PAYAKUMBUH, Suara Muhammadiyah – Sebagai ibadah khusus (mahdah) yang rincian, bentuk dan tata caranya ditentukan oleh Pembuat Syariah, maka bagaimana cara berhaji dikembalikan kepada Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa Sallam. Tapi, ketika terdapat suatu persoalan yang membutuhkan kepastian hukum ditengah dalil-dalil yang ada, maka pada titik itulah Persyarikatan Muhammadiyah melakukan tarjih untuk memilih dalil yang dijadikan landasan beribadah, tak terkecuali saat menunaikan haji.
Demikian dikemukakan ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Payakumbuh, H. Irwandi Nashir, saat memberikan pembekalan haji pada calon jamaah haji tahun 1444 H/2023 M di lingkungan Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Raudhatul Jannah, kota Payakumbuh belum lama ini. Dikatakannya, dalam memilih mana dalil yang lebih kuat sebagai landasan melakukan amalan-amalan haji, Persyarikatan Muhammadiyah memiliki metode atau manhaj tarjih. “Tarjih bukan saja mengacu pada upaya memahami dan memilih dalil-dalil yang diyakini lebih kuat, tapi identic dengan aktivitas ijtihad di Muhammadiyah,” jelasnya.
Saat ditanya tentang praktik umrah berulang kali yang sering dilakukan oleh jamaah haji Indonesia, Ustadz H.Irwandi Nashir menjelaskannya berdasarkan hasil kajian tarjih Muhammadiyah tentang dalil-dalil terkait umrah Nabi saw dan ‘Aisyah yang sering dijadikan dalil untuk melegitimasi praktik umrah berulang kali ketika berhaji.
“Menurut hasil tarjih Muhammadiyah bahwa tak ditemukan landasan yang kuat untuk membolehkan praktik umrah berulang kali seperti yang sering dilakukan jamaah haji Indonesia saat memanfaatkan waktu antara kedatang di Mekah dan menjelang hari Tarwiyah,’ jelas Irwandi Nashir.“Nabi saw memang pernah melakukan umrah berulang, tetapi pengulangan umrah-umrah yang dilakukannya bukan dalam masa pelaksanaan haji dan tak pula merupakan umrah keluar melainkan umrah masuk,” katanya.
Dikatakannya, Nabi saw melakukan umrah sebanyak empat kali umrah, yaitu umrah Hudaibiah tahun 6 H yang tak sempurna dilakukan karena dihadang oleh orang-orang Qurasy Mekah. Pada tahun berikutnya Nabi saw melakukan umrah qada, terus pada 8 H beliau melakukan umrah di Ji’ranah dan umrah yang dilakukan bersama haji wada’ pada tahun 10 H. “Semua umrah yang dilakukan Nabi saw itu adalah umrah masuk, yaitu dilakukan oleh orang yang datang dan masuk ke Mekah, bukan umrah oleh orang yang sudah masuk Mekah lalu keluar untuk melakukan umrah,” ungkapnya.
Tarjih Muhammadiyah juga membahas dalil umrah berulang kali yang didasarkan pada amalan ‘Aisyah. Dari hasil tarjih Muhammadiyah, jelas Irwandi Nashir, tak ada dasar yang kuat untuk mensyari’atkan melakukan umrah berkali-kali selama satu musim haji dengan keluar dari Mekah, lalu masuk lagi dengan ihram untuk umrah. Dijelaskannya, ‘Aisyah melakukan itu karena ia merasa umrahnya belum terlaksana sehingga untuk memantapkan hatinya Rasulullah saw menyuruhnya umrah dari Tan’im. “Tapi sebenarnya umrah itu sudah memadai sehingga tak perlu lagi diulang dari Tan’im, hanya ‘Aisyah saja yang belum mantap hatinya,” jelas dosen Universitas Islam Negeri Bukittinggi ini.