Kenapa Allah Menciptakan Penyakit?
Oleh: Donny Syofyan
Dari mana datangnya penyakit? Mengapa Allah menciptakan penyakit? Kita semua percaya bahwa bilamana Allah berkehendak menghapus semua penyakit di dunia ini, Ia mampu melakukannya. Tak ada apa pun atau seorang pun yang memaksa Allah berbuat sesuatu. Fa`âlun limâ yurîd (Dia Mahakuasa berbuat apa yang Dia kehendaki [QS Al-Burûj:16]). Ia bisa membuat kita sehat. Ia sanggup menyehatkan kita sepanjang tahun, bahkan seumur hidup kita. Namun ia juga mampu menetapkan bahwa kematian bisa datang sewaktu-waktu di mana saja.
Lalu apa dan bagaimana maksud, tujuan dan kebijaksanaan di balik penyakit yang Allah turunkan? Kenapa Tuhan memberikan penyakit dalam berbagai bentuk kepada siapa saja—kaya dan miskin atau tua dan muda? Bila Allah tidak menghadirkan penyakit, bila kita tidak ditimpa oleh cobaan berwujud penyakit maka kita tak bakal pernah sadar dan kenal bahwa Allah memiliki salah satu nama yang sangat indah, yakni Asy-Syâfî (Maha Menyembuhkan). Kita sebagai manusia dihiasi dengan sifat tidak bersyukur: Innal insâna lakafûrun mubîn (Sungguh, manusia itu pengingkar (nikmat Tuhan) yang nyata); Innal insâna lirabbihî lakanûd (Sungguh, manusia itu sangat ingkar, (tidak bersyukur) kepada Tuhannya).
Konsekuensinya, Allah mengirimkan kita kesulitan, seperti hilang atau pudarnya kesehatan. Sehingga kita kembali kepada-Nya, ingat dengan kelemahan kita yang memang niscaya, merendahkan diri di hadapan-Nya, dan menemukan indahnya nama Allah, Asy-Syâfî (Maha Menyembuhkan). Pada saat sakitlah kita tersentak dan kita begitu berharap kepada zat yang Maha Menyembuhkan. Pada saat kita sehat, kondisi tubuh prima, sering kali kita lupa atau memang tidak tahu bahwa Allah adalah Asy-Syâfî (Maha Menyembuhkan). Kita tak menganggap nama Allah Asy-Syâfî (Maha Menyembuhkan). Tapi begitu kita sakit, kita dipaksa untuk menemukan dan mengeksplorasi nama Allah Asy-Syâfî (Maha Menyembuhkan).
Penyakit ini menimpa siapa saja, bahkan termasuk para nabi. Kita tentu ingat dengan Nabi Ayyub. Ia sakit selama 18 tahun, bed-ridden. Kaumnya meninggalkannya karena takut terinfeksi sebab penyakit yang diderita Ayyub menular. Ia harus dibopong oleh istrinya ke kamar mandi. Mengapa kisah ini perlu disampaikan? Ya untuk mengingatkan kita semua bahwa kita tidak sendirian tatkala sakit. Penyakit yang menimpa kita bukanlah unik sebab sudah banyak orang-orang terdahulu yang juga diterpa dengan ujian penyakit ini. Bahkan Nabi SAW juga sakit, terutama menjelang akhir hayat beliau. Beliau meninggal karena penyakit, bukan disebabkan yang lain seperti peperangan atau terbunuh.
Ditimpa penyakit adalah keniscayaan. Lalu bagaimana sunnah Rasul ketika kita ditimpa penyakit? Salah satu yang dianjurkan Nabi adalah banyak berdoa. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, suatu ketika Nabi melewati suatu kaum yang ditimpa oleh sesuatu, apakah penyakit atau yang lainnya. Mereka betul-betul beroleh ujian berat. Dari wajah mereka hingga cara mereka hidup tampak mereka sedang tidak baik. Lalu Nabi bersabda, “amakâna hâ’ulâ’i yas’alûnallâhal `âfiyah (apakah kaum ini tidak meminta kepada Allah `âfiyah). Dengan kata lain, Nabi hendak mengajarkan kita bahwa ketika kita ditimpa penyakit, maka kita perlu berdoa kepada-Nya memohon `âfiyah (perlindungan). Perlindungan dari apa? Ya perlindungan dari segala marabahaya, baik di dunia dan akhirat. Karenanya, doa terbaik agar terlindungi dari penyakit adalah allâhuma inni as’aluka al-`afiyah (Ya Allah aku memohon kepada-Mu akan `âfiyah). Doa ini termasuk doa yang dianjurkan dibaca di pagi dan petang (أذكار الصباح المساء, adzkâru shabâhul masâ’)
Dalam hadits lain yang masih diriwayatkan oleh Anas Bin Malik. Suatu masa Nabi SAW mengunjungi salah seorang yang sakit dari kalangan kaum Muslimin. Orang ini begitu sakit sampai-sampai suaranya pelan sekali (kalau seseorang sakit, ia tidak bisa bersuara lantang). Lalu Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah engkau memohon kepada Allah untuk mendapatkan kepayahan ini? Apakah kamu berdoa kepada Allah untuk ditimpa penyakit ini? “Apa yang kamu minta kepada Allah?” Ia menjawab, “Ya Tuhan, sekiranya Engkau akan menyiksaku di hari pembalasan, maka cukup hukumlah aku dunia saja?” Allah menjawab doanya dan menjatuhkan hukumannya di dunia ini hingga ia nyaris tidak bersuara lagi.
Mendengar ini, Rasulullah kaget, “Bagaimana seseorang meminta dijatuhkan siksaan di dunia ini sebelum hari kemudian?” Rasul bersabda, “Subhanallah (ini mengajarkan kita kebolehan mengucapkan subhanallah ketika kagum kepada sesuatu) dan berkata kepadanya, “lâ tuthîquhu wa lâ tastathî `uhu (engkau tidak bisa mengatur hukuman Allah, baik dunia maupun hari akhir). Jangan pernah bermohon kepada Allah untuk mempercepat hukuman di dunia. Kemudian Nabi mengajarkan orang ini bagaimana berdoa ketika sakit. “Kenapa engkau tidak bermohon kepadanya, “allâhumma rabbanâ âtinâ fid dunyâ hasanah wa fil âkhirati hasanah, waqinâ `adz`â bannâr.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas