HISAB, RUKYAT, DAN UTANG PERADABAN
Seperti yang sudah pernah beberapa kali ditulis di Suara Muhammadiyah, perbedaan hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) maupun permulaan Ramadhan sudah sangat sering terjadi di Indonesia. Namun, perbedaan Idul Fitri tahun 1444 kemarin menyulut huru-hara. Mungkin karena sekarang era medsos atau memang ada oknum yang sekadar pansos.
Kalau kita telaah, pada masa awal perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan metode penetapannya. Sebagaimana kita tahu, tradisi Islam mengenal dua metode penentuan awal bulan kamariah. Metode pertama dengan cara melihat bulan yang kemudian kita kenal dengan istilah rukyah. Metode kedua dengan cara menghitung siklus peredaran bumi, bulan, dan matahari. Metode kedua ini kita kenal dengan istilah hisab hakiki.
Di samping hisab hikiki kita juga mengenal istilah hisab urfi atau perhitungan berdasarkan kebiasaan yang membagi umur bulan menjadi 29 dan 30. Di kalender hisab urfi umur bulan Ramadhan selalu 30 hari sedangkan Syawal selalu 29 hari. Salah satu kalender yang disusun berdasarkan hisab urfi ini adalah kalender Jawa Islam. Konon Kalender Jawa Islam disusun oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma pada zaman Mataram Islam.
Karena disusun oleh Sultan Agung ada yang menyebut Kalender Jawa Islam dengan nama kalender Sultan Agung. Kalender ini pada dasarnya meneruskan kalender Jawa tapi dengan mengubah sistem. Dari sistem matahari (kalender solar/ syamsiah) ke sistem bulan (kalender lunar/qamariah). Agar tidak ketinggalan dengan kalender hijriyah, Kalender Jawa Islam ini mengharuskan adanya penyesuaian pedoman setiap 120 tahun. Penyesuaian pedoman ini berupa pengurangan satu hari di setiap 120 tahun. Dari Amiswon ke Aboge kemudian ke Asopon berlanjut ke Anenhing dan seterusnya.
Selengkapnya dapat berlangganan Majalah Suara Muhammadiyah
Klik di sini https://suaramuhammadiyah.or.id/ebook/paket