JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dalam ikhtiarnya memetakan kerja advokasi yang lebih paripurna terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI), Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan Sharing Session dengan PMI dari berbagai negara secara daring, Ahad (28/5).
Memberikan sambutan, Ketua MPKSDI PP Muhammadiyah, Bachtiar Dwi Kurniawan menyatakan komitmen Persyarikatan dalam kerja-kerja advokasi PMI. Baik dari segi advokasi soal upah yang sesuai, perlindungan jiwa dan dari kekerasan, serta aturan kepabean bea cukai.
“Kami dalam hati, pikiran dan tindakan ingin berbuat untuk kemajuan dan kebaikan pekerja migran yang terpaksa harus berdiaspora mengadu nasib di negeri orang untuk kesejahteraan keluarganya,” ujarnya. Dalam kerjanya, Muhammadiyah kata dia menyasar advokasi melalui langkah kultural sekaligus struktural (pendekatan terhadap pemerintah Indonesia maupun negara tujuan).
Secara khusus, Bachtiar menyebut ada lima hal yang ditekankan dalam kerja advokasi Muhammadiyah.
Pertama, pada PMI yang bekerja di sektor informal (rumah tangga), Muhammadiyah melihat perlunya edukasi dua arah, baik kepada PMI maupun kepada warga negara yang mempekerjakan PMI tersebut dari pemerintah setempat.
Hal ini menurutnya diperlukan agar hak-hak PMI tetap terjaga sekaligus majikan yang bersangkutan tidak berani berbuat semena-mena.
Kedua, Muhammadiyah menurutnya memperhatikan advokasi dalam aspek spiritualitas. Tepatnya penyediaan tempat ibadah di negara rantau, termasuk bimbingan rohani secara rutin. Organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan NU kata dia dapat dilibatkan untuk bagian ini.
Ketiga, Muhammadiyah menekankan adanya advokasi dari aspek literasi keuangan. Hal ini agar PMI bijak membelanjakan uangnya dengan visi jangka panjang dan tidak untuk keperluan konsumtif, sehingga ketika mereka pulang ke tanah air, mereka memiliki tabungan yang lebih dari cukup.
Keempat, Muhammadiyah menatap pada advokasi pemberdayaan para PMI setelah pulang ke tanah air. Kata Bachtiar, advokasi ini perlu dilaksanakan dengan basis klaster dan koordinasi regional berdasar tempat pengiriman PMI, agar mereka dapat diarahkan untuk membuka pekerjaan berdasar jenis usaha yang sesuai kemampuannya.
Kelima, Muhammadiyah melihat bahwa advokasi terhadap semua hal di atas adalah kerja yang harus dilaksanakan lewat jalur struktural. Muhammadiyah, kata Bachtiar siap melaksanakan ikhtiar ini agar PMI benar-benar terjamin kesejahteraannya.
“Ini kerja berat, kerja struktural. Harus ada kebijakan yang ada kebijaksanaannya, khususnya pada PMI-PMI supaya lebih mudah untuk sejahtera,” tegas Bachtiar.
Sementara itu, Ketua MPM PP Muhammadiyah, M. Nurul Yamien menyikapi maraknya kasus yang menimpa PMI di luar negeri, pihaknya mendorong supaya ada pemberian literasi bidang hukum bagi para PMI oleh negara.
Maraknya kasus yang menimpa PMI salah satunya karena mereka banyak mengisi sektor kerja informal. Dengan karakteristik majikan yang berbeda, seharusnya mendapat perhatian khusus, sebab terjadi kerawanan terhadap keselamatan kerja PMI.
Terkait dengan fenomena tersebut, Yamien yang pertama mengusulkan supaya melakukan evaluasi terhadap lembaga atau instansi penyalur PMI ke luar negeri. Dia berharap langkah tersebut akan mengurai benang kusut masalah yang dialami PMI.
Selain itu, Yamien juga menawarkan ikhtiar untuk membangun komunitas atau jamaah berdasarkan identifikasi berdasarkan tempat kerja maupun profesi. Agar jika terjadi masalah ada forum komunikasi yang bisa memberikan solusi.
“MPM menawarkan ikhtiar untuk membangun komunitas atau jamaah yang mengikat secara batin, mungkin dengan identifikasi berdasarkan tempat atau berdasarkan profesi, agar anggota PMI jika ada kendala atau apapun dapat segera terkabarkan.” Imbuhnya.
Selain masalah ketika berada di luar negeri ketika menyandang status sebagai PMI, masalah lain yang kerap dihadapi setelah purna status PMI nya adalah lemahnya pendampingan ketika mereka kembali ke tanah air. (afn & a’a)