Tiga Faktor Mengapa Arab Berdamai dengan Israel

Israel

Foto Ilustrasi

Tiga Faktor Mengapa Arab Berdamai dengan Israel

Oleh: Hajriyanto Y. Thohari

Setelah Mesir (1979) dan Yordania (1994) kini Persatuan Emirate Arab (PEA), Bahrain, Sudan dan Maroko (2020) berdamai atau memulai hubungan diplomatic dengan Israel. Walhasil kini sudah enam dari dua puluh dua negara Arab yang melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Banyak pengamat menduga jika seandainya Presiden Donald Trump menang dalam Pilpres 2020 kemarin jumlah itu akan terus bertambah.

Pertanyaannya adalah mengapa negara-negara Arab yang dulu begitu kukuh untuk tidak mengakui negara Israel  sampai berdirinya negara Palestina yang merdeka dengan ibukotanya di Yerusalem (Timur) kini rontok satu persatu menormalisasi normalisasi hubungan diplomatiknya dengan musuh bebuyutannya itu? Faktor apa sajakah yang mendorong perubahan sikap negara-negara Arab tersebut?

Normalisasi keempat negara Arab terakhir (PEA, Bahrain, Sudan dan Maroko) dengan Israel dipicu oleh tiga faktor: pertama, pengaruh Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah; kedua, kepentingan ekonomi atau bisnis; dan ketiga, perubahan definisi ancaman bersama keamanan nasional Arab.

Faktor pengaruh Amerika

Peran AS memang luar biasa besar dalam normalisasi hubungan Arab-Israel ini. Sebagai negara yang sejak berakhirnya Perang Dingin bertindak sebagai adidaya tunggal dunia yang hegemoninya begitu nyata di kawasan Timur Tengah, AS bukan lagi sebagai makelar (broker) normalisasi, melainkan nyaris sebagai aktor tunggal yang melebihi Arab dan Israel sendiri.

Langkah AS yang superaktif tersebut bisa dibaca sebagai ambisi negara itu untuk tetap mempertahankan dominasi dan hegemoninya di Timur Tengah. Bagi negeri Paman Sam ini kawasan Timur Tengah rupanya memang terlalu penting bukan hanya dalam konteks minyak (ekonomi), melainkan juga dalam konteks ideologis, peradaban, dan agama. Konteks yang kedua ini baru ditampakkan setelah 9/11, yakni untuk membendung apa yang oleh Amerika sebut (what so called) dengan terorisme, radikalisme, dan fundamentalisme Islam. Walhasil, nyata sekali adanya bias ideologis, peradaban, dan keagamaan di sana.

Dalam rangka kepentingan memertahankan hegemoni tersebut, AS akan selalu memastikan jaminan eksistensi dan keamanan Israel, sekaligus negara-negara Arab yang menjadi alinasi setianya. Dalam pandangan AS eksistensi Israel tidaklah aman sebelum seluruh negara-negara Arab yang selama ini memusuhinya berdamai dengan Israel. Perlu dicatat setelah lebih dari tujuh dekade Israel diproklamasikan (1948) di atas tanahnya bangsa Arab Palestina, hanya dua negara Arab yang mengakuinya (Mesir 1979, Yordania 1994), dan hanya satu negara Muslim (Turki) yang mengakui dan memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.

Iran yang di masa Syah Reza Pahlevi menjalin hubungan mesra dengan Israel bukan hanya putus kembali sejak Revolusi 1979, melainkan semakin bermusuhan secara sangat sengit. Bukan hanya negara-negara Arab dan Muslim, bahkan masih ada beberapa negara penting lainnya yang menolak mengakui dan berhubungan diplomatik dengan Israel.

Walhasil, Israel masih menghadapi problem eksistensial di muka bumi ini. Adalah sulit untuk membantah bahwa legitimasi dan eksistensi Israel pada sejatinya masih harus ditopang dan digendong oleh AS dan aliansi Barat lainnya.  Sulit juga untuk membantah bahwa AS dan negara-negara Barat (bekas kolonialis dan imperialis yang menjajah dunia Arab dan Islam) bukanlah hanya sahabat atau aliansi istimewa Israel, melainkan pelindung utamanya.

Dalam konteks dan perspektif seperti itu maka normalisasi hubungan Arab-Israel sangatlah penting, sentral dan strategis bagi Israel. Dalam skenario AS-Israel-Barat jika negara-negara Arab telah berdamai dengan Israel maka negara-negara non-Arab, termasuk dan terutama negara-negara Islam, seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, Bangladesh, dan lain-lainnya, akan kehilangan argumen atau raison d’etre untuk tetap bermusuhan dengan Israel.

Sungguh hanya karena relevan dengan konteks dan kepentingan seperti itulah, AS dan Israel menandatangani Kesepakatan Ibrahim (Abraham Accord 2020) di Gedung Putih bersama PEA dan Bahrain. Hanya demi kepentingan itu pula AS dan Israel  menekan Sudan dan Maroko untuk mulai hubungan diplomatik dengan Israel. Secara ideologi mereka digiring dengan Abraham Accord, secara politik diberi pula pemanis, dan secara ekonomi diberi stimulusnya pula. Fakta berbicara: Sudan dan Maroko akhirnya meneken normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel.

Pokoknya, keamanan Israel selalu menjadi jantung kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah. Perlu dicatat bahwa sejak Perang Dingin isu Timur Tengah selalu menjadi prioritas utama dalam kebijakan dan politik luar negeri AS. Apalagi sejak Perang Dingin usai, dan mencapai puncaknya sejak 9/11 dengan kebijakannya perang melawan terorisme (war againt terrorism). Hanya saja AS di bawah Presiden Donald Trump mengejawantahkan kebijakan pro-Israel tersebut tanpa basa-basi dan tanpa tedeng aling-aling.

Faktor ekonomi: kerja sama ekonomi

Sejauh kita mengikuti jurnal-jurnal bisnis dan ekonomi, dapat diperoleh kesimpulan bahwa perekonomian Israel ditandai dengan pasar bebas yang cukup maju. Menurut Bank Dunia (World Bank) PDB Israel mencapai $353 Milyar USD atau peringkat ke-31 dunia (tahun 2020). Human Development Index yang dipublikasikan PBB, Israel berada pada peringkat 22 dunia yang berarti sangat maju (Very Highly Developed).

Kemajuan ekonomi Israel yang pesat didukung oleh kemajuan teknologi yang tinggi dengan infrastruktur modern. Israel memiliki perusahan start-up terbesar kedua setelah AS, dan perusahan dalam daftar NASDAQ (pasar uang dan pasar saham) terbesar ketiga setelah AS dan Tiongkok. Ini merupakan potensi besar bagi kerja sama ekonomi di kawasan.

Menurut Arab Center for Research and Policy Studies, normalisasi Israel dengan negara Arab didorong oleh faktor ekonomi: diprediksi akan meningkatkan kerja sama ekonomi secara signifikan. Menurut data dari Biro Pusat Statistik Israel, nilai ekspor Israel baik berupa barang dan jasa ke negara Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) mencapai $7 Miliar USD per tahun ($1 milyar USD ke negara-negara Arab Teluk). Angka ini setara dengan 7% dari total ekspor Israel dan 6% dari total impor Israel dalam kategori barang dan jasa.

Peningkatan kerja sama ekonomi yang signifikan telah dialami oleh Mesir dan Yordania, dua negara pelopor normalisasi dengan Israel. Pada September 2016, Perusahaan Listrik Negara Yordania menandatangani kesepakatan kerja sama dengan Perusahaan Energi milik AS yang berbasis di Israel untuk mengimpor gas alam cair dari Israel yang bernilai $10 milyar USD. Di tahun 2018, perusahaan Mesir, Dolphinus, menandatangani kesepakatan kerja sama dengan perusahaan Israel, Delek Drilling LP, yang bernilai $15 milyar USD, di mana Delek Drilling LP akan mensuplai gas alam ke Mesir.

Baru-baru ini, pasca penandataganan Abraham Accord, Menteri Perekonomian PEA menyatakan bahwa normalisasi kedua negara akan membawa dampak signifikan terhadap kerja sama ekonomi, yang diperkirakan akan mencapai lebih dari $500 juta USD dalam waktu dekat. Apalagi di bidang militer, Presiden Trump waktu itu menyatakan tidak keberatan untuk menjual Jet F35 ke PEA, yang sebelumnya tidak pernah disetujui karena faktor keamanan Israel.

Sama halnya dengan PEA, kerja sama ekonomi Israel dengan Bahrain merupakan pembahasan prioritas pasca penandatanganan Abraham Accord. Menteri Kerja Sama Regional Israel menyatakan kerjasama perdagangan dan investasi bernilai milyaran dolar AS dengan Bahrain dapat segera terwujud.

Ancaman Bersama Keamanan Nasional

Pandangan tradisional yang mengatakan bahwa musuh bersama dapat menyatukan berbagai kelompok yang terpecah agaknya relevan dalam diskursus normalisasi Israel-negara Arab. Konflik proksi Kerajaan Arab Saudi (KSA) dengan Iran yang dimulai sejak Revolusi 1979 menyeret negara-negara Arab khususnya Teluk dalam perang dingin KSA-Iran tersebut. Iran juga dituding sebagai penyebab kekacauan di Timur Tengah dan menyebarkan paham ekstrimisme dan terorisme yang menghambat tercapainya perdamaian di kawasan.

Iran disinyalir telah membiayai seluruh aktivitas, mensuplai persenjataan dan mendorong pemberontakan di beberapa negara Arab untuk melemahkan kekuatan KSA dan negara pendukungnya. Berbagai organisasi yang didukung oleh Iran seperti gerakan Houthi di Yaman, Hizbullah di Lebanon dan Suriah, kelompok militan di Irak,  dan milisi-milisi di beberapa negara Arab, dianggap sebagai organisasi pemberontak bahkan teroris. KSA didukung oleh negara Teluk selalu berupaya untuk melemahkan Iran yang diharapkan dapat melemahkan pengaruhnya di Timur Tengah.

Dalam perang dingin Iran-KSA tersebut AS dan Israel berada satu kubu dengan KSA dan aliansi Arabnya: sama-sama melihat Iran sebagai ancaman, khususnya terkait teknologi nuklir yang dituduhkan sebagai dikembangkan oleh Iran. Upaya AS untuk melemahkan kekuatan Iran terlihat dalam berbagai kebijakannya di forum multilateral seperti Joint Comprehensive Plan of Action, yang mengatur penggunaan teknologi nuklir, maupun pemberian sanksi kepada Iran dan organisasi-organisasi proksinya seperti Hizbullah di Lebanon.

Benar atau tidak semua tuduhan kepada Iran tersebut di atas, faktanya beberapa negara Arab telah mendefinisikan Iran sebagai ancaman serius bagi Arab. Arab telah menggeser definisi ancaman bagi mereka yang semula adalah Israel dengan Zionismenya, menjadi Iran dengan proksi-proksinya di Yaman, Suriah, Lebanon, Irak, bahkan Palestina, dan lain-lainnya. Iran, demikian tudingan itu, telah menimbulkan kekacauan di Timur Tengah dengan ekspor revolusi dan terorismenya. Apalagi jika nanti Iran tampil dengan kemampuan nuklirnya.

Untuk menghadapi ancaman itu Arab menjalin hubungan dengan AS. Dan untuk menjamin hubungan dengan AS maka Arab juga harus berkawan dengan aliansi istimewa AS: Israel.  Kini praktis tidak ada lagi musuh Israel di Timur Tengah kecuali Iran. Musuh Arab di Kawasan itu juga tidak adalagi kecuali Iran. Musuh AS di Timur Tengah juga nyaris tidak ada lagi kecuali Iran. Tak heran jika AS keluar dari kesepakatan nuklir dengan Iran. Presiden Biden mau menghiduplan lagi kesepakatan nuklir dengan Iran, tetapi kepastiannya masih harus ditunggu.

Situasi geopolitik di kawasan yang masih belum kondusif, dan definisi ancaman terhadap keamanan nasional seperti itu secara langsung atau tidak langsung memengaruhi strategi dan politik luar negeri  negara-negara Arab. Mereka perlu mengumpulkan kekuatan lebih besar lagi dan mencari dukungan dari pihak internasional yang sekubu guna melindungi keamanan nasionalnya. Hal ini salah satunya dapat tercapai melalui berbagai macam kerja sama baik dari segi ekonomi, maupun kerja sama di bidang militer baik kerja sama teknis/pelatihan, maupun impor persenjataan.

Akhirul kalam, negara-negara Arab tersebut memang membantah bahwa normalisasi dengan Israel disebabkan karena salah satu atau akumulasi dari ketiga faktor tersebut di atas. Alih-alih sebaliknya: negara-negara tersebut justru sedang mencoba menempuh jalan alternatif menuju perdamaian di Timur Tengah yang nyatanya mandek (stagnant) sejak lebih dari tiga dekade terakhir. Berdamai dengan Israel, demikian klaim mereka, justru akan lebih efektif menuju terbentuknya negara Palestina yang merdeka. Sebuah klaim yang rasional dan tampaknya realistis. Tapi kenyataannya tetap saja harus dibuktikan, bukan?*

Sumber : Majalah SM Edisi 8 Tahun 2021

Exit mobile version