Menelisik Keabsahan Dalil Shalat Arbain

Shalat Arbain

Sumber Foto Freepik

Menelisik Keabsahan Dalil Shalat Arbain

Oleh: Mukhlis Rahmanto

Salah satu fenomena yang menarik untuk dicermati ketika para jamaah haji mendapat kesempatan mengunjungi Madinah -kota Nabi Saw.-, adalah semangat berapi-api mereka untuk mengejar arba’in, yaitu istilah untuk  pelaksanakan shalat di masjid Nabawi dengan durasi 40 (kali) tanpa putus. Jadi, dengan melaksanakan 40 kali shalat fardhu berjamaah sehari semalam (butuh 8 hari) dan dengan pahala yang dilipatgandakan untuk setiap  shalatnya 1000, maka seseorang akan mendapatkan pahala sebesar 40.000. Selain itu, jaminan terbebas dari api neraka dan kemunafikan juga menanti. Sebuah kesempatan emas yang sayang, jika lewat begitu saja. Tapi apakah ini disyariatkan dengan berlandaskan dalil yang ternilai maqbul (diterima)? Hemat penulis, diperlukan adanya penelisikan lebih lanjut.

Faktor lain adalah adanya teks dari kitab-kitab fikih modern (mu’ashir) yang memberikan keterangan tentang pelaksanaan shalat ini sekaligus pencantuman  sebuah dalil  khusus dari hadis Nabi Saw.. Demikian dapat  kita lihat dalam  misalkan,   Wahbah Zuhaili (al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, 2002, 3: 334; Sayyid Sabiq (Fiqh Sunnah, 2000: 1:646); dan Abu Bakar Al-Jazairi (Minhajul-Muslim, 2005:336).  Namun sayang, dalil hadis terkait yang dicantumkan dalam kitab-kitab tersebut tanpa disertai keterangan tentang validitasnya.

Selain itu, mengunjungi (ziarah) kota Nabi Saw. yang penuh dengan keutamaan adalah kesempatan langka bagi seorang muslim, di mana tidak setiap muslim mendapatinya. Sebuah hadis Nabi Saw tentang salah satu keutamaan kotanya ini:

عن أبي هريرةَ رضيَ اللَّهُ عنهُعنِ النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا تُشَدُّ الرِّحالُ إلاّ إلى ثلاثةِ مَساجِدَ: المسجدِ الحرامِ، ومسجدِ الرسول صلى الله عليه وسلم ومسجد الأقصى (رواه البخاري)

Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw. bersabda: “Janganlah bersengaja melakukan perjalanan (dalam rangka ibadah) kecuali ke tiga masjid, yaitu Masjidil-Haram, masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (masjid Nabawi), dan Masjidil-Aqsha.” (HR Al-Bukhari: 1171).

Keutamaan lain adalah  mengenai shalat di masjid Nabi yang terekam dalam hadis berikut:

عن أبي هريرةَ رضي اللَّهُ عنهُأن النبي صلى الله عليه وسلم قال:صلاةٌ في مسجدِي هذا خيرٌ من ألفِ صلاةٍ فيما سِواه إلاّ المسجدَ الحرامَ (رواه البخاري)

Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw. bersabda: “Shalat di masjidku ini  lebih baik dari seribu shalat di masjid lainnya selain Masjidil-Haram.” (HR A-Bukhari).

 Takhrij  Hadis

Dengan latar belakang di atas, maka tulisan singkat ini mencoba menelisik tentang seluk beluk hadis-hadis (takhrij)shalat arba’inyang sering menjadi sandaran pelaksanaannya.

Para pengamal arba’in, hemat penulis mendasarkan kegiatannya tersebut pada sebuah Hadis (A) berikut:

حدثنا الحكم بن موسى قال أبو عبد الرحمن عبد الله: وسمعته أنا من الحكم بن موسى حدثنا عبد الرحمن بن أبي الرجال عن نبيط بن عمر عن أنس بن مالك عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال:مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً لَا يَفُوتُهُ صَلَاةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنْ الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنْ النِّفَاقِ (رواه احمد و الطبراني)

Telah menceritakan pada kami Hakam bin Musa, berkata Abu Abdurrahman Abdullah: aku mendengar dari Hakam bin Musa (dimana) telah menceritakan pada kami Abdurrahman bin Abi ar-Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik, dari Nabi Saw. bahwasannya beliau bersabda: “Barangsiapa melaksanakan shalat (sebanyak) 40 kali shalat di masjidku (dengan) tidak tertinggal satupun, dicatat baginya terhindar dari api neraka, selamat dari siksa, dan terhindar  dari kemunafikan.” (HR. Ahmad dan at-Thabrani)

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad (3/155) dan Thabrani  dalam  Mu’jam Al-Ausath (5576)  dengan jalur dari  Abdurrahman bin Abi Al-Rijal  dari  Nubaith  bin Umar dari Anas bin Malik secara marfu’(sampai ke Nabi Saw.).  Setelah mencantumkan hadis tersebut, Thabrani berkomentar: “Tidak ada yang meriwayatkan dari Anas kecuali Nubaith,  dan Abdurrahman bin Abi Ar-Rijal  pun sendirian meriwayatkan dari Nubaith”.  Al-Mundziri dalam al-Targhib wa al-Tarhib (1832) dan Al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawaid (5878), setelah mencantumkan hadis ini, keduanya berkomentar menguatkan jalur perawinya, sebagaimana tercantum dalam Musnad Ahmad dan Mu’jam Al-Ausath di atas. Juga menyebut, bahwa Tirmidzi meriwayatkan sebagiannya.

Masalah yang diperdebatkan dalam jalur  sanadnya adalah adanya seorang rawi bernama Nubaith bin Umar, yang ternilai majhul (tidak diketahui keadaannya), di mana hanya Al-Mundziri dan Al-Haitsami yang menguatkannya dengan mendasarkan pada  penilaian Ibnu Hibban dalam  Al-Tsiqat (5/483). Namun di kalangan kritikus hadis, Ibnu Hibban  dikenal  sebagai kritikus yang dimasukan dalam  tipologi mutasahhil (mudah mengangkat derajat penilaian terhadap rawi yang majhul).  Pun dalam kitab-kitab biografi para rawi, tidak akan kita temukan data rawi ini. Matan (isi hadis) yang diriwayatkannya juga berbeda sendiri dengan apa yang diriwayatkan oleh para perawi lain dari Anas bin Malik ra..  Maka dalam kajian kritik hadis, keadaan rawi demikian disebut dengan majhul ‘ain (tidak diketahui data pribadinya sedikitpun).

Sementara itu, kritikus hadis modern, Nashirudin Al-Albani dalam Silsilah Al-Dhai’fah (364) dan Dha’if Al-Targhib (755), mengomentari hadis di atas dengan munkar (informasi hadis hanya dari satu jalur ini).

Ketika hadis pertama sudah diketahui validitasnya dan tentu tidak dapat menjadi sandaran, akan  tapi para pengamal arba’in  mengaitkannya pada hadis lain (B) yaitu:

حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بنُ مُكْرَمٍ وَنَصْرُ بنُ عِليٍّ قالاَ: حَدّثَنَا سلمُ بن قُتَيْبَةَ عَنْ طُعْمَةَ بنِ عَمرٍو عن حبيبِ بنِ أبي ثابتٍ عن أنسٍ بنِ مالكٍ قال: قال رسول الله: من صلى لله أربعين يوماً في جماعةٍ يدرك التكبيرةَ الأُولى كُتِبَ لهُ براءَتَان: بَراءَةٌ مِنْ النَّارِ، وبراءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ (رواه الترمذي)

Telah menceritakan pada kami Uqbah bin Mukram dan Nashr bin Ali: Telah menceritakan pada kami Salam bin Qutaibah dari Tu’mah bin Amru dari Habib bin Abi Tsabit dari Anas bin Malik berkata: bersabda Rasulullah: “Siapa mengerjakan shalat dengan ikhlas karena Allah selama empat puluh hari berjamaah dengan mendapatkan takbiratul ihram, dicatat untuknya dua kebebasan, yaitu bebas dari neraka dan bebas dari kemunafikan.” (HR. At-Tirmidzi)

Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam  Sunan-nya (239), Ibnu Majah  dalam Sunan-nya (1: 797) serta  Bahsyal dalam Tarikh Wasith (36, 40). Riwayat Tirmidzi ternilai shahih sebab mempunyai beberapa jalur yang  mendukung dan menguatkannya (syawahid). Riwayat Ibnu Majah ternilai hasan karena dikait-kuatkan dengan riwayat Tirmidzi, terutama untuk jalur riwayatnya. Riwayat Bahsyal ternilai shahih karena dikuatkan dengan jalur lain dari Umar bin Khatab ra.  Maka  riwayat ini dengan pendukungnya adalah maqbul (dapat diterima). Selain dari Anas bin Malik ra., hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Kuhail dan Umar bin Khatab ra.. Dari jalur Anas bin Malik ra. Sendiri, terdapat tiga perawi yang meriwayatkan darinya, yaitu: Habib bin Abi Tsabit; Hamid al-Thawil; dan Nubaith bin Umar.

Dari sini kita bisa mempetakan dua riwayat hadis di atas, yaitu A dan B, dimana sama-sama diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik ra., baik dari kaitan  segi jalur dan matannya. Maka sebenarnya hadis A adalah satu dari ragam jalur dari Anas bin Malik ra.. Riwayat A, hemat penulis ternilai dhaif (lemah) dikarenakan terdapat seorang rawi majhul bernama Nubaith bin Umar dalam jalur sanadnya.  Selain itu,  riwayat ini terasa asing dan menyalahi riwayat-riwayat semacamnya dari Anas, dengan indikator  adanya tambahan  matan (isi) yang  diberikannya.  Maka wajar, Al-Albani menilainya  munkar.

Pahala dan Keridhaan Allah SWT

Memahami hadis yang sepintas terkandung busyra (kabar gembira) yang begitu menjanjikan  memang perlu dicermati. Karena salah satu faktor kemunculan dan indikasi sebuah hadis palsu (maudhu’) adalah berlebih-lebihan dalam hal keutamaan suatu amalan dan pahala yang didapatnya. Para  komentator hadis, seperti Al-Mubarakfuri memahami hadis di atas dengan mengatakan, bahwa kebanyakannya  mengarah pada anjuran agar setiap muslim  senantiasa berusaha  menggiatkan shalat jamaah, dengan salah satu  indikatornya adalah mendapati  takbiratul-ihram bersama  imam.  Mendapatkan  ganjaran berupa terhindar dari api neraka dan kemunafikan, dimaksudkan bahwa  kita akan dihindarkan di dunia ini dari sifat-ciri beramalnya kaum munafik, seperti rasa malas dalam menunaikan shalat, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142)

Sedang di akhirat  nanti Allah akan menyelamatkan  dari berbagai amal yang menyebabkan orang munafik disiksa Allah, di mana Allah akan menjadi saksi, bahwa dia bukanlah seorang munafik. Maka barangsiapa yang menjaga shalat jamaahnya di masjid manapun, baik di Mekah, Madinah, Jakarta, Medan, Paris, atau di Tokyo dan belahan bumi manapun, hingga dapat mempertahankannya selama  empat puluh hari, maka ia akan mendapatkan balasan dari Allah berupa terhindar dari api neraka dan kemunafikan (hipokrit).

Ziarah (mengunjungi) kota Nabi Saw. (al-Haram al-Madani) memang disyariatkan sebagaimana tersebut dalam hadis pertama di atas, akan tapi tidak dibatasi dengan waktu tertentu, harus delapan sampai sepuluh hari misalnya.

Mendudukan ibadah shalat  diniatkan untuk  mencari pahala tidaklah tepat, satu dari tujuan shalat adalah  untuk mengingat  Allah dan mencari keridhaan-Nya sebagaimana dalam firman-firman-Nya:

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah  Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”  (QS. Thaha: 14)

Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk  Allah, Tuhan  semesta  alam.”  (QS. Al-An’am: 162). Wallahu a’lam bi al-Shawwab.

Mukhlis Rahmanto, Dosen Program Studi Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Exit mobile version