Masri Mansoer: Mengasuh dan Mengawal Muhammadiyah di UIN Jakarta
Oleh: Muhamad Bukhari Muslim
Jika ada tokoh Muhammadiyah yang paling saya kenal di UIN Jakarta, maka orang itu adalah Profesor Masri Mansoer. Namanya sangat tidak asing di lingkungan UIN Jakarta, lebih-lebih warga Muhammadiyah. Kami mengenal beliau sebagai salah satu senior IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) Ciputat yang cukup berhasil di UIN Jakarta.
Berbagai jabatan prestisius pernah diembannya.. Menjadi Wakil Dekan, lalu Dekan, lalu Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan terakhir ialah Sekretaris Senat mendampingi Prof. Dr. Dede Rosyada. Jabatan-jabatan itu dapat diraihnya kendati dengan posisi Muhammadiyah dan IMM yang minoritas (di sini saya sengaja menggunakan istilah Muhammadiyah dan IMM. Sebab juga ada warga Muhammadiyah dari organisasi mahasiswa Islam seperti HMI).
Prof Masri atau yang akrab kami sapa “Kak Masri” adalah senior yang egaliter dan cukup mudah berbaur dengan setiap kalangan. Baik pada kawan sebaya ataupun kepada kami adik-adiknya yang amat jauh dari segi umur. Perbedaan umur tidak menjadi alasan bagi beliau untuk berkomunikasi dengan kami. Bahkan, sebagaimana menjadi pengakuan banyak senior dan alumni IMM Ciputat, setiap orang bahkan merasa “mudah” akrab dengan beliau.
Ini tentu suatu hal yang istimewa. Mengingat beliau adalah tokoh dengan beberapa deretan jabatan besar di belakangnya. Artinya semangat egaliter yang menjadi karakter Muhammmadiyah tidak hanya sebatas diucapkan, melainkan mewujud dalam laku keseharian beliau. Inilah yang barang kali menjadi kegelisahan penulis. Banyak orang yang bisa bercerita dan berbangga atas kesederhanaan orang lain, tapi dirinya sendiri amat jauh dari sikap sederhana dan bersahaja.
Menjaga Kultur Inklusif UIN Jakarta
UIN Jakarta adalah salah satu di antara kampus Islam yang cukup tersohor di Indonesia. Perannya dalam kancah nasional tidak diragukan lagi. Kampus ini bahkan sering digadang-gadang sebagai penarik gerbong pembaharuan Islam di Indonesia. Khususnya dengan tampilnya cendekiawan-cendekiawan bekennya seperti Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Wacana-wacana keislaman yang dilemparkan oleh intelektual kampus ini selalu menarik perhatian publik dan mampu menjadi wacana nasional. Dibincang dan diperdebatkan di mana-mana.
Kampus ini telah melahirkan banyak alumni hebat dan mentereng. Baik di bidang pendidikan, kemasyarakatan dan politik. Untuk menyebut beberapa nama di antaranya ialah Prof. Dr. KH. Din Syamduddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2010), Suryadharma Ali, (mantan Menteri Agama dan mantan Ketum PPP (Partai Persatuan Pembangunan), KH. Zainuddin MZ (Pendakwah), AM. Fatwa (Politisi PAN dan Mantan Wakil Ketua MPR RI), KH. Abdullah Syukri Zarkasyi (Pimpinan Pesantren Gontor), A.M. Fachir (Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia 2014-2019). Jadi, alumninya tersebar di mana-mana.
Latar belakang dan fokus karir mereka juga tidak seragam. Hal itu karena UIN Jakarta tidak pernah mendikte mahasiswa-mahasiswanya. Mereka dibebaskan dan dibiarkan menentukan jalan hidupnya sendiri. UIN hanya memfasilitasi dengan segala jaringan yang ia punya. Citranya sebagai kampus Islam tidak serta merta “memaksa” agar mahasiswanya harus menjadi dai atau pendakwah. Hal itu dapat dilihat dengan banyaknya alumni-alumni kampus ini yang justru berkarir di luar kampus, khususnya di bidang politik. Tidak terhitung sudah berapa politisi yang dilahirkan oleh UIN Jakarta.
Begitupun dengan warna keagamaan di dalamya. UIN tidak tunggal. Ada yang NU, ada yang Muhammadiyah dan ada yang di luar keduanya. Semuanya boleh dan sah-sah saja selama masih berada pada koridor moderat dan berkemajuan. Cita rasa keagamaan yang beragam dan plural itu harus terus dipertahankan. UIN harus tetap pada koridornya yang inklusif dan menjunjung tinggi kemajemukan.
Hal inilah yang penulis kira ditunjukan dan ditegaskan oleh alm. Prof. Azyumardi Azra saat menguji disertasi salah seorang mahasiswa yang membahas Mulla Sadra. Pada kesempatan itu Prof Azra bertanya, “Apakah saudara Syi’ah?”. Belum sempat menjawab, Prof. Azra langsung menegaskan, “Tidak usah takut kalau memang saudara Syiah. UIN Jakarta akan bangga dengan itu. Sebab pluralisme yang selama ini didengungkan tidak hanya sebatas diskursus, melainkan telah menemukan bentuknya yang nyata.”
Mengasuh Muhammadiyah di UIN Jakarta
Namun belakangan ada semacam gugatan terhadap karakter UIN yang plural dan inklusif tersebut. Penulis melihat ada gelagat dari sebagian orang untuk menghapuskan citra itu. Orang-orang tersebut ingin agar UIN Jakarta menjadi kampus milik suatu kelompok dan golongan. Itulah yang saya kira menjadi motif “penyingkiran” Prof. Masri di jajaran rektorat beberapa tahun lalu. Yakni karena merasa kepentingan kelompoknya diganggu.
Bagi penulis, kehadiran Prof. Masri memberikan pengaruh yang cukup besar bagi eksistensi Muhammadiyah di UIN Jakarta. Keberadaan Prof. Masri, untuk tidak menafikan yang lain, merupakan simbol bagi eksistensi di Muhammadiyah di kampus pembaharu tersebut. Interaksinya dengan kader, support dan dukungannya terhadap berbagai kegiatan IMM Ciputat merupakan bakti nyata dari ikhtiar beliau merawat Muhammadiyah di UIN Jakarta.
Bahkan pada setahun yang lalu, setelah Covid-19 mereda, Prof. Masri sempat menginisiasi kegiatan Halal bi Halal yang mengundang dan mengumpulkan dosen-dosen Muhammadiyah yang ada di UIN Jakarta. Prof. Masri mempunyai perhatian yang tinggi pada keberlangsungan Muhammadiyah di UIN Jakarta.
Penulis juga teringat ketika beberapa waktu yang lalu silaturrahmi ke rumah beliau, Prof. Masri sempat menyampaikan kegusarannya tentang belum adanya warga IMM yang diangkat dan dikukuhkan menjadi guru besar, sementara organisasi mahasiswa Islam lain seperti HMI dan PMII telah beberapa kali menggelar pengukuhan. Penulis berharap bahwa senior-senior seperti “Kak Masri” akan terus ada dan berlipat ganda. Sebab dengan demikian eksistensinya Muhammadiyah di UIN Jakarta akan terus berkembang dan membanggakan. Di samping hal ini juga penting bagi dakwah Muhammadiyah di luar PTM.
Muhamad Bukhari Muslim, Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta