Berinfak secara Diam-diam (1) Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 270-271
وَمَا أَنفَقْتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ ۗ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ ٢٧٠ إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ٢٧١
Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolongpun baginya (270) Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (271)
Ayat 270-271 ini masih melanjutkan pembicaraan tentang istilah infaq atau nafaqah yang diterjemah dengan “nafkah” pada beberapa ayat sebelumnya. Agar tidak salah paham kita perlu merujuk ke makna infaq pada ayat-ayat tersebut. Menurut bahasa, kata yang dibentuk dengan huruf nun–fa-qaf mengandung arti lepas. Istilah “munafiq” mengandung arti orang yang terlepas atau terputus dari kebenaran karenanya ia berpura-pura menyambung hubungan dengan orang mukmin. Nah, istilah nafkah itu mengandung arti bahwa harta yang dilepaskan adalah untuk kepentingan pihak lain yang membutuhkan dan untuk meringankan bebannya dalam rangka menggapai ridha Allah, baik infak wajib seperti zakat maupun infak sunnat seperti sedekah.
Ayat 270 ini berisi informasi cukup singkat tetapi didiskusikan oleh ulama tafsir secara panjang-lebar. Misalnya kata wama anfaqtum min nafaqatin (وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ) yang artinya “apa saja yang kamu nafkahkan” dielaborasi oleh al-Baghawi meliputi banyak hal seperti dalam rangka nikah, khitan, kelahiran, pendeknya berbagai perhelatan. Al-Zamakhsyari memberi catatan, nafkah bisa di jalan Allah bisa juga di jalan syaitan (Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, Jilid I, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1407 H), Cet. III, hlm. 319). Di Tafsir al-Mannar diterangkan, nafkah itu boleh jadi sedikit atau banyak, dirahasiakan atau diperlihatkan, untuk hal yang haq atau yang syarr, dan untuk maksud riya atau dengan ikhlas (Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid III, (Kairo: Dar al-Manar, 1947), hlm 78).
Di samping itu al-Quran menghubungkan lafaz wama anfaqtum min nafaqatin (وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ) yang artinya “apa saja yang kamu sekalian nafkahkan” dengan lafaz aw nadzartum min nadzrin (أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ) “apa saja yang kamu sekalian nazarkan.” Bedanya nazar dengan infak adalah nazar itu janji kepada Allah akan berbuat sesuatu atau membayarkan atau mengeluarkan sebagian harta bila suatu keadaan tertentu yang diharapkan dapat terjadi.
Misalnya ada orang berkata “…demi Allah saya akan menginfakkan sebidang tanah untuk membangun mushalla bila kelak anak saya diterima menjadi polisi.” Dengan demikian nazar itu sikap batin seseorang yang mewajibkan diri sendiri berbuat sesuatu bila apa yang disyaratkan terwujud. Sudah barang tentu nazar berupa suatu perbuatan yang dibenarkan. Tidak boleh bernazar melakukan dosa seperti merusak barang milik orang lain bila sesuatu terjadi.
Sebaliknya, suatu kejadian yang dinazarkan tidak berupa perbuatan yang terlarang. Misalnya ada orang bernazar “kalau kasus korupsi saya dimenangkan oleh pengadilan sehingga tidak ketahuan, maka saya akan infak sebidang tanah.” Nazar semacam ini tidak benar karena pelakunya tidak punya keinginan bertaubat atas dosa korupsinya bahkan ingin agar perbuatan dosanya dapat diselamatkan.
Kitab-kitab tafsir menyatakan ada nazar untuk hal yang baik, ada pula yang buruk. Di samping itu, nazar tidak harus berupa pengeluaran harta tapi bisa juga berupa janji akan berbuat sesuatu, seperti akan berhenti makan selama sehari bila sebuah cita-cita terkabul.
Sementara, berinfak tidak perlu ada janji sebelumnya. Hal ini penting karena ada saja orang yang mau mengeluarkan sebagian harta bersyarat seperti yang ada dalam nazar. Dalam nazar, bila sebuah cita-cita tidak terwujud maka amal dengan harta tidak jadi dilakukan oleh yang bernazar tadi. Karenanya ada yang berkata bahwa nazar itu sarana pengeluaran harta bagi orang pelit. Terlepas dari indikasi pelit apa tidak, nazar mewajibkan pelakunya melaksanakan atau membayar sebagai janji bila sesuatu yang diharapkan terjadi. Sekiranya ia tidak berjanji maka sebuah peristiwa yang terjadi tidak diikuti dengan perbuatan baik yang dinazarkan itu, dalam ini infak atau sedekah. Maka nazar pun ada baiknya, setidaknya bagi pihak lain yang diuntungkan karena suatu kejadian.
Agaknya ayat ini mengajak kita agar berpikiran baik dalam bernafkah maupun bernazar, karena apapun yang kita nafkahkan dan nazarkan pasti diketahui oleh Allah SWT. Seolah-olah al-Quran mengingatkan, nafkah dan nazar apapun yang kamu lakukan, semua diketahui olehNya. Tidak ada gunanya kamu melakukan nafkah dan nazar negatif. Karena itu ayat ini ditutup dengan “Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolongpun baginya.”
Zulm adalah suasana gelap dalam pikiran dan hati yang sulit memilah yang baik dari yang buruk. Orang zalim meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya karena gelapnya hati dan pikiran. Jadi, nafkah dan nazar negatif adalah kezaliman, yang oleh Allah dijamin tidak akan ditolong. Meskipun pada umumnya kita berasosiasi bahwa ada pertolongan dan tidak itu berkaitan dengan masa di akhirat nanti, tetapi sebenarnya sejak dalam kehidupan di dunia pun hilangnya pertolongan atas orang zalim itu sudah dapat dirasakan.
Money politics yang diperagakan oleh politisi murahan kendati tingkat nasional, telah mendatangkan lunturnya kepercayaan orang banyak kepada mereka. Banyak contoh di mana mereka menjadi hina karena ulah tersebut. Sebaliknya, orang yang bernafkah dan bernazar secara benar menuai pujian, dukungan dan doa dari orang banyak, yang nilainya jauh lebih tinggi dari kesenangan duniawi sesaat. Nafkah dan nazar dalam ayat ini nampaknya merupakan contoh dari sederet kegiatan perjuangan baik yang bersifat pengeluaran harta, ide, tenaga serta jiwa. Perjuangan, apapun bentuknya, akan diberi poin oleh Allah. Bersambung.
Tafsir Tahliliy ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Prof. Dr. Muhammad Zuhri
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 23 Tahun 2019
Selengkapnya Tafsir At Tanwir Jilid 2 di Tok Suara Muhammadiyah