Kurban dan “Peri-kehewanan”

Syahbana Daulay

Syahbana Daulay Foto Istimewa

Kurban dan “Peri-kehewanan”

Oleh : Syahbana Daulay

Ada yang mencoba mengganggu harmoni pemahaman dan keyakinan umat Islam dengan mengatakan bahwa momentum kurban saat ‘Idul Adha adalah peristiwa “pembantaian” atau kekerasan terhadap hewan seperti unta, sapi, kerbau, dan kambing/domba (animal abuse), sebagaimana lazimnya dilakukan umat Islam pada tanggal 10, 11, 12, 13 Dzulhijjah. Seolah umat Islam tidak memiliki precept dalam penyembelihan hewan dan tidak punya sense of “perikehewanan”.

Coretan ini mencoba menjawab dan menjelaskan apa sebenarnya berkurban itu, bagaimana sejarah dan manfaatnya bagi umat. Apakah dalam prosesi kurban terdapat perilaku menyakiti hewan kurban dan merugikan shahibul qurban ataupun masyarakat luas.

Pengertian Kurban

Secara bahasa, qurban (قربان) berasal dari bahasa Arab qaraba, yaqrabu, qurbanan yang artinya dekat. Kurban dalam Islam juga disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang artinya juga binatang sembelihan atau hewan ternak seperti unta, sapi, kerbau, kambing atau domba yang disembelih pada Hari Idul Adha.

Sehingga, secara istilah kata qurban berarti ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Adapun arti “perikehewanan” belum ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cuma maksud dari “perikehewanan” lebih kurang adalah memberikan hak-hak yang layak bagi hewan (animal rights), dalam konteks ini hewan yang dijadikan kurban.

Sejarah Kurban

Mayoritas ulama berpendapat perintah kurban dimulai sejak masa Nabi Adam as. Atas perintah Allah swt, Nabi Adam meminta kepada kedua putranya Habil dan Kabil untuk berqurban. Keduanya harus berqurban untuk mendapatkan Iqlima dan Labuda sebagai istri. Habil berkurban binatang ternak terbaik miliknya, sementara Kabil hanya memberi hasil pertanian yang rusak dan busuk. Kurban dari Habil diterima Allah swt karena keikhlasannya, adapun kurban dari Kabil ditolak karena ia tidak ikhlas. Perintah kurban di masa Nabi Adam as. ini menjadi awal sejarah kurban dalam Islam.

Kemudian di masa Nabi Ibrahim as., dimulai saat beliau bermimpi menyembelih anaknya Ismail. Mimpi itu berulang sampai tiga kali, akhirnya beliau meyakininya bukan sedekar mimpi, tapi perintah yang benar (shadiq) dari Allah swt. Beliau pun menyampaikan kepada Ismail perihal mimpi tersebut. Ismail merespon dengan ramah (halim) dan menyanggupiya sebagai ketaatan kepada perintah Allah swt. Maka, tepat pada tangal 10 Zulhijah sewaktu Nabi Ismail berusia 7 tahun (ada yang berpendapat 13 tahun), Nabi Ibrahim mengeksekusi perintah itu. Namun dengan rahmat Allah swt, Ismail tidak jadi dikurbankan, Allah mengganti Ismail dengan seekor domba.

Perinstiwa kurban di masa Nabi Ibrahim as ini menjadi dasar pelaksanaan ibadah kurban umat Nabi Muhammad saw hingga saat ini. Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail as tersebut diceritakan dalam al-Quran Surah Ash-Shaffaat ayat 102-107:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ.

“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar” (102).

فَلَمَّآ أَسْلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلْجَبِينِ.

“Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah)” (103).

وَنَٰدَيْنَٰهُ أَن يَٰٓإِبْرَٰهِيمُ.

“Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim!'” (104).

قَدْ صَدَّقْتَ ٱلرُّءْيَآ ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ.

“‘Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (105).

إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلْبَلَٰٓؤُا۟ ٱلْمُبِينُ.

“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (106).

وَفَدَيْنَٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ.

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (107).

Islam dan “Perikehewanan”

Islam adalah agama kasih sayang, agama kedamaian sebagaimana makna namanya “al-islam”. Allah Sang Khaliq bersifat ar-Rahman ar-Rahim, Pengasih Penyayang. Umat Islam diperintahkan untuk menyebar keselamatan dan kedamaian, afsuu as-salaam, kepada sesama. Agama ini membawa visi rahmatan lil’alamin. Syurga tempat kembali juga disebut dengan Daarus Salaam.

Manusia sebagai khalifah harus memiliki sifat kasih sayang, agen perdamaian, mushlihuun,  untuk dapat menjaga, memelihara, dan merawat alam serta menjaga harmoni sesama makhluk, dan itu bentuk amanat dari Allah. Manusia tidak boleh merusak, walaa tufsiduu fil ‘ardh, karena itu melawan fitrahnya sebagai khalifah.

Orang yang menyayangi akan disayang Allah, begitu pula orang yang membenci akan dijauhi Allah.

مَنْ لا يَرْحَمِ النَّاسَ لا يَرْحَمْهُ اللهُ

“Siapa yang tidak menyayangi manusia, tidak akan disayangi Allah.” (HR. Mutafaqun ‘alaih)

Kita harus menyayangi seluruh penghuni bumi, tak terkecuali hewan.

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ. اِرْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاء

Para penyayang akan disayangi oleh ar-Rahmaan (Allah). Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangi kalian. (H.R at-Tirmidzi)

Terhadap hewan secara spesifik, Islam memiliki atensi yang serius. Terdapat berbagai hadits dan contoh perbuatan Rasulullah saw yang menunjukkan sikap sayang terhadap hewan. Islam memerintahkan untuk mengasihi, menyayangi dan memperlakukan hewan sebagai makhluk Allah.

Rasulullah saw pernah berkisah kepada para sahabat tentang seorang laki-laki yang memberi minum seekor anjing yang kehausan, kemudian dengan sebab itu Allah mengampuni dosa laki-laki tersebut. Maka para sahabat pun terheran dan bertanya:

يَا رَسُولَ اللّه، وإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟

“Wahai Rasullullah, apakah bagi kami pahala jika menolong hewan”?

Maka Rasulullah dengan gamblang menjawab :

فِي كُلِّ كَبِدِ رَطْبَةِ أجرٌ

“Di setiap hati yang basah terdapat pahala” (Muttafaqun ‘alaih)

Ini dialog menggambarkan bagaimana Islam menghargai makhluk Allah, sampai kepada seekor anjing pun yang jelas diharamkan dagingnya. Pada setiap hati yang basah artinya pada setiap makhluk yang memiliki ruh kehidupan, ia berhak mendapat hak-hak untuk hidup (rights to life).

Semangat menyayangi pada kedua hadits di atas adalah untuk semua makhluk Allah, termasuk hewan.

Suatu waktu Rasulullah saw keluar rumah, dan ketika sampai di pagar salah seorang kalangan Anshar, tiba-tiba beliau mendengar lenguhan seekor unta.

Unta itu menjulurkan lehernya ke arah Rasulullah. Ia merintih, air matanya jatuh berderai. Rasulullah pun mendatanginya dan mengusap belakang leher unta itu. Unta itu pun tenang dan diam.

Lalu dengan waja penuh kemarahan, Rasulullah saw bertanya, “siapakah pemilik unta ini, siapakah pemilik unta ini?”

Pemiliknya pun bergegas datang. Ternyata ia seorang Anshar, sambil berkata, “Itu adalah milikku ya Rasulullah”.

Rasulullah saw berkata, “Tidakkah engkau takut kepada Allah karena unta yang Allah peruntukkan kepadamu ini? Ketahuilah ia telah mengadukan nasibnya kepadaku, bahwa engka umembuatnya kelaparan dan kelelahan”.

Kisah ini menggambarkan bagaimana Rasulullah memarahi pemilik unta yang memaksa untanya bekerja sementara ia tidak mencukupi makannya.

Kita juga tahu bagaimana seorang perempuan yang menyiksa kucing terpaksa masuk daftar tunggu ke neraka akibat perbuatannya:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ، سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ، فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ، لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَسَقَتْهَا، إِذْ هِيَ حَبَسَتْهَا، وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ.

“Ada seorang wanita yang masuk neraka gara-gara seekor kucing, dia mengurungnya sampai mati sehingga wanita tersebut dimasukkan dalam neraka. Perempuan itu tidak memberi makan atau minum kucing yang dikurungnya dan tidak pula melepasnya untuk bisa makan serangga,” (HR. Muslim)

Demikian sekilas gambaran bagaimana Islam memperhatikan hewan yang sangat sarat dengan nilai “perikehewanan”.

Momentum Kurban

Ritual kurban yang biasa digelar pada hari ‘idul qurban dan hari-hari tasyri’ adalah ibadah yang dihukumi sunnah muakkadah sebagai manifestasi rasa syukur akan nikmat Allah, meneladani Nabi Ibrahim as, dan bentuk pendekatan diri kepada Allah swt. Banyak hikmah yang terkandung dalam ibadah kurban ini, baik bagi shahibul qurban maupun orang lain.

Prosesi kurban sendiri mempunyai aturan (precept), mulai dari memilih hewan kurban yang sehat, persiapan pemotongan, prosesi pemotongan, sampai kepada distribusi daging kurban. Sarat dengan aturan fiqh. Jadi tidak asal potong dan bagi sesuka hati, atau sesuai selera panitia, tapi terkelola (managed) dan tersistem (regulated) rapi dalam bingkai syariat Islam. Tentu tujuannya agar visi rahmatan lil’alaminnya tadi terpenuhi.

Hewan  yang akan disembelih harus dikondisikan nyaman, tidak membuatnya stres apalagi sampai depresi dengan menampakkan aksi yang mengisaratkan dia akan disembelih. Saat meyembelih jangan sampai menyakitinya. Maka menajamkan pisau sembelihan adalah keniscayaan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah saw:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik (ihsan) atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh (dalam qishah,-pent) maka berbuat ihsanlah dalam cara membunuh dan jika kalian menyembelih maka berbuat ihsanlah dalam cara menyembelih, dan hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan sembelihannya”. (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

Bahkan saat menajamkan pisau, penglihatan hewan harus dihjauhkan agar tidak melihatnya.

مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَاضِعٍ رِجْلَهُ عَلَى صَفْحَةِ شَاةٍ، وَهُوَ يَحُدُّ شَفْرَتَهُ، وَهِيَ تَلْحَظُ إِلَيْهِ بِبَصرِها، قَالَ:أَفَلا قبلَ هَذَا، أَوَ تُرِيدُ أَنْ تُمِيتَهَا مَوْتَتَينِ

“Rasulullah saw melewati (sembari mengamati) seorang lelaki yang meletakkan kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah pisaunya sedangkan kambing tersebut memandang kepadanya, maka beliau mengatakan: “Tidaklah diterima hal ini. Apakah engkau ingin benar-benar mematikannya. (dalam riwayat lain : Apakah engkau ingin mematikannya dengan dua kematian)”. (HR. al-Baihaqi dan al-Hakim)

Begitu juga saat menggiring, merebahkan hewan kurban, mengikat, menghadapkan ke kiblat saat disembelih, dan memulai dengan do’a diiringi takbir adalah prosesi yang terkonsep santun secara syar’i.

Kurban dan Manfaatnya

Ibadah kurban yang dilakukan setahun sekali bukan untuk orientasi hura-hura, pesta pora, sekedar makan-makan tanpa nilai. Ibadah qurban ini sarat dengan manfaat baik untuk diri yang berkurban secara pribadi maupun orang-orang di sekitarnya yang berdimensi sosial. Di antara manfaat tersebut adalah:

  1. Bentuk syukur dan pengabdian kepada Allah swt

إِنَّآ أَعْطَيْنَٰكَ ٱلْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak”. “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanm, dan berkorbanlah”. (QS. Al-Kautsar: 2)

  1. Memupuk rasa peduli sesama

Berkurban bukan untuk dikonsumsi sendiri, tapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Ada semangat berbagi khususnya kepada mereka yang kurang mampu, menyantap makanan bergizi yang mungkin jarang mereka dapatkan.

وَٱلْبُدْنَ جَعَلْنَٰهَا لَكُم مِّن شَعَٰٓئِرِ ٱللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ فَٱذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ عَلَيْهَا صَوَآفَّ ۖ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْقَانِعَ وَٱلْمُعْتَرَّ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرْنَٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (Q.S. Al Hajj:36)

  1. Bekal di hari akhir

Ibadah kurban mendatangkan ganjaran pahala yang besar sebagai bekal untuk hari akhir.

Dari Aisyah ra, Nabi saw bersabda, “Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada hari raya Kurban yang lebih dicintai Allah SWT dari menyembelih hewan Kurban. Sesungguhnya hewan Kurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya sebelum darah Kurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah, maka beruntunglah kalian semua dengan (pahala) Kurban itu.” (HR Tirmidzi)

  1. Mempererat tali silaturrahim

Berkurban dapat mempererat hubungan shahibul qurban dengan penerima kurban. Persatuan antar warga yang ikut berkumpul, membantu, dan bekerja sama menangani prosesi kurban sampai kepada pembagian.

 

  1. Membantu usaha ternak

Tak kalah pentingnya manfaat kurban bagi para peternak lokal. Mereka yang sulit menjual ternak di hari biasa dikarenakan banyaknya ternak impor akan sangat terbantu dengan adanya moment ‘idul qurban ini.

Kesimpulan

Dari apa yang dipaparkan di atas, tampak jelas bagaimana kegiatan berkurban tidak sedikitpun menggambarkan perilaku menyakiti apalagi “membantai” hewan-hewan kurban (animal abuse) yang tidak bersalah. Tergambar bagaimana adab Islam menyayangi dan menghargai setiap makhluk Allah termasuk hewan. Dari persiapan sampai cara penyembelihan hewan kurban juga jelas menggambarkan sikap “perikehewanan” yang santun.

Kegiatan berkurban bukan untuk hura-hura dan pesta pora tanpa nilai. Berkurban adalah kegiatan ibadah, upaya mendekatkan diri kepada Allah swt, membuktikan kecintaan dan ketakwaan seorang hamba kepada Sang Khaliq sebagaimana diteladankan oleh Nabi Ibrahim as.

Begitu pula berkurban bukan show of riches atau mengangkat prestise sosial, tapi lebih jauh dari itu sebagai semangat spiritual ketakwaan yang berdimensi sosial, membantu fakir miskin dan dhu’afa, dan memperpererat kebersamaan.

Wallahu a’lam

Syahbana Daulay, Dosen AIK UMSU

Exit mobile version