Islam sebagai Agama Fitrah

Syahbana Daulay

Syahbana Daulay Foto Istimewa

Islam sebagai Agama Fitrah

Oleh: Syahbana Daulay

Tidak diragukan lagi bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Fitrah yang membuat seseorang merasa tenang dalam pelukan Islam. Fitrah yang mendorong orang untuk memeluk Islam. Fitrah di antara faktor yang menyebabkan Islam tetap eksis di muka bumi ini. Fitrah secara bahasa berarti penciptaan, permulaan, atau penemuan. Adapun secara syar’i, menurut Ibnu Taimiyah, makna fitrah adalah agama Islam. Ini bisa dilihat dalam surat Ar-Ruum: 30:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ذَٰلِكَ

ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu”.

Makna fitratallah (فطرة الله) dalam ayat di atas adalah agama Islam. Adapun makna likhalqillah (لخلق الله) adalah lidinillah (لدين الله). Lebih lanjut lagi dalam ayat itu disebutkan: dzalika ad-dinul qayyim (itulah agama yang lurus), maksudnya adalah fitrah itu adalah agama yang lurus, yatu Islam. Sehubungan dengan hadits Nabi yang menyebutkan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, itu berarti manusia diciptakan Allah dengan beragama Islam sejak kelahiran mereka, membawa tauhid dengan mengakui Allah sebagai Tuhan mereka.

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ (رواه
البخاري)

“Tidaklah seorang bayi yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.

Dalam hadits Qudsi dijelaskan:

إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ وَحَرَّمَتْ
عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا

“Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hunafa’ (Islam) semuanya. Kemudian setan datang, lalu memalingkan mereka dari agama mereka, mengharamkan atas mereka apa yang Aku halalkan, dan memerintahkan mereka untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak Aku turunkan keterangannya”. (HR. Muslim)

Dalam hidup, manusia tidak bisa lepas dari fitrahnya. Saat manusia dalam kesulitan, kesempitan, dan kebingungan, fitrahnya hadir dan dirinya kembali kepada fitrahnya. Dia memanggil dan berdoa kepada Allah agar dikeluarkan dari kesulitan dan kesempitan hidup. Sebagaimana digambarkan dalam surat al-‘Ankabuut ayat 65:

فَإِذَا رَكِبُوا۟ فِى ٱلْفُلْكِ دَعَوُا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ فَلَمَّا نَجَّىٰهُمْ إِلَى ٱلْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

“Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)”.

Setiap manusia mengakui keberadaan Penciptanya, merindukan dan berserah kepada-Nya. Bila seseorang istiqomah berada di atas fitrahnya, maka jadilah ia seorang muslim, tidak perlu bersyahadat saat ia baligh kelak, karena ia memang dilahirkan dalam keadaan muslim. Namun bila ia murtad, keluar dari Islam, maka ia perlu bersyahadat untuk kembali kepada keislamannya. Islam sebagai agama fitrah akan selalu relevan dengan segala suku dan bangsa. Kedamaian bersama akan terwujud bila dibangun di atas fitrah yang sama. Maka Islam tampil dengan wajah rahmatan lil’alamin, ramah, mudah, dan sesuai dengan fitrah manusia, baik itu dalam urusan
privat ataupun publik, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya.

Untuk menjaga keharmonisan hidup, manusia harus menjaga eksistensi fitrahnya. Bila kulitas fitrah rusak dan menyimpang, akan muncul tatanan hidup yang timpang, kacau, prilaku yang amoral dan ketidakharmonisan. Selanjutnya akan turun berbagai bencana sebagai bentuk murka Allah atas penyimpangan fitrah tadi.

Oleh karenanya, manusia harus berhati-hati dari hal yang dapat merusak fitrahnya, berupa:

1. Godaan setan.

Setan jelas jadi musuh manusia dan akan selalu berusaha untuk menjerumuskan manusia keluar dan menjauh dari fitrahnya, membelokkan manusia dari jalan yang lurus, dan menyesatkan mereka. Setan ini bisa berupa jin ataupun manusia yang senantiasa gentayangan di sekitar kita. Setan sudah bertekad akan menjerumuskan manusia dari kebenaran fitrahnya.

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ

Iblis menjawab: “demi kekuasaan-Mu aku akan menyesatkan mereka semuanya (QS. Shad: 82)

2. Hawa nafsu

Dalam al-Quran surat Al-Qashas ayat 50 tersirat bahwa mereka yang mengikuti hawa nafsu sama dengan mengingkari agama Islam atau fitrahnya.

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ ٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ ٱللَّهِ

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.”

Hawa nafsu mengajak manusia mengabaikan seruan Allah dan Rasul-Nya, dan cenderung melakukan amalan-amalan yang dilarang. Orang yang mengikuti hawa nafsunya telah mengotori fitrahnya dan menutup hidayah kebenaran dari Allah.

3. Kedua orang tua

Orang tua sangat berpengaruh terhadap kemurnian fitrah anak-anaknya. Pengaruh ini sangat besar karena peran dan kedekatan orang tua dalam membesarkan, mendidik, dan membersamai anak-anaknya. Bagitu pula karena rasa hormat dan patuh anak kepada orang tua mereka. Orang tua harus paham bahwa anak adalah amanat Allah dan berkewajiban menjaga fitrah si anak.

4. Kelalaian

Lalai atau yang biasa disebut dalam al-Quran sebagai ghaflah tidak kalah pengaruhnya dalam merusak fitrah. Pekerjaan, gemerlap dan kenikmatan dunia banyak melalaikan manusia. Oleh karenanya, tidak sedikit Allah mengingatkan manusia agar berhati-hati dalam menyikapi dunia. Jangan sampai kelalaian akibat hiruk pikuk dunia mempengaruhi kesucian fitrah, dan jangan sampai kelalaian dijadikan alasan untuk tidak mengenal agama Allah.

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ

قَالُوا۟ بَلَىٰ شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا۟ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَٰفِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS al A’raf: 172)

Dilanjutkan dalam ayat berikutnya:

أَوْ تَقُولُوٓا۟ إِنَّمَآ أَشْرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِّنۢ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ ٱلْمُبْطِلُونَ

”atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” (QS al A’raf: 173).

Karena berbagai pengaruh yang merusak fitrah ini, maka Allah mengutus para Nabi dan Rasul yang sejatinya untuk menjaga fitrah manusia. Nabi dan Rasul sebagai mubasysyir dan mundzir, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan hendaknya diikuti dengan belajar dan mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah yang selaras dengan fitrah. Jangan sampai membangkang dan keras kepala dengan menolak apa yang dibawa para Nabi dan Rasul.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ
لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS. Al-Baqarah: 170)

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ

“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan” (QS. Al-Baqarah: 213).

Dari penjelasan singkat di atas dapat dipahami betapa Islam sebagai agama fitrah membawa umatnya ke jalan yang lurus, kedamaian, kaharmonisan, dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Selaku orang yang beriman, kita seyogyanya menjaga fitrah diri dan keluarga sebagai amanat, agar kelak bertemu dengan Sang Khalik tetap dalam kefitrahan. Wallahu a’lam bish shawab.

Exit mobile version