Shalat untuk Menjemput Rahmat (11)

Shalat untuk Menjemput Rahmat (11)

Foto Ilustrasi Dok Unsplash

Shalat untuk Menjemput Rahmat (11)

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nifʻan Nazudi

Telah diraikan pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (10) beberapa hal penting yang berkenaan dengan bersujud di dalam shalat, yakni  (a) kaifat sujud, (b) doa sujud yang sering dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan (c) memperbanyak doa saat sujud. Di antara kaifiat sujud yang perlu kita pahami kembali adalah sebagai berikut.

Setelah membaca doa iktidal, kita (a) membaca takbir Allahu akbar tanpa mengangkat kedua tangan; (b) meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan; (c) merenggangkan kedua tangan dari lambung, mengangkat kedua siku, meletakkan telapak tangan sejajar dengan bahu, serta merapatkan jari-jari tangan dan tidak menggenggamnya; (d) memosisikan tumit ketika sujud sesuai dengan kenyamanan; (e) menyentuhkan hidung dan kening pada tempat shalat; (f) bersujud dengan ketujuh tulang, dan (g) membaca doa.

Doa sujud yang sering dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Subḥānakallāhumma rabbanā wa bi ḥamdikallāhummaghfirlī. Ketika sujud di dalam shalat, kita dapat mengulang bacaan tersebut atau bacaan sujud yang lain. Kita tidak boleh membaca doa selain bacaan sujud.

Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (11) ini diuraikan tiga subtopik, yaitu (1) bangun dari sujud untuk duduk iftirasy sambil membaca takbir, (2) bangun dari sujud seraya membaca takbir (tanpa mengangkat tangan) dan duduk, dan (3) melaksanakan shalat rakaat kedua. Ketiga subtopik itu diuraikan pada HPT 3 (hlm. 574-577). Uraian berikut ini pada dasarnya bersumber pada HPT3.

Bangun dari Sujud untuk Duduk Istirasy sambil Membaca Takbir

Setelah membaca doa sujud, kita bangun untuk duduk iftirasy. Dalam hubungan ini, duduk iftirasy adalah duduk di antara dua sujud dengan cara menjulurkan kaki kiri ke kanan dan pantat duduk di atasnya, sedangkan telapak kaki kanan ditegakkan dengan jari-jari kaki ditekuk dan ujungnya mengarah ke kiblat; meletakkan telapak tangan kanan di atas ujung paha kanan dekat dengan lutut dan telapak tangan kiri di atas ujung paha kaki kiri dekat dengan lutut; dengan jari-jari tangan sedikit merenggang dan diarahkan ke kiblat, serta ujung-ujung jari sampai ke lutut.

Berdasarkan uraian tersebut, kita pahami bahwa ketika duduk iftirasy, tangan kita tidak memegang lutut. Di samping itu, jari-jari kita tidak melampaui lutut.

Ketika duduk di antara dua sujud, kita membaca doa,

Allāhummagfir lī warḥamnī wajburnī wahdinī warzuqnī

Hal ini sesuai dengan hadis doa antara dua sujud, yakni hadis dari Ibn Abbas sebagai berikut.

Dari Ibn ʻAbbas raḍiyallahu ‘anhu [diriwayatkan]. bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di antara dua sujud mengucapkan, Allāhummagfir lī warḥamnī wajburnī wahdinī warzuqnī.” (HR at-Tirmidzi)

Tambahan Bacaan Wa’fu’annī

Di dalam madzhab Syafi’i, Ibnu Hajar al-Haitamiy mengatakan (Al Minhaj Al Qawim, 1/105) bahwa kalimat wa’fu’annī merupakan tambahan dari Imam al Ghazali di dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin (1/161) karena kesesuaiannya dengan kalimat sebelumnya. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Imam Abu Bakar Bafadhal al Hadhramiy di dalam Al Muqadimah Al Hadhramiyah (hlm. 71). Ulama madzhab Maliki, di antaranya, Imam Syihabuddin an Nafrawiy dan Ibnu Najiy, (al Fawakih ad Dawaniy, 1/184) berpendapat demikian pula.

Sementara itu, di dalam kitab Fiqhul ‘Ibadat ‘alal Madzhabil Malikiy (1/170) tertulis sebagai berikut.

Adapun setelah bangun dari rukuk boleh berdoa, demikian pula saat duduk di antara dua sujud diperintahkan membaca, “Allāhummagfir lī warḥamnī wasturnī wajburnī warzuqnī wa’āfini wa’fu’annī”

Pendapat yang sama tertulis di dalam Ad Durar as Saniyah, kumpulan fatwa para ulama Najd Saudi Arabia (jilid 4 hlm. 299).

Dari sumber lain dapat kita ketahui bahwa tambahan bacaan wa’fu’annī dapat ditemukan di dalam As Sunan Al Kubra. Seorang sahabat yang merasa tidak bagus bacaan al-Qur’annya meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk diajari kalimat yang dapat mencukupi kekurangannya itu. Berkenaan dengan itu, beliau bersabda,

“Katakanlah, Allāhummagfir lī warḥamnī wajburnī wahdinī warzuqnī wa’āfini wa’fu’annī”

(HR al-Baihaqi di dalam As Sunan Al Kubra)

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat bahwa bacaan shalat adalah taufiqiyyah; tidak diperkenankan menambah, membuat kreasi baru atau membaca bacaan di luar bacaan shalat. Hal ini berdasarkan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Shallū kamā raitumūni ushalli.”

Bagaimana halnya jika di dalam shalat kita menambahkan doa untuk orang tua? Berdoa untuk orang tua dapat kita lakukan di luar shalat misalnya sesudah shalat.

Shalat merupakan ibadah mahdah yang pelaksanaannya didasarkan tuntunan dan cara-cara yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, doa yang dibaca di dalam shalat harus yang dituntunkan secara khusus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Setelah duduk di antara dua sujud dan membaca doa sujud, kita kemudian membaca takbir tanpa mengangkat tangan, lalu sujud untuk kedua kalinya dan membaca doa sujud seperti pada waktu sujud pertama.

Bangun dari Sujud Kedua seraya Membaca Takbir

Bangun dari sujud kedua kita lakukan dengan membaca takbir lebih dulu tanpa mengangkat tangan dan duduk―seperti duduk iftirasy―sebentar, lalu berdiri dengan menekankan telapak tangan pada tempat sujud untuk mengerjakan rakaat yang kedua. Jadi, tangan kita tidak mengepal.

Gerakan yang demikian didasarkan hadis-hadis, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.

Hadis riwayat Malik Ibn al-Ḥuwairiṡ al-Laiṡī

Dari Abū Qilābah [diriwayatkan bahwa] ia berkata, Malik Ibn al-Ḥuwairiṡ al-Laiṡī mengabarkan bahwa ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. shalat; apabila beliau berada dalam rakaat gasal (rakaat 1 dan rakaat 3) dari shalatnya, beliau sebelum berdiri,  terlebih dahulu duduk dengan lurus.” (HR al-Bukhari)

Hadis Riwayat Malik Ibn al-Ḥuwairiṡ yang Lain

Dari Abū Qilābah [diriwayatkan bahwa] ia berkata, Malik Ibn al-Ḥuwairiṡ datang kepada kami; lalu shalat bersama di masjid kami ini; kemudian, berkata, Aku bukan ingin melaksanakan shalat, melainkan aku akan menerangkan kepada kalian bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat seperti yang aku lihat … Dan apabila mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua, beliau duduk dan bertumpu ke atas lantai, kemudian baru berdiri.” [HR al-Bukhari]

Pada hadis pertama dijelaskan bahwa Malik Ibn al-Ḥuwairiṡ melihat (mengetahui) tata cara shalat yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila beliau berdiri setelah sujud kedua pada rakaat gasal, yaitu rakaat pertama dan ketiga, beliau duduk istirahat (iftirasy) lebih dahulu. Sesudah itu, beliau baru berdiri.

Pada hadis kedua diterangkan bahwa selain adanya duduk iftirasy sebelum berdiri, diterangkan juga tentang cara berdiri untuk rakaat berikutnya dengan menekankan (tangan) pada tempat shalat. Di dalam hadis-hadis yang berkaitan dengan cara duduk dan berdiri pada rakaat gasal, tidak didapati keterangan tentang memanjangkan ucapan “Allahu akbar”.

Dalam kenyataan, ada imam shalat berjamaah yang memanjangkan ucapan “Allahu akbar” secara berlebihan. Cara yang demikian seharusnya tidak perlu dilakukan.

Dari hadis-hadis rujukan sebagaimana telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa cara berdiri dari rakaat gasal (rakaat pertama atau rakaat ketiga) menuju rakaat genap (rakaat kedua atau rakaat keempat) dengan melakukan duduk iftirasy (istirahat) lebih dulu, kemudian, berdiri dengan cara menekankan kedua telapak tangan pada tempat shalat.

Hal lain yang perlu mendapat penekanan juga adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dari rakaat gasal (rakaat pertama atau rakaat ketiga) ketika mengucapkan “Allahu akbar” tidak disertai dengan gerakan mengangkat tangan. Hal itu dapat kita ketahui dari HR al-Bukhari, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.

Dari Nafi’ [diriwayatkan] bahwa Ibn ‘Umar memulai shalat dengan bertakbir dan mengangkat kedua tangannya; begitu juga saat rukuk, dan saat membaca “sami ‘allahu liman ḥamidah”, serta saat berdiri setelah dua rakaat. Ibn ‘Umar menyatakan bahwa (yang ia lakukan tersebut) berasal dari  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Berdasarkan hadis ‘Umar tersebut, dapat kita simpulkan bahwa mengucapkan takbir dengan mengangkat tangan kita lakukan pada empat waktu, yaitu ketika (a) takbiratul ihram, (2) akan rukuk, (3) ) bangkit dari rakaat kedua ke rakaat ketiga (pada shalat maghrib, ‘isya, duhur, atau ‘asar), dan (4) ketika mengucapkan sami ‘allahu liman ḥamidah, yakni ketika bangkit dari rukuk.

Di dalam pelaksanaan gerakan bangun dari sujud kedua, ada yang tanpa duduk sebentar lebih dulu, tetapi langsung berdiri. Ada pula yang bangun dari sujud kedua sambil mengucapkan takbir dan mengangkat tangan seperti ketika takbiratul ihram.

Gerakan yang demikian itu kiranya tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Gerkan yang sesuai adalah kita bangun dari sujud kedua dengan cara duduk iftirasy sebentar lebih dulu dan bangun dari sujud kedua dengan mengucapkan takbir tanpa mengangkat tangan.

Melaksanakan Rakaat Kedua

Pada rakaat kedua, setelah bangkit dan berdiri dari sujud kedua pada rakaat pertama, kita mengerjakan shalat rakaat kedua seperti yang kita kerjakan pada rakaat pertama. Namun, kita tidak membaca doa iftitah.

Pada rakaat kedua, setelah berdiri dengan lurus dari sujud kedua, kita meletakkan kedua tangan di atas dada (bersedekap); kemudian, membaca ta’awuz, basmalah, surat al-Fatihah dan melanjutkan dengan membaca surat atau ayat al-Qurʻan  seperti yang kita lakukan pada rakaat pertama. Kemudian, kita melakukan gerakan-gerakan (rukuk, iktidal, sujud pertama, duduk iftirasy, sujud kedua) dan mengucapkan bacaan-bacaan yang sama dengan yang kita baca pada rakaat pertama.

Pelaksanaan rakaat kedua yang demikian, didasarkan hadis-hadis, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.

HR Muslim

Dari Abū Hurairah raḍiyallahu ‘anhu [diriwayatkan bahwa] ia berkata, Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila berdiri dari rakaat kedua, beliau memulai bacaan dengan “Alḥamdulillahi rabbil ‘ālamīn (al-Fatihah) dan beliau tidak diam.”

Dari hadis tersebut kita ketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat rakaat kedua tidak “diam” (artinya beliau tidak membaca doa iftitah), tetapi langsung membaca taʻawuz, basmalah, dan al-Fatihah seperti pada rakaat pertama.

HR al-Bukhari dan Muslim

Dari Abū Hurairah raḍiyallahu ‘anhu [diriwayatkan] bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Jika kamu berdiri untuk shalat, mulailah dengan takbir; lalu, bacalah apa yang mudah buatmu dari al-Qurʻan; kemudian, rukuklah sampai benar-benar rukuk (tumakninah); lalu, bangkitlah (dari rukuk) sampai kamu berdiri tegak; kemudian, sujudlah sampai benar-benar sujud (tumakninah); lalu, angkat (kepalamu) untuk duduk hingga benar-benar duduk (tumakninah). Kemudian, lakukanlah hal tersebut dalam seluruh (rangkaian) shalatmu.”

Di dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan supaya kita melakukan shalat pada rakaat kedua sama dengan ketika kita melakukan shalat pada rakaat pertama.

Jika shalat dua rakaat (misalnya shalat subuh, shalat Jumah, shalat sunah fajar, shalat sunah bakda shalat duhur, atau shalat sunah yang lain yang dua rakaat), setelah sujud kedua pada rakaat kedua, tentulah kita melakukan duduk tasyahud akhir. Namun, jika shalat tiga atau empat rakaat, setelah sujud kedua pada rakaat kedua, kita duduk tasyahud awal. (Kaifiat duduk tasyahud awal dan tasyahud akhir akan diuraikan tersendiri).

Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota

Nif’an Nazudi, dosen al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Purworejo

 

Exit mobile version