Matarantai Pemikiran Buya Syafii

Buya Syafii Maarif

Foto Dok Istimewa

Matarantai Pemikiran Buya Syafii

Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.

Prof DR H Ahmad Syafii Maarif atau akrab disapa Buya Syafii Maarif telah meninggalkan kita pada Jum’at 27 Mei 2022 di RS PKU Muhammadiyah Gamping Sleman. Buya Syafii dimakamkan di  pemakaman Muhammadiyah Taman Makan Husnul Khatimah Kulon Progo DIY. Semoga Buya husnul khatimah, dilapangkan di kuburnya, diampuni kesalahannya, diterima seluruh amal shalehnya, serta pada saatnya ditempatkan di Jannatun Na’im dalam limpahan ridha Allah SWT.

Meskipun telah tiada, pemikiran dan jejak hidup Buya Syafii Maarif tetap hidup dan menjadi inspirasi atau contoh bagi warga Muhammadiyah, umat Islam, dan bangsa Indonesia sebagaimana juga para tokoh Muhammadiyah yang telah wafat dan meninggalkan warisan pemikiran dan amal perjuangan yang berharga. Pemikiran Buya Syafii sangat luas yang tidak mungkin dapat dibahas dalam satu tulisan singkat. Setidaknya dapat diambil matarantai pemikiran Buya tentang Muhammadiyah, Keislaman, dan Kebangsaan sebagaimana disajikan dalam tulisan ini.

Gerakan Pemikiran

Buya Syafii Maarif sangat kuat pandangannya agar Muhammadiyah menjadi “gerakan ilmu” dan “pemikiran” sejak awal aktif kembali di Majelia Tabligh Muhammadiyah setelah kembali dari Chicago era tahun 1985-1990. Pandangan tersebut sempat disanggah oleh Pak Lukman Harun dengan menyatakan, Muhammadiyah itu “gerakan amal”. Suatu dialog yang menarik, agar menemukan titik moderat. Di satu pihak dengan gerakan ilmu, jangan sampai Muhammadiyah menjadi menara gading yang tidak membumi di dunia nyata seperti gerakan neomodernisme Islam. Sebaliknya, jangan sampai karena sibuk dengan amal usaha, Muhammdiyah kekeringan perspektif keilmuan, sehingga berhenti menjadi gerakan praktis semata.

Pesan penting dari tema gerakan ilmu yang digagas Buya Syafii sebenarnya dapat dijadikan penguatan dan dinamisasi agar Muhammadiyah menghidupkan kembali etos keilmuan dan pemikiran sebagaimana era awal Kyai Ahmad Dahlan yang mengusung tajdid atau pembaruan. Muhammadiyah sendiri selama ini memiliki jargon “ilmu amaliah” dan “amal ilmiah”, sehingga titik temu keduanya sangat terbuka, sebab antara ilmu dan amal bukan sesuatu yang bertentangan. Penguatan keilmuan dan pemikiran memang sangat diperlukan, karena sebelum era itu gerakan Muhammadiyah terlalu rutin dan praktis, sehingga melupakan isu-isu besar keilmuan dan pemikiran.

Pasca Muktamar Surakarta 1985 yang dikenal sebagai Muktamar “Asas Tunggal Panacila”, memang kesadaran tentang pentingnya menghidupkan kembali tajdid di bidang pemikiran cukup menguat. Masuknya para cendekiawan muslim dari kampus-kampus besar ke Muhammadiyah yang sejatinya para kader Muhammdiyah seangkatan Buya Syafii Maarif  yaitu era  Amien Rais, Kuntowijoyo, Yahya Muhaimin, Zamroni, dan lain-lain menjadi daya dorong gerakan keilmuan dan pemikiran. Dari dalam sendiri ada Pak Djarnawi Hadikusumo, Ahmad Azhar Basyir, Djasman Al-Kindi, Malik Fadjar, dan lain-lain yang memiliki pijakan pemikiran maju sekaligus Kemuhammadiyahan yang kokoh. Setelah itu lahir generasi Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkan, Din Syamsuddin, Moeslim Abdurrahman, dan para cendekiawan muslim dari IAIN atau UIN yang sebelumnya ada para seniornya yaitu Mukti Ali, Munawwir Sadjzali, dan lain-lain.

Awal Orde Baru, Muhamamdiyah secara organisasi bahkan mulai kesadaran baru untuk “Re-Tajdid” atau “Pembaruan Kembali” ketika Muktamar ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta. Karenanya gagasan pemikiran baru pasca Muktamar 1985 sejatinyanmerupakan matarantai dari etos pemikiran dan kemajuan di tubuh Muhammadiyah. Karenanya gerakan keilmuan dan pemikiran terus menggelinding sejak era tahun 1990an menjadi relevan dan bersambung. Pada era kepemimpinan Muhammadiyah 2000-2005 di mana Buya Syafii Maarif menjadi ketuanya, saya waktu itu menjadi Sekretaris, dilakukan institusionalisasi pemikiran. Lahirlah rumusan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, Khittah Denpasar 2002 tentang Berbangsa dan Bernegara, dan Dakwah Kultural.

Di era itu Majelis Tarjih menjadj Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di bawah ketua Amien Abdullah. Sejak itu Tarjih memproduksi pemikiran-pemikiran maju, antara lain dengan lahirnya Manhaj Tarjih yang memperkenalkan pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam pemahaman dan pemikiran keislaman. Gerakan keilmuan dan pemikiran dalam Muhammadiyah bertemu dengan dan menjadi suatu matarantai kolektif dan sistem di tubuh Persyarikatan, tidak terbatas pada diri Buya Syafii Maarif. Buya menjadi titik picu dari bangkitnya kesadaran gerakan ilmu dan pemikiran di era kepemimpinannya didukung tim yang kuat selama tujuh tahun waktu itu. Termasuk memicu lahirnya genarasi baru yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) di bawah asuhan Kang Moeslim Abdurrahman.

Pemikiran Inklusif

Buya Syafii Maarif memiliki jejak kuat dalam mengembangkan kesadaran baru di tubuh umat Islam dan banhsa Indonesia tentang pemikiran inklusif atau terbuka mengenai keislaman dan keindonesiaan. Pertama, bahwa umat Islam dengan pandangan keislamannya harus terbuka dengan agama dan umat beragama lain, jangan bersifat ekslusif dan memandang pihak lain sebagai lawan atau musuh, yang membuat umat tidak bisa hidup dalam keberagaman. Kedua, Buya memandang bahwa antara keislaman dan keindonesiaan merupakan satu kesatuan yang tidak perlu dipertentangkan, sebaliknya baik umat Islam maupun warga bangsa harus menerima Indonesia dengan kemajemukannya sebagai rumah bersama. Muhammadiyah sendiri menurut Buya harus menjadi “tenda besar bangsa”.

Pandangan Buya tentang keislaman dan keindonesiaan yang inklusif itu membawanya pada apa yang dikenal umum sebagai pluralisme. Buya dikategorikan sebagai penganut paham pluralisme, yang menerima dan sekialgus mampu hidup bersama dalam kemajemukan agama maupun kebangsaan tanpa sekat. Buya sering menyatakan agar  “bergaul dengan siapapun tanpa rasa canggung”. Buya yang pluralis itu sampai batas tertentu sering disalahpahami dan dibari label “liberal”. Pandangan liberal tersebut terutama datang dari mereka yang  cenderung tekstual, ekslusif, dan hitam-putih. Kelekatan Buya dengan kalangan non-Islam, kehadirannya di Gereja Gamping dalam kasus penyerangan terhadap jamaat gereja setempat, tulisannya tentang “preman berjubah”, dan sejumlah pernyataannya direspons negatif. Buya selalu bicara tentang Al-Quran, pernah juga dianggap “inkarus sunnah”.

Padahal dalam prinsip berakidah dan meyakini Islam, Buya sama dengan pandangan umat Islam dan warga Muhammadiyah. Buya dalam relasi kebangsaan dan pemerintah juga menjaga marwah Muhammadiyah dan dirinya. Hubungannya yang dekat dengan kekuasaan tidak menjadikan dirinya larut, bahkan tetap kritis. Keliru bila ada pihak yang mengembangkan stigma negatif tentang relasi Buya dan kekuasaan, hanya karena ukuran kritis dan benar itu mengikuti cara dan pandangan subjektif pihak yang menilai. Setiap tokoh Muhammadiyah dari pusat sampai bawah dari dulu sampai kini dan kapanpun harus berhubungan dengan berbagai pihak demi kepentingan Muhammadiyah. Semua pimpinan Muhammadiyah sungguh menjaga marwah dan martabat diri tanpa membawa sentimen dan kepentingan pribadi. Kepribadian dan Khittah menjadi patokan.

Buya Syafii sangat kuat pandangan insklusifnya tentang bangsa. Ketika bicara tentang kader Muhammadiyah, kader umat, dan kader bangsa Buya lebih dulu menyebut kader bangsa. Pandangan kebhinnekaannya melampaui tokoh-tokoh Islam lainnya, sehingga sangat cair dan luas. Bukti menunjukkan para pelayat yang bertakziyah dan berziarah ke makam almarhum datang dari semua golongan. Keluasan hubungannya mengingatkan pada pergaulan Kyai Dahlan dengan para pendeta Katholik, tokoh Boedi Oetomo, dan berbagai kalangan tanpa sekat. Kyai Dahlan juga dekat dengan Sultan, selain menjadi Penghulu Kraton tanpa kehilangan marwah keislaman dan kemuhammadiyahannya.

Pengakuan duka dari Ignatius Kardinal Suharyo kepada penulis tertanggal 27 Mei 2022 pukul 17.31 WIB via WhatsApp memberikan kesaksian sebagai berikut, “Mewakili Konferensi Waligereja Indonesia dan atasnama pribadi, dalam rasa kehilangan yang sangat mendalam, bersama seluruh warga bangsa, saya ikut menyampaikan dukacita yang sedalam-dalamnya  atas berpulangnya Buya Syafii Maarif, kepada keluarga besar Muhammdiyah dan seluruh bangsa. Buya telah membaktikan seluruh hidupnya untuk bangsa Indonesia yang kita cintai bersama. Semoga kita dapat mewarisi semangat beliau dalam mencintai tanah air dan merawat serta mengembangkan watak peduli bangsa kita. Semoga keluarga yang ditinggalkan dikuatkan.”.

Sementara tokoh Budha dan pengusaha ternama, Sudhamek yang sangat dekat dengan Buya memberi kesaksian, “Hari Jum’at, hari mulia. Selamat jalan Buya. Insya Allah Buya husnul khotimah. Walau saya menangis kehilangan namun saya ikhlaskan dan doakan agar Buya Syafii tercinta husnul khotimah. Aamiin YRA. Dalam persahabatan kami selama 20 tahun, belum pernah sekalipun Buya melakukan kesalahan. Beliau adalah manusia paripurna yang saya yakin adalah penghuni utama surga.”

Itulah pesan belasungkawa Pak Dhamek, yang menyempatkan diri berziarah ke Tanan Makam Husnul Khatimah bersama Sukidi sang cendemiawan muda yang lekat dengan Buya. Keduanya bertakziyah ke kediaman Ummi Cholifah Syafii Maarif di Nogotirto, Sleman Yogyakarta. Jejak langkah, pemikiran, dan sikap hidup keseharian Buya Syafii Maarif melekat dan menjadi teladan bagi para tokoh dan generasi bangsa lintas golongan. Buya memang milik semua!

Sumber: Majalah SM Edisi 12 Tahun 2022

Exit mobile version