Pentingnya Hadir Mubaligh Muhammadiyah di Masyarakat
Oleh: Sugeng Riyanto
Selasa 30 Mei 2023 Ustadz Adi Hidayat seorang da’i kondang mendapatkan gelar doctor honoris causa dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. Gelar doctor honoris causa ini bukan yang pertama beliau dapatkan. Sebelumnya universita di turkie pada kirasan 2019.
Sebagai penikmat cermah-cermah beliau di kanal youtubenya saya cukup bergembira. Terlebih dalam pengurusan pimpinan pusat Muhammadiyah beliau juga diturut sertakan.
Sebagai seorang dai yang masyur tentu banyak orang penasaran mengapa dan bagaimana ustadz Adi Hidayah bisa menerima gelar kehormatan tersebut. Sudah banyak orang tahu bahwa ustadz Adi Hidayat adalah seorang santri dari pondok pesantren Muhammadiyah Darul Arqam Garut.
Penyataan sebagai kader Muhammadiyah tersebut beliau ulangi dalam penutup orasi ilmiahnya ketika penganugrahan doctor honoris causa di Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan mengatakan “Saya Adi Hidayat putra dan kader asli Muhammadiyah.”
Kehadiran ustadz Adi Hidayat di panggung perda’i-an Indonesia juga cukup berpengaruh. Sebagai sesama da’i, ustadz Felix Siaw di berbagai kesempatan mengatakan “Kehadiran ustadz Adi memberikan standar baru bagi da’i seusianya”, kurang lebih demikian.
Kehadiran ustadz Adi Hidiyah sebagai salah satu kader muhammdiyah yang mampu muncul dipermukaan hingga dapat digandrungi lintas organisasi islam bahkan masyarakat umum sangat langka. Terakhir nama da’i yang merupakan kader Muhammadiyah serta sangat populer di tengah masyarakat adalah Buya HAMKA. Frase tersebut bukan untuk mendikreditkan da’i-da’i lain dari Muhammadiyah. Namun tokoh-tokoh besar lainnya masih dalam dimensi percakapan sesama kader atau lintas ormas yang memiliki akses diskusi atau kajian kearah para tokoh-tokoh tersebut.
Ancaman Defisit Da’i atau mubaligh
Sudah menjadi diskusi umum tentang pola kaderisasi persyarikatan Muhammadiyah. Dimana kader-kader dan pengurus Muhammadiyah cenderung merupakan seorang akademisi. Atau pribadi-pribadi yang secara tingkat pendidikan di atas atau setara dengan sarjana. Sangat minim kita jumpai kepengurusan yang didominasi oleh da’I atau mubaligh. Atau mungkin Muhammadiyah memegang prinsip da’i akademisi.
Dalam bermuhammadiyah tentu kita lebih sering menemukan istilah Prof. Dr. dan gelar lainnya dibandikan Kiyai, Tuan Guru, Buya. Dari sini sangat terlihat Muhammadiyah mengusung konsep cedikiawan muslim berkemajuan. Hal ini selaras dengan tujuan Muhammadiyah yaitu Tajdid yang bermakna pemurnian dan pembaharuan.
Pemurnian dan pembaharuan bisa dilakukan dalam satu tarikan dengan adanya legitimasi keilmuan. Maka sangat diperlukan orang yang benar-benar ahli dalam suatu topik kajian yang ingin dibedah dan didalami. Agar dapat memahami mana yang asli dan tidak boleh diubah, serta mana yang dapat diperbaharui.
Namun di tengah masyarakat yang sedang berproses untuk maju ini diperlukan tokoh-tokoh yang disiapkan dengan tujuan untuk misi tabligh. Tokoh-tokoh yang dekat dengan masyarakat sebagai da’i. Perlu adanya ustadz, kiyai, tuan guru, buya atau guru-guru ngaji di TPA. Karena dilapangan atau di tengah masyarakat awam cendrung lebih menerima nasihat ustadz, kiyai dibandikan Professor, atau doctor.
Pasalnya konsep ulama ditengah masyarakat adalah da’i yang memiliki gelar ustadz, kiyai bukan Professor atau doctor. Terlepas dari makna harfiah ketiganya gelar tersebut adalah “guru”, namun tidak bisa dipungkiri sangat terasa penerimaanya ketika ustadz dan doctor yang berbicara. Negeri ini masih melihat siapa yang berbicara bukan mendengar apa yang dibicarakan.
Dengan hadirnya kader-kader dai Muhammadiyah bisa lebih dalam menunaikan tujuan berdirinya organisasi yaitu “terwujudnya masyarakat islam sebenar-benarnya” dalam hal tabligh (syiar). Menyampaikan hasil kajian majelis tarjih dan mengedukasi masyarakat secara lebih luas. Serta dapat mengkonter stigma negatif tentang Muhammadiyah sebagaimana yang baru terjadi belakangan ini. Dimana Muhammadiyah seolah-olah menjadi pembicaraan publik selama kasus tersebut.
Kader Dai (Mubaligh)
Tidak sedikit upaya Muhammadiyah untuk mewujudkan kader-kader yang dapat menjadi mubaligh dan mensyiarkan agama islam sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunah. Upaya tersebut tercermin dari banyakn pelatihan yang hadir dari Muhammadiyah sebagai induk organisasi ataupun ortom-ortom yang juga mengadakan pelatihan hingga pendidikan kilat.
Namun hasil dari kesemuanya jarang tersorot atau terkemas dengan baik. Da’i- da’i Muhammadiyah masih berada di kelas-kelas kampus Muhammadiyah, masih di mimbar-mimbar masjid Muhammadiyah. Jikapun ada yang diluar jumlahnya tidak lebih banyak dari yang di dalam dan belum tersorot dan dikemas dengan baik. Maka perlu adanya strategi dakwah yang lebih luas dari masjid, sekolah dan kampus Muhammadiyah.
Walaupun setiap kader Muhammadiyah memiliki kewajiban mensyiarkan kebaikan dan berdakwah dengan cara apapun. Namun perlu kiranya ada diskusi mendalam untuk merancang sistem pengkader mubaligh Muhammadiyah. Wallahualam bissawab
Sugeng Riyanto, Kader PC IMM Jakarta Timur