Oleh : Yandi
Menjelang Musyda persoalan rangkap jabatan di Muhammadiyah mencuat kembali. Selain menjadi urusan verifikasi Panlih, isu ini juga menjadi bahan perbincangan atau sekedar obrolan ringan sambil ngopi bagi para aktifis di level akar rumput. Yang masih punya sisa waktu untuk sejenak memikirkan Muhammadiyah. Tujuan mulianya satu yaitu mencari sosok pimpinan untuk 5 tahun ke depan yang pikiran dan hatinya hanya untuk Muhammadiyah. Mau menghidup-hidupi Muhammadiyah, bukan numpang hidup di Muhammadiyah.
Secara eksplisit di Persyarikatan sudah ada regulasi tentang larangan rangkap jabatan yaitu anggaran rumah tangga (ART) Muhammadiyah pasal 16 ayat 1 huruf g dan h : g). Tidak merangkap jabatan dengan pimpinan organisasi politik dan pimpinan organisasi yang amal usahanya sama dengan Muhammadiyah di semua tingkat. h). Tidak merangkap jabatan dengan Pimpinan Muhammadiyah dan amal usahanya, baik vertikal maupun horizontal.
Adanya larangan ini jelas tidak bermaksud untuk melakukan restriksi peran dan kiprah kader di luar Persyarikatan. Melainkan sebuah guidance atau rambu rambu yang menjadi aturan main dalam berorganisasi.
Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Haedar, diktum ini adalah untuk menentukan garis-garis organisasi yang mengikat dan ditaati oleh seluruh anggotanya sebagai kebijakan, arahan, pedoman dan ketentuan dalam bersikap dan bertindak atas nama organisasi.
Selanjutnya, “Adanya kebijakan Muhammadiyah tentang larangan rangkap jabatan ini memang diperlukan, karena organisasi apapun tetap memerlukan koridor agar ada pagar pembatas dan sistem yang mengatur sehingga organisasi menjadi tertib”, tegasnya.
Meskipun ketentuannya sudah jelas namun pada tataran implementasi masalah rangkap jabatan bukan perkara mudah. Dinamika di lapangan menunjukan belum semua kader memiliki keinsyafan dan kesadaran untuk memahaminya secara utuh dan komprehensif.
Sebagai contoh, sangat sulit dinalar seorang anggota pleno PDM ditengah jalan tiba-tiba menjabat sebagai ketua ormas lain yang sama bidang dakwahnya. Ini jelas secara terang benderang melanggar pasal 16 ayat 1 huruf (h) sekaligus mencederai nurani perkaderan Muhammadiyah.
Diaspora Kader
Buya Syafii Maarif pernah berpesan agar kader Muhammadiyah bisa masuk ke dunia politik secara individu. Karena sudah saatnya bagi Muhammadiyah menjadi penentu kebijakan pemerintah lewat kadernya yang masuk ke birokrasi.
Para kader Muhammadiyah di pimpinan pusat sesuai disiplin ilmu, skill dan disparitas profesinya kini tersebar dimana mana, berdiaspora mengisi berbagai jabatan publik, baik di birokrasi, parlemen maupun di berbagai institusi. Ada yang menjabat sebagai menteri, Dirjen, kepala badan akreditasi nasional (BAN), ketua MUI bahkan Dubes.
Di Persyarikatan perkara rangkap jabatan tidak dipegang secara rigid, ada yang boleh ada yang tidak boleh. Dilihat aspek maslahat dan mudaratnya bagi kepentingan besar Muhammadiyah.
Kader yang mengisi berbagai jabatan ini adalah kader yang mendapat penugasan dari Muhammadiyah, bukan personalnya yang mencari-cari jabatan. Dalam bahasa yang lain mereka adalah para kader terbaik Muhammadiyah yang didelegasikan sebagai kader umat sekaligus kader bangsa, untuk turut berkontribusi dalam menentukan kebijakan negara.
AUM dan AUL
Almarhum Prof. Suyatno yang menjabat sebagai bendahara umum PP Muhammadiyah periode 2015-2020 beliau pernah merangkap sebagai Rektor UHAMKA, lalu ditunjuk oleh PP untuk menjadi Rektor di Universitas Muhammadiyah Bandung. Dengan 2 jabatan di AUM maka lengkap sudah 3 jabatan disandangnya.
Prof. Haedar sebagai Ketua umum, jelas tidak sembarangan memberi tugas pada kader, apalagi sampai merangkap-rangkap seperti itu. Ada aspek deliberating, ada pertimbangan yang cermat dan mendalam sebelum memutuskan penugasan.
Lalu bagaimana soal rangkap jabatan dengan pimpinan amal usaha “lain” alias AUL yang tidak ada korelasinya dengan Muhammadiyah boleh apa tidak.
Sebenarnya secara “common sense” tidak ada persoalan seseorang memiliki dan memimpin yayasan yang bergerak di bidang yang sama dengan Muhammadiyah. Namun jika kader yang menjabat sebagai pimpinan tentu ada “kode etik” Muhammadiyah yang harus ditaati, pasal 16 ayat 1 huruf g. Supaya tidak terjadi conflict of interest, alias benturan kepentingan yang pada akhirnya kepentingan besar Muhammadiyah tersisihkan.
Partai Politik
Dalam sebuah kesempatan Prof. Haedar menyatakan, untuk jabatan di partai politik tidak ada kompromi, tegas tidak boleh merangkap dengan pimpinan Muhammadiyah. Maknanya supaya kader yang aktif di politik bisa aktif secara penuh, begitu pula sebaliknya yang di Muhammadiyah.
Selain itu juga untuk menghindari abuse of power atau penyalahgunaan wewenang. Hanya anggota majelis dan anggota lembaga yang boleh berkiprah di parpol sekaligus juga Muhammadiyah.
Sebagai penutup penulis ingin melakukan ” disclaimer“, tulisan ini tidak memiliki maksud dan pretensi apapun. Cuma sekedar tanda “kadeudeuh” untuk mengingatkan kembali kepada sesama kader, siapa tahu ada manfaatnya. Mengadaptasi apa yang pernah disampaikan Kyai Nurbani Yusuf, ambilah hikmah meskipun dari aktifis akar rumput.
Oh ya, Musyda PDM kab. Tasikmalaya akan dilaksanakan tanggal 24-25 juni 2023, waktu hanya tinggal menghitung hari. Jadikanlah event ini sebagai momentum untuk bangkit, dengan Musyda mari kita raih semangat baru dalam ber-Muhammadiyah.
Yandi, aktifis dan akar rumput