Urgensi Ulama untuk Umat
Oleh: Mukhlis Rahmanto
حدثنا إسماعيل بن أبي أويس قال حدثني مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رءوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا (رواه البخاري)
Telah bercerita pada kami Ismail bin Abi Uwais, berkata: telah menceritakan padaku Malik dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Abdullah bin Amru bin Ash yang berkata (dimana) ia mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sungguh Allah tidak mencabut ilmu secara sekaligus dari manusia, tetapi Allah mencabutnya dengan mewafatkan para ulama, hingga bila tidak tersisa ulama lagi, manusia pun akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang jahil, ketika ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, pun mereka sesat dan menyesatkan” (HR. Al-Bukhari).
Hadits ini mengandung banyak penjelasan mengenai salah satu bagian dan pondasi penting dalam struktur sosial-kemasyarakatan Islam, yaitu ulama. Dengan memperhatikan urgensinya, Nabi Saw. memberikan penekanan khusus bahwa mereka adalah pewaris legasi kenabian sepeninggal pintu kenabian ditutup, “al-‘ulama’u waratsul-anbiya, para ulama adalah pewaris para Nabi” (HR. Abu Dawud). Ulama adalah orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari, merekam, mengajarkan, dan menjadikan ajaran Islam sebagai solusi dan panduan kehidupan masyarakat Islam sepanjang zaman.
Secara bahasa kata ulama adalah bentuk plural dari kata ‘alim yang dalam bahasa Arab dimaknai sebagai orang yang berilmu/ilmuwan, dalam keilmuan atau ilmu apapun. Namun ketika masuk dalam bahasa agama, ulama diidentikan dengan orang-orang yang menguasai ilmu agama, mengajarkan dan menjadikannya sebagai sumber panduan dan solusi permasalahan kehidupan manusia.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab al’ilmu bab kaifa yaqbidhu al-‘ilm no. 100. Hadits ini disabdakan Nabi ketika haji wadak (perpisahan) sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Thabrani.
Imam An-Nawawi memberikan komentar bahwa dicabutnya ilmu dari para ulama bukanlah dihilangkannya ilmu dari hati dan pikiran para ulama, namun dengan banyak diwafatkannya langsung para ulama tersebut. Para ulama-lah yang akan terus memandu umat sepeninggal kepergian baginda Nabi Saw. Mereka adalah kantong al-hikmah yaitu ilmu pengetahuan Ilahi (Al-Qur’an dan Sunnah). Maka beberapa komentator Hadits di atas memaksudkan ilmu dalam matan hadits ini adalah ilmu yang diwariskan oleh Nabi yaitu ajaran Islam yang termakstub dalam Al-Qur’an dan Hadits, bukan ilmu keduniawiaan/umum, yang ditandai dengan adanya penggalan matan/isi Hadits, “fa’aftau bi-ghairi ‘ilm, mereka berfatwa tanpa ilmu”. Fatwa sendiri dalam khazanah Islam adalah jawaban solutif atas suatu masalah kehidupan (sosial, ekonomi, politik dan lainnya) ditinjau dari sudut pandang ajaran Islam.
Beberapa kandungan utama Hadits ini pertama, agar kita memperhatikan bagaimana ilmu dalam Islam diwaris turun-temurunkan dari generasi ke generasi lewat para ulama sepanjang zaman. Sepatutnyalah kita mencari dan bertanya mengenai ilmu agama kepada mereka yang memang ahlinya, dalam hal ini para ulama. Sesuai firman Allah SWT: fas’alu ahla-dzikri in kuntum la ta’lamun, bertanyalah kamu kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43). Meskipun ayat tersebut secara umum memerintahkan kita untuk bertanya dan mencari solusi suatu persoalan kepada para ahli di bidangnya, termasuk dalam hal keagamaan kepada mereka para ulama.
Dalam struktur sosial masyarakat kita, di dunia nyata, ulama memainkan peran penting, seperti di pedesaan (rural), mereka ulama dipanggil dengan banyak sebutan antara lain: kyai, ustadz, ajengan, buya, tuan guru, menjadi tempat masyarakat berkeluh kesah mengenai kehidupan keseharian mereka, dari persoalan rumah tangga, ekonomi dan bisnis, hingga masalah batin. Di sinilah dalam perspektif sosiologi terjadi hubungan mutualisme, sehingga di beberapa tempat, masyarakat mempercayakan pembayaran zakat fitrahnya kepada para ulama tempat mereka “curhat” masalah kehidupan. Suatu fenomena yang jika ditinjau dari ajaran Islam tentu tidak dapat dibenarkan dikarenakan zakat fitrah diperuntukan bagi mereka fakir miskin.
Menariknya di era digital ini, terjadi pergeseran perilaku ulama yang lebih banyak mengekspresikan pendapat dan jatidiri mereka di dunia maya. Beredar jutaan fatwa, artikel, ceramah, wacana dan nasehat keagamaan dari mereka, yang dari sisi positifnya, umat lebih mudah mendapatkan akses pencerahan perihal keagamaan. Namun dampak negatifnya adalah umat dibuat menjadi kebingungan dengan banyaknya beragam pendapat dari para ulama, yang seakan secara lahiriyah saling berlawanan.
Ada yang mengharamkan sesuatu, sementara yang lain menghukuminya mubah (boleh). Hal ini bisa jadi dianggap negatif, tetapi sebenarnya ragam pendapat ulama, yang diistilahkan dengan khazanah fikih tersebut sebetulnya telah termaktub di jutaan lembar buku-kitab fikih karya peninggalan para ulama (turats), dan baru kini di era digital, umat bisa mengaksesnya dengan mudah.
Untuk itu diperlukan adab dan etika bagi umat dalam berinteraksi dengan ragam pendapat para ulama tersebut, berupa etika perbedaan pendapat, khususnya dalam perkara cabang dan ranting (furu’iyah) seperti tatacara shalat, dan bukan yang termasuk wilayah atau perkara dasar (ushul) seperti rukun Iman dan Islam. Umat juga harus dapat membedakan mana ulama yang betul-betul hidupnya didedikasikan untuk umat, bukan hanya untuk kepentingan pribadi, keluarga, yayasannya, apalagi ulama yang menjadi kaki tangan partai politik, alias ulama politikus. Sehingga susah dibedakan ucapan dan petuahnya, apakah ceramah agama atau politik. Dalam khazanah Islam klasik, telah ada kategori ulama yang baik (ulama rabbani yang penuh khasyah [takut pada Allah]) dan ulama suk, yaitu ulama buruk dimana salah satu cirinya menjual ilmu agama kepada kekuasaan politik.
Anjuran kedua dalam Hadits ini adalah tentang pentingnya ilmu, khususnya ilmu agama sebagai panduan kehidupan seorang muslim. Ilmu agama memunyai karakteristik, salah satunya adalah dipindahkan dari satu generasi ke generasi melalui sanad (silsilah keilmuan). Sehingga seorang tabi’in Ibnu Mubarak mempunyai komentar yang apik, “al-Isnadu min ad-din, wa laula al-isnad, laqala man sya’a wa ma sya’a, sanad adalah bagian dari agama itu sendiri, tanpanya orang akan berkata semaunya sendiri”.
Sanad keilmuan dalam Islam, khususnya sanad Al-Qur’an dan Hadits-Sunnah Nabi telah disistematisasikan dengan baik metodologinya oleh para ulama, sehingga dapat diidentifikasi mana yang berasal dari Nabi dan mana yang palsu, khususnya dalam bentuk ilmu Hadits. Sanad keilmuan dalam Islam, secara teologis, juga menunjukan jaminan dan penjagaan dari Allah SWT mengenai keotentikan (keaslian) dan terpeliharanya ajaran agama ini dari perubahan-perubahan, mengingat fungsinya menjadi kompas (hudan) manusia hingga akhir zaman.
Oleh karena itu, musibah dan tanda akhir zaman yang umat harus memahami tada-tanda tersebut adalah diwafatkannya mereka para ulama Rabbani pembawa ilmu Allah dan pewaris Nabi. Dalam konteks global sejak awal tahun 2000-an, dunia Islam banyak kehilangan mereka ulama antara lain Syekh Wahbah Az-Zuhaili dan Ramadhan Al-Buthi. Sementara di kalangan Muhammadiyah kita baru saja kehilangan Buya Prof. Dr. Yunahar Ilyas. Semoga Allah meridhai umat Islam sekarang ini dengan dimunculkannya ulama-ulama Rabbani, pengganti para pendahulu mereka.
Mukhlis Rahmanto, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
Sumber: Majalah SM No 2 Tahun 2020