendapatan seorang PNS yang kecil lah, kebutuhan yang banyak, hingga harus hidup irit agar cukup. Sebagai PNS, keduanya merasa dituntut hidup sederhana, karena diawasi ketat oleh inspektorat, kejaksaan hingga KPK. Ia selalu mengeluh, seolah menjadi pasangan paling sengsara.
Begitulah kisah hidup tiga manusia berdaya ini. Saya bercermin dari ketiganya. Bagi Pak Abi dan Mbak Hidayatul Markonah, capaian hidup adalah nisbi. Karena kualitas capaian hidup manusia akan ternilai dari seberapa besar manfaatnya bagi orang lain. Hidup, tidak akan bisa mereka rangkai sesuai kehendak sendiri. Untuk segala rezeki yang didapat, jalan hidup yang telah dilalui, semoga sudah sesuai dengan kehendak yang punya hidup dan diridhoi.
Sebaliknya, bagi Om Hans dan Tante Ana, hidup haruslah diperjuangkan dengan segala cara, agar mampu mewujudkan mimpinya.
Lalu, apa capaian hidup saya? Saya pun terus belajar untuk mampu melihatnya.
Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso, Ciputat Timur